Vanesa masih di ruangan Gavin, pria yang ia minta tolong untuk membantunya membayar hutang ayahnya.
“Kamu tidak punya pilihan lain Vanesa, terima tawaranku dan kamu bisa mengatasi semua masalahmu,” ujar Gavin.
Memikirkan perbuatan jahat suami dan keluarganya, Vanesa tidak punya pilihan lain.
“Baiklah aku akan bersedia melahirkan anak untukmu, tapi sebagai gantinya berikan aku uang yang banyak.”
“Aku sudah katakan padamu dari awal, uang tidak ada apa-apanya bagiku Danita.”
Gavin menarik pinggang Vanesa membawanya ke pangkuannya, dalam hati yang paling dalam sebenarnya ia merasa sangat risih, sebab ia masih istri dari Damian. Selama ini demi menjaga pernikahanya tetap utuh ia rela melakukan segalanya, tapi Damian mencampakkanya dan berselingkuh dengan sepupuhnya sendiri. Vanesa Danita merasakan rasa yang amat sakit di dalam dadanya. Vanesa beberapa kali membuang napas –napas pendek dari mulut.
“Kamu sepertinya keberatan. Saya tidak akan memaksa jika kamu belum siap melakukannya. Aku bukan tipe pria yang mengemis kehangatan dari seorang wanita. Ingat kamu yang datang padaku,” tegas pria tersebut dengan tatapan dinginnya
Gavin melepaskan tangan dari pinggang Dav, tapi memikirkan nasip ayahnya yang berbaring di rumah sakit, Vanesa meraih leher lelaki bertampang tegas tersebut, mencium bibirnya dengan lembut sebagai tanda setuju.
“Aku setuju melakukannya,” ucapnya dengan suara kecil nyaris tidak kedengaran.
“Apa kamu katakan , saya tidak mendengar.”
Vanesa menutup mata dan berkata, “aku bersedia melakukanya.
“Apa kamu yakin?”
Vanesa menjawab dengan yakin, “iya”
“Kalau begitu mari kita mulai sekarang.” Pria bertampang tegas itu melepaskan kancing kemeja bagian atasnya.
Bola mata Vanesa membesar dengan wajah heran, “sekarang? Ditempat ini?”
Gavin menghentikan aktivitasnya lalu berjalamn mendekat lagi, “apa kamu keberatan , Danita?”
“Bu-bukan … seperti itu, ini kantormu,” ucap Vanesa dengan ragu.
“Aku tidak perduli dimanapun tempatnya Danita, jika kamu setuju dengan permintaan saya, artinya kamu juga harus siap dimanapun saya menginginkannya,” ucap lelaki itu dengan wajah datar.
Vanesa masih mencoba mengingatkan Gavin, supaya menjaga harga dirinya di depan karyawannya.
“Bagaimana kalau ada karyawanmu yang melihat kita?”
“Apa kamu takut kehilangan harga diri Danita. Apa orang sepertimu masih memikirkan harga diri?”
Kalimat-kalimat yang diucapkan Gavin jangan menyakitkan, tapi Vanesa berpikir lagi kalau Gavin benar, ia tidak punya harga diri lagi, sebab ia rela menjual tubuhnya demi uang.
“Ini bukan tentang aku Gavin, ini tentang kamu. Bagaimana kalau bawahanmu melihatmu berbuat seperti itu dikantor.”
“Aku Bos di sini, tidak ada yang akan buka mulut.”
Gavin meyingkirkan semua benda dari atas meja, lalu megangkat tubuh Vanesa ke atasnya. Wajah Vanesa kaget, ia tidak pernah menduga kalau ia akan mudah tidur dengan Gavin, laki-laki yang paling ia benci dalam hidupnya.
“Apa kamu takut?” bisik laki-laki itu di kuping Vanesa.
Vanesa hanya bisa menelan savilanya dengan susah payah, ia bahkan tidak mau menatap wajah Gavin.
“Tidak, hanya saja tidak nyaman kalau kita melakukannya di sini ini meja kerjamu.”
“Aku lebih suka di sini Vanesa, aku ingin memikirkan tubuhmu setiap kali aku duduk di meja ini.”
Gavin menaikkan satu kaki Vanesa diatas meja dan membiarkan satu kaki mengantung, dres berwarna hijau lumut yang dikenakan Vanesa tersingkap memperlihatkan pahanya yang putih mulus.
“Kenapa wanita cantik seperti ini disia-siakan laki-laki seperti suamimu.”
Vanesa merasa kesal saat Gavin menyinggung pria jahat tersebut,” jangan menyinggung tentang dia, lakukan saja apa yang kamu inginkan dari tubuhku,” ucap Vanesa dengan kesal.
Pria bertubuh kekar itu tertawa miring, “apa kamu yakin sudah siap denganku?”
“Iya,” sahut Vanesa dengan malas.
Tidak lama kemudian Gavin mengangkat kedua kaki Vanesa ke atas meja, demi menjaga keseibangan tubuhnya Vanesa menggunakan kedua tangannnya menopang tubuhnya.
Jantungnya semakin berdetak hebat ketika Gavin menyisir kakinya dari mulai lutut Vanesa sampai ke pangkal, menemukan kain persegetiga milik Vanesa, mengusap –usap kain pembungkus itu dengan lembut, matanya masih menatap wajah wanita di depannya. Vanesa bergelinjak ketika Gavin meyingkapkan kain persegi itu dari sisi samping, memasukkan satu jari ke dalam sana. Mengecek apem itu apa masih lembab apa sudah basah.
“Gavin …ah,” suara serak dari mulut Vanesa lolos begitu saja saat pria itu memasukkan satu jari ke lubang gua milik Vanesa.
“Kenapa sayang … katakan apa yang ingin kamu katakan?”
“Apa kita harus melakukan di sini? Kita bisa melakukan di ranjang di sana.”
Vanesa menunjuk sebuah ruangan, tempat yang digunakan Gavin untuk istirahat kalah ia merasa lelah di kantor.
“Tidak, aku tidak ingin mengotori ranjangku, aku tidak ingin mengajak orang seperti kamu ke sana. Aku akan mengajak orang yang aku cintai tidur di sana, bukan pelacur seperti kamu,”ucapnya sembari mempercepat gesekan jarinya ke lubang milik Vanesa.
Vanesa kaget mendengar kata-kata merendahkan dari Gavin, ia ingin melawan tapi rasa yang ditimbulkan jari-jari Gavin dibawah sana membuatnya tidak bisa berkata-kata selain desahan kenikmatan.
“Apa kamu menikmatinya Vanesa?” tanya Gavin dengan tatapan mata tajam.
Wanita cantik itu diam, ia mengalihkan wajahnya mencoba memegang sisi meja kerja menahan rasa nikmat bercampur nyeri dari bawah sana. Gavin menggunakan tiga jari sekaligus membat Vanesa merasa nyeri dengan gesekan jari-jari besar milik Gavin.
Vanesa tidak ingin merasa nikamat sendiri, ia mencoba melepaskan kancing celana Gavin, tapi pria itu menolaknya ia menarik tangan Vanesa.
“Nikmati saja dengan permainan yang aku berikan,” ucapnya mempercepat gesekan tangannya.
Vanesa merasa kesakitan, ia menarik tangan Gavin dari bawah sana.
“Kamu menyakitiku,” ucapnya menahan air mata, “apa kamu membenci tubuhku?”
“Kita akan melakukannya setelah kamu membersihkan tubuhmu dari jejak suamimu. Pastikan kamu mandi bersih sebelum datang padaku, aku tidak ingin ada jejak pria lain di tubuhmu saat datang padaku.”
Vanesa merasa seperti wanita panggilan atas perkataan Gavin. Pria itu membersihkan tangannya dengan tissu lalu membuka laci, meraih buku cek dari sana, menulis nominal yang dibutuhkan Vanesa.
“Kamu datang padaku setiap kali aku memanggilmu,” ucap pria itu menyodorkan selembar cek.
Vanesa terdiam seperti patung, ia tidak ingin mendapat hinaan dari Gavin karena uang tersebut. Tapi nyawa ayah juga sangat penting. Vanesa bertarung denga pikirannya ada harga diri yang coba ia pertahankan walau hanya tersisa sedikit.
Vanesa turun dari meja, meraih tas miliknya, “ kamu tidak perlu membayarnya karena kita belum melakukan apa-apa,” ucap Vanesa berjalam meninggalka Gavin.
“Kamu membutuhkannya untuk menyelamatkan nyawa ayahmu di rumah sakit,” ucap Gavin masih menyodorkan kertas cek tersebut.
“Tidak perlu.” Vanesa membuka pintu keluar dari ruangan Gavin.
“Kamu tidak berubah, selalu keras kepala,” ucap Gavin tersenyum miring.
Bersambung
Vanesa merasa bersalah karena ia membuat Damian dalam masalah, ia ingin membantu.“Aku ingin memberikannya.” Vanesa menyodorkan cek yang nominalnya membuat mata Damian melotot kaget.“Kamu dapat uang dari mana sebanyak itu, Nesa?”“Mas, itu tidak penting, aku ingin menebus kesalahanku padamu, pakailah uang ini dan bukalah café.”“Kenapa tiba-tiba?”“Aku tidak ingin kamu dapat masalah yang lebih besar di kantor, aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalah yang aku buat.”“Tidak apa- apa Vanesa, hal seperti sudah biasa aku alami.”&ldqu
Vanesa menepis tangannya dengan kesal, “jaga sikapmu Gavin.”“Kenapa kamu marah, bukanya aku sudah membayarmu mahal? Apa kamu ingin melayani Damian?”Vanesa sangat kesal mendengar kata ‘bayar, bayar’ berulang-ulang dari Gavin.“Aku akan membayar semua uang yang pernah aku terima dari kamu Gavin, berhentilah mengucapkan kata bayar, bayar aku muak mendengarnya.”“Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Atau kamu menjual diri juga? Aku melihat kamu sangat mesra dengan laki-laki sampah itu. Apa dia juga membayarmu?”“Tidak Gavin.”“Apa kamu meminta uang dari Mamimu?”Vanesa merasa kalah berdebat dengan Gavin, ia tidak ingin Ibunya di bawa-bawa dalam masalahnya. Vanesa duduk di kembali di kursinya membuka laptop, ia mendiamkan Gavin yang terus menyudutkan dan menghinanya.“Kenapa kamu diam? Mana keberania
Vanesa membuka rantang tiga susun tersebut, tanpa sadar ia tertawa ngakak.“Mas, masukin redang rantang ke dalam tas?”“Iya, aku malu nenteng-nenteng, ayo kita makan, kebetulan aku juga belum serapan dari rumah.”Damian membuka rak tiga susun, dua nasi dan satu rendang. Vanesa memang lapar ia belum makan. Mereka berdua makan sembari tertawa, ternyata kuah rendang tumpah di dalam tas mengenai kemeja bagian belakang Damian.“Pantas saja saat Mas tiba bau rendang, ternyata tumpah,” ucap Vanesa mencoba membersihkan noda dari kemeja belakang Damian.“Aku juga merasa bagian belakang ku juga kena, aku merasa panas b
Setelah membasuh wajah ia duduk menikmati wine sendiri, tanpa sadar ia sudah menghabiskan dua botol. Saat ingin tidur ponselnya berdering . Ternyata Karin menelepon melirik jam ternyata sudah jam sebelas malam.‘sial aku lupa janjiku pada Karin’ ucapnya mengumpat.“Iya Karin.”“Kamu di mana Sayang, aku sudah menunggu dari tadi.”“Oh, sebentar lagi sampai, ini mau jalan ke sana.”Rupanya Gavin berjanji akan menghabiskan malam bersama istrinya setelah pulang dari Paris. Gavin meminta bantuan asistennya mengantar diriny
Masalah yang dihadapi Gavin saat itu, jadi shock terapi untuknya, sudah lama pria itu tidak pernah mendapat masalah di kantor. Namun kali ini sekali dapat masalah ia dihadapkan dengan banyak tuntutan, menyebabkan ia dapat masalah besar.“Siapa mereka sebenarnya? Apa kamu sudah menemukan Vanesa?” tanya Gavin menatap tajam asistennya lagi.“Saya mengecek pasfornya Bu Vanesa sedang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan pengobatan Pak,” lapor Fano.“Pengobatan? Pengobatan apa?”Asisten menggeleng, “saya tidak tahu Pak.” &
Hari itu juga Gavin kembali ke Jakarta, ia meminta semua orang tidak boleh pulang sebelum menyelesaikan kekacauan tersebut. Semua orang tinggal di kantor menunggu Gavin datang. Damian salah satu orang yang paling takut. Tidak lama kemudian ia tiba, wajahnya suram tatapan matanya menatap semua orang dengan sinis.“Katakan apa yang terjadi sini. Ada banyak orang di sini. Kenapa sampai ada kejadian seperti ini. Bagaimana mungkin ada acara launching barang baru tapi yang muncul malah mereka orang lain.”Semua orang menunduk tidak ada yang berani membuka mulut, “siapa yang bisa menjelaskan?”Salah satu seorang dari mereka memberanikan diri menjelaskan kejadian sesungguhnya.“Kenapa bisa barang contoh bisa hilang dari kantor ini. Di sini ada banyak petugas keamanan tapi bisa terjadi kehilangan. Tugas mereka sebenarnya apa? Pecat semua,” perintahnya dengan marah.Banyak orang kehilangan pekerjaan k, Damian tidak berani menatap Damian. Ia meminta semua orang menyelesaikan masalah malam it