Share

PART 3

Author: Amma Red
last update Last Updated: 2022-01-20 21:39:55

Aku terbangun setelah beberapa saat terbaring tak berdaya di tumpukan salju. Rupanya aku pingsan setelah terjatuh. Embusan angin dari barat yang begitu dingin membuatku menderita. Tubuhku menggigil kedinginan di tengah salju yang kembali turun. Rambut coklat gelapku perlahan memutih akibat tertutup salju.

Di tengah kesunyian tempat yang tak ku kenal ini, seorang lelaki dengan mantel hitam tebal berjalan ke arahku dan berhenti. Tanpa mengetahui siapa lelaki itu, Ia berlutut dan mengulurkan tangannya padaku. 

“Siapa kau?” tanyaku setengah gemetar, bukan karena takut melainkan kedinginan.

“Sepertinya kau terluka dan butuh bantuan. Dengan senang hati aku akan membantumu. Oh iya, namaku Elgar.” Suaranya terdengar lembut dan seyumnya terasa hangat. Pembawaannya begitu tenang dengan mata birunya yang bersinar dan rambut gelapnya yang meliuk liuk tertiup angin.

“Aku…” bibir ini terasa berat untuk bicara. Aku tak tahu harus melakukan apa. Jelas tak boleh sembarangan enerima tawaran dari orang yang tidak dikenal di tengah hutan seperti ini. Bisa saja dia bukan orang baik, dan parahnya lagi bisa saja dia penyihir yang sedang menyamar.

Ah tidak mungkin! ujarku seraya menampar pipiku. Hanya para penyihir terkuat dengan sihir the violets yang mampu melakukannya. Mereka telah musnah dalam pertempuran berdarah tiga tahun lalu.

Lelaki itu mulai penasaran melihatku menampar pipiku sendir.

“Kau baik-baik saja? Pasti kau memikirkan sesuatu ya. Ayolah…aku bukan orang jahat. Ikutlah ke rumahku sehingga aku bisa membantumu mengobati luka.” Ia terus berusaha meyakinkanku.

Aku tak punya pilihan selain menerima tawarannya. Setelah kuamati, sepertinya dia memang orang baik. Semoga saja dia tak macam-macam padaku.

“Baiklah!”

Ia mengulurkan tangannya dan kusambut dengan pelan. Selain lengan dan kepala yang sakit, kaki ini juga tidak memungkinkan untuk berjalan kembali ke York.

“Terima kasih.” ujarku seraya membersihkan salju yang memenuhi permukaan mantelku.

“Siapa namamu?”

“Jenna. Baiklah, apa yang bisa kaubantu?” tanyaku.

“Aku bisa mengobati lukamu, dan kau bisa tinggal sementara di rumahku sampai suasana lebih baik.”

“Tidak, terimakasih. Aku harus segera kembali setelah kau mengobati lukaku. Ada banyak hal yang harus kulakukan.” Jawabku.

“Kumohon Jenna! kau harus beristirahat dulu. Aku memang tak tahu bagaimana kau bisa ada di tempat ini, tapi aku yakin kau perlu bantuan! Kau bisa mempercayaiku.”

Ia menatapku dengan mata birunya yang sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Senyumya terlihat tulus, dan setelah saat-saat yang menegangkan tadi perasaanku terasa jadi lebih tenang.

“Baiklah,” aku mengangguk dan berjalan mengikutinya. Ternyata medan yang kami lewati tidaklah mudah, salju cukup tebal dan jalan menurun. Rerumputan begitu rimbun dan tinggi. Kami saling berpegangan agar tidak terjatuh.

Beruntung, di depanku telah terhampar daratan luas yang landai dan medan yang sulit telah berlalu. Sepertinya tempat ini adalah danau yang membeku di musim dingin. Saat aku mulai menginjaknya, terdengar bunyi “krakk” yang pelan dari dalam danau. Setiap kami melangkahkan kaki, bunyi itu terus terdengar. Aku khawatir lapisan es ini akan pecah.

KRRAKK KRRAKK…. 

“Elgar, sepertinya lapisan esnya mulai pecah, kita bisa tercebur ke danau!”

“Tenang saja Jenna. Lapisan esnya cukup tebal dan kuat untuk menahan orang-orang yang berjalan di atasnya.”

Kami berjalan lebih cepat dan terus memandang ke depan. Kengerian mulai menjalariku. Aku tak mau melihat ke dasar danau yang tampak menakutkan dengan airnya yang berwarna biru tua. Tapi aku tahu Elgar terus memandangi senapanku sejak tadi.

“Apa kau, em… seorang pemburu?” tanya Elgar.

“Ya. Kau bisa mengetahuinya dari senjata yang kubawa.”

“Pemburu penyihir?” aku terkejut bak tersengat kalajengking di leher. Aku memandang matanya dengan tajam, seolah memperingatkannya untuk tak mengatakan hal itu lagi. Kemudian aku hanya  terdiam. Ia juga tak mengatakan apapun. Aku tak bisa memberi tahu identitasku begitu saja dengan seseorang yang baru kukenal.

“Kau tak perlu menyembuyikannya dariku. Aku mengetahui semua tentang kalian para pemburu, dan aku  menghormati kalian sebagai para pelindung.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan “Tentu saja aku berada di pihakmu.” 

Ucapannya membuatku lebih tenang sekalipun Ia berbohong. Tetap saja aku belum bisa mempercayainya seratus persen.

“Baiklah, dugaanmu sangat tepat.”

“Tapi bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”

“Aku terjatuh dari turunan tajam.”

“Setelah menjalankan misi?”

“Tentu saja.” Jawabku singkat.

Setelah melewati hamparan danau yang membeku, terlihat sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan tanaman. Karena musim dingin, tanaman-tanaman itu tertutup oleh salju tebal dan membuat mereka seolah hampir mati. Asap mengepul hampir dari seluruh rumah yang jaraknya cukup berjauhan.

Elgar mengajakku masuk ke salah satu rumah yang begitu indah. Sebenarnya rumah ini hanya terbuat dari batu-bata biasa tanpa ornamen lain yang menghiasinya, namun ratusan mawar yang ditanam di depannya membuat rumah kecil ini begitu nyaman.

“Masuklah Jenna. Ini rumahku.” Elgar membuka pintu dan mempersilakanku masuk.

Saat aku memasuki rumah, seketika tubuhku merasa hangat. Terdapat perapian di ruang tamu dan kursi-kursi kayu diletakkan di depannya membentuk setengah lingkaran dengan meja berlapis perunggu di bagian tengah.

Aku duduk dan meletakkan senjataku di bawah. Lalu seorang perempuan muda muncul dengan membawa sebuah kotak. Ia tinggi, ramping, dan rambut coklatnya diikat dengan kepangan-kepangan yang cukup rumit. Ia berhenti sejenak memandangiku dan kembali masuk lewat pintu yang lain.

Sepertinya Ia hanya berberapa tahun lebih tua dariku. 

“Mungkin teh ini bisa membuatmu lebih hangat.” Elgar meletakkan nampan di meja dan menyodorkan secangkir teh padaku.

“Terimakasih Elgar.” Aku meminum tehnya dan rasanya benar-benar nikmat. Ada sedikit campuran daun mint yang membuat rasanya segar di tenggorokan.

“Sekarang perlihatkan lukamu Jenna.”

“Baiklah.” Aku membuka lengan bajuku yang sobek dan memperlihatkan lukanya pada Elgar. Tanganku terlihat begitu kaku dan hampir membiru.

“Lukamu sudah cukup parah dan harus segera diobati. Kakakku sangat ahli melakukannya.” Elgar beranjak dari kursi dan kembali ke dalam untuk memanggilnya. Tak berselang lama, Elgar muncul dengan gadis yang kulihat tadi.

“Jenna, ini kakakku Kathleen.” Elgar mengenalkannya padaku.

Gadis itu membawa kotak obat dan duduk di depanku. “Aku akan mengobati lukamu.” Suaranya terdengar lembut dan ramah.

Kathleen membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan membubuhkannya di lenganku kemudian membalutnya dengan perban. 

“Selesai! Kau hanya perlu istirahat.”

“Kalau begitu, aku akan pulang. Teman-temanku pasti mencariku.”

“Teman-temanmu?” Kathleen melihat keluar jendela seakan mencari sesuatu.

“Aku belum menceritakannya padamu. Jenna adalah pemburu penyihir, Ia terjatuh dari turunan tajam saat aku menemukannya.”

“Pemburu? Hunters? Wow, itu keren!” Kathleen begitu tertarik dengan profesiku. “Selamat datang di Desa Cornwall.”

“Terima kasih. Kalian sangat baik, tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku mempunya tugas yang harus segera kulakukan.” aku menolak tawarannya.

“Aku tahu. Tapi lihatlah! Cuaca di luar sangat buruk. Salju turun tanpa henti, apalagi kau harus melewati medan yang sulit. Tinggallah sebentar, setidaknya sampai cuaca sedikit lebih baik.” pinta Elgar.

Aku sempat berpikir selama beberapa saat. Elgar benar juga, udara di luar sangat dingin, tumpukan salju begitu tebal dan sulit dilalui. Apalagi resiko bertemu musuh di tengah perjalanan bukan hal yang tidak mungkin. Ya, lebih baik aku menuruti saja permintaannya.

Walaupun aku belum percaya sepenuhnya pada mereka, setidaknya aku lebih punya energi untuk menjaga diri.

“Baiklah, jika kalian menginginkan ini.” jawabku seraya mengambil cangkir tehku.

Kathleen mengajakku melihat-lihat isi rumah. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi suasananya begitu hangat dan nyaman. Di dinding ruang tamu terdapat ukiran-ukiran kayu serta lampu gantung berwarna keperakan yang terlihat antik.

Lalu kami menuju ke sayap kanan rumah. Di bagian ini terdapat ruang perapian dan dapur, jadi ada dua tungku perapian di rumah ini. 

Kathleen mengajakku masuk ke perapian dan mataku segera tertuju pada benda-benda yang menghiasi dindingnya. Di atas tungku perapian terdapat tiga buah pedang yang disusun berjajar. Sementara di dinding sebelah kanan dan kiri terdapat busur serta anak panah yang digantung diantara lukisan-lukisan minyak.

“Kau mengoleksi benda-benda ini?” tanyaku sambil menunjuk ke salah satu pedang.

“Ya. Kami memang senang mengoleksi senjata. Lagipula, kita bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Selain sebagai hiasan, aku juga bisa menggunakannya untuk melawan serangan musuh.” Kathleen menjawab dengan antusias.

“Hobimu cukup menantang. Um..Apa desa ini pernah diserang?

“Tidak, tentu saja tidak. Cornwall tempat yang aman, Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku dan Elgar hanya tinggal berdua disini, jadi kami begitu senang menerimamu!”

“Kalian hanya tinggal berdua?” tanyaku penasaran.

“Ya. Seperti yang kau lihat.”

Sebenarnya aku masih ingin menanyakan mengapa mereka hanya tinggal berdua di rumah ini, serta kemana orang tua mereka. tapi aku merasa tidak enak pada Kathleen.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiga Cawan Sakti   PART 42

    15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe

  • Tiga Cawan Sakti   PART 41

    Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke

  • Tiga Cawan Sakti   PART 40

    Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak

  • Tiga Cawan Sakti   PART 39

    Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha

  • Tiga Cawan Sakti   PART 38

    Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan

  • Tiga Cawan Sakti   PART 37

    Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status