Masuk“Aku belum memberi tanda apa-apa dan kamu bilang jangan? Ini membuat aku jadi ingin meninggalkan lebih banyak tanda di tubuhmu, Sherry." Mendengar itu, aku menegakkan tubuhku secara refleks, tapi Aaron menahan pinggangku dan menarikku kembali ke arahnya."Kak, t-tidak. Jangan... ""Kenapa jangan?"Aaron bertanya dengan suara rendah, dan malah seperti dengan sangat sengaja, mencium tempat yang sama, bahkan lebih lama dan sedikit menekan seakan tengah mencetak bekas di sana, membuatku menahan napas dan menggigit bibir sendiri supaya tidak bersuara terlalu keras.“Ka–kak… jangan, nanti kelihatan di kampus…”“Justru harus kelihatan," balas Aaron cepat. Kembali menghisap pelan bawah daguku, sehingga aku pun mengerang pelan. “Biar semua orang tahu kamu tidak sendiri dan tak ada yang berani mendekatimu, Sherry."“K-kak Aaron!” bisikku, protes dalam panik.Ia menoleh santai, wajahnya tetap dekat sekali denganku. “Kamu mau aku berhenti?”Aku hendak menjawab iya. Harusnya begitu. Tapi tubuhk
"A-apa? 30 menit? Kenapa... kenapa secepat itu, Kak?"Aku bertanya dengan ekspresi kecewa dan tak rela, tapi Aaron, bukannya menjawab, tapi kembali menarik pinggangku, menempelkanku lebih rapat ke tubuhnya. Aku bisa merasakan kerasnya otot dadanya, juga napas panas yang turun tepat di bawah telingaku, membuat dadaku seperti terbakar oleh gairah. “Ka–kak… kenapa hanya 30 menit?" tanyaku lagi, saat Aaron masih tidak menjawab. "Sebenarnya ini belum jadwalku pulang, Sherry," jawab Aaron akhirnya, menempelkan keningnya di keningnya. "Aku impulsif mendatangi rumah ini di tengah perjalanan ke markas karena merasa hatimu tengah berpaling ke pria lain selama aku tak ada," ujar Aaron lagi, suaranya rendah dan berbahaya, tapi anehnya jantungku malah berdebar begitu cepat. Segera aku menggeleng dengan tuduhannya dan menjawab, “Kak Aaron… . Aku tidak—”Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, bibir Aaron kembali menutup bibirku. Kali ini bukan agresif seperti sebelumnya. Justru perlahan, tapi t
"Emmm... "Tidur pulasku sedikit terganggu saat aku merasakan seseorang di atasku menunduk, menarik selimut tipis untuk menutupi tubuhku. Meski begitu, aku tetap tak bergerak, terlalu lelah untuk sadar. Hari ini membaca satu buku penuh manajemen bisnis, rasanya bukan mataku saja yang lelah, tapi juga seluruh tubuhku. Merasa nyaman dengan selimut yang kini menutupi tubuhku, aku hampir terlelap lagi, sampai... sesuatu menyentuh bibirku.Awalnya lembut. Seolah hanya meraba. Tapi kemudian semakin menekan, dalam, hangat, seakan ada rasa rindu yang menumpuk lama.Tanpa sadar aku mengerang pelan. “Mm…?”Ciuman itu berhenti sepersekian detik, tapi bukan untuk menjauh. Justru seperti memastikan aku masih bernapas. Lalu kembali menempel lagi, lebih nyata, membuat tubuhku bereaksi.Mataku akhirnya terbuka perlahan dan wajah itu langsung memenuhi pandanganku."Kak... Aaro?"Kantukku langsung sirna seketika, saat melihat wajah yang super tampan itu... akhirnya di depanku lagi. Jantungku seketi
Setelah ultimatum Aresh padaku untuk hanya pergi kuliah dan pulang, di kampus aku benar-benar memusatkan pikiranku untuk belajar. Aku ingin membuktikan kepada Aresh, bahwa aku tidak sebodoh yang dia tuduhkan. Hari ini satu jam kosong karena dosen yang mengisi ternyata batal hadir, dan karena waktu pulang masih lama, aku memilih menghabiskan waktu di perpustakaan universitas untuk belajar. Suasana sepi dan tenang, pengunjung juga tampak sangat jarang, aku memilih tempat paling pojok dan tersembunyi untuk membuat diriku konsentrasi belajar. Saat tengah fokus membaca buku ilmu manajemen bisnis di depanku, tiba-tiba terdengar suara seseorang. “Wah, wah. Belajar sendirian?” Suaranya mengejek, tajam, seolah aku seseorang yang tak pantas berada di tempat seperti ini. "Jarang sekali kamu terlihat di tempat akademis tanpa laki-laki di sebelahmu, Sherry. Kamu benar-benar sedang fokus belajar atau... ini metode gaya baru untuk memikat pria?"Aku mendongak dan mendapati seseorang tengah be
“Tidak, Sherry. Aku tidak akan percaya lagi padamu, kalau kamu tidak bisa memberikan bukti padaku."Aresh segera memotong, suaranya dingin. Mengerikan."Bukti apa, Kak?" tanyaku, menatapnya dengan putus asa. Aresh menghela napas panjang dan menatap tajam padaku, entah kenapa, semenjak kejadian di mana Aaron yang membongkar kedok Maureen dan Aresh mendapat teguran dari ayah sebagai kakak pertama, dia tampak terlalu sensitif padaku, seakan-akan aku lah yang membuat dia mendapat perlakuan seperti itu. "Bukti bahwa dosen kamu, pak Samuel telah mengancam dan melecehkan kamu. Kamu tadi bilang kalau alasan dapat nilai D karena pak Samuel mengancammu, kan?" Aresh menjawab dengan mata menyipit, seakan aku manusia bodoh sedunia, yang bahkan tidak konsisten dengan kebohongannya sendiri. "Bukti... bukti.... "Aku menggigit bibir bawah dengan tatapan panik. Bodohnya aku, aku sama sekali tak menyimpan bukti ucapan merendahkan pak Samuel dan ancamannya. Harusnya... harusnya aku merekam semuanya.
"K-Kai, sepertinya aku harus pulang sekarang," ujarku, terburu-buru berdiri dan mengemasi barangku. "Ada apa? Kenapa kamu terlihat gugup, Sherry?"Kaiser ikut berdiri, mengulurkan ponselku, yang segera kumasukkan ke tas. "Kak Aresh... menyuruh pulang.""Ayo, aku antar."Kaiser dengan sigap menawarkan diri, tapi aku segera menggeleng. "T-tidak! Jangan. Kak Aresh akan semakin marah kalau tahu aku keluar bersama kamu, aku pulang dulu!" tolakku, cepat. "Baiklah, baiklah. Tapi aku pesankan taksi, ini sudah malam, aku khawatir ada apa-apa," jawab Kaiser, mengikuti langkahku yang tergesa-gesa. Aku mengangguk dan segera mengucapkan terimakasih. Begitu aku sampai rumah, pintu langsung terbuka dan Aresh berdiri di sana, wajahnya sangat keras, bukan sekadar marah… tapi muak.“Beri aku penjelasan, Sherry,” ucapnya tanpa basa-basi. “Kenapa kamu dapat nilai D, tapi bukannya pulang dan belajar, kamu malah keluar sampai malam dengan Kaiser?”Tubuhku kaku, tak sanggup menjawab cecaran Aresh.







