Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 84: Bisik Berita di Kota Pohon

Share

Bab 84: Bisik Berita di Kota Pohon

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-04-15 15:26:10

Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud.

Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun.

Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri.

Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 85: Bayang Kenabian dan Segel Darah

    Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny

    Last Updated : 2025-04-15
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 86: Retakan Bebola Sihir

    Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k

    Last Updated : 2025-04-20
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 87: Bayang Serigala di Tapak Terbang

    'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu

    Last Updated : 2025-04-20
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 88: Ledakan di Tapak dan Cahaya Wyvern

    Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik

    Last Updated : 2025-04-22
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 89: Lorong Batu dan Denyut Emas

    Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,

    Last Updated : 2025-04-22
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 90: Badai Monster dan Kepungan Wyvern

    Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu

    Last Updated : 2025-04-26
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 91: Luncur Lendir dan Bebola Racun

    Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila

    Last Updated : 2025-04-26
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 92: Abu Monster dan Ledakan Hutan

    'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc

    Last Updated : 2025-04-26

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 119 – Cengkeraman Lendir dan Amarah yang Membakar

    Di tengah lorong bawah tanah yang semakin pengap oleh aroma darah dan sihir yang terbakar, Kael berdiri di hadapan Lyra, Sarah, dan Laila. Nafasnya masih terengah, tubuhnya dilapisi keringat dan debu pertempuran. Meski luka-lukanya belum pulih sepenuhnya, matanya masih menyala dengan tekad. "Ini jebakan Sophia," ujar Kael, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Ia membuat dirinya jadi umpan agar kita bisa melancarkan serangan gabungan saat makhluk itu lengah." Lyra menggenggam botol sihir airnya lebih erat, sementara Sarah menajamkan telinganya, menangkap ritme pergerakan makhluk itu dari kejauhan. Laila mengangguk meski tak berkata apa-apa, namun matanya bersinar dengan frekuensi sonik yang siap digunakan kapan saja. Tubuh mereka semua diliputi kelelahan. Sudah terlalu lama mereka bertarung. Dimulai dari mencegah makhluk-makhluk aneh memasuki kolam darah yang memancar aura kegelapan, kemudian menghadapi klon Murphy yang tak hanya kuat secara fisik, tapi juga mengenal gaya bertaru

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 118 - Ledakan, Luka, dan Regenerasi yang Menggila

    Suasana di dalam ruangan itu dicekam oleh ketegangan yang begitu menyesakkan. Aura bahaya memenuhi udara, menyatu dengan debu dan sisa energi sihir dari pertarungan sebelumnya. Di hadapan mereka, sesosok makhluk aneh perlahan bangkit dari dasar kolam darah yang telah mengering. Sosok itu merupakan gabungan kekuatan dari lebih dari empat ratus klon kelompok Kael—makhluk yang tak sempat mereka cegah saat menyerbu masuk ke kolam berdarah itu. Dan kini, mereka harus menghadapi hasil akhir dari kegagalan tersebut. Namun perhatian semua orang tak tertuju pada makhluk itu dahulu. Justru, mereka terpaku pada Sophia. Gadis itu berdiri paling dekat dengan bibir kolam, nyaris di tepiannya. Sementara yang lain sudah menepi, menyembunyikan diri di balik reruntuhan, mencari perlindungan terbaik, Sophia tetap berdiri di tempatnya. Seolah tak takut, seolah ia memang sudah menunggu momen ini. Kolam yang dulunya dipenuhi darah kini tampak seperti liang gelap berkedalaman lebih dari empat meter. Di

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 117 – Makhluk dari Kolam Darah Dan Rencana Sophia

    Sementara Kael bersiap menyerang dengan sihir racun, yang dirancang khusus untuk mengganggu struktur sihir di dalam kolam darah, aroma logam yang menusuk tercium makin tajam di udara. Kabut darah bergolak pelan, seolah menyadari bahaya yang mendekat. Di sisi lain, kelompok mereka dengan cepat mengeluarkan potion mana, meneguknya tanpa ragu. Energi sihir mereka telah banyak terkuras saat menghadapi klon sebelumnya, dan mereka tak bisa lengah lagi. Kael menggertakkan gigi, tubuhnya basah oleh keringat saat ia memampatkan sihir racun—teknik paling mematikan yang juga paling menguras kekuatan sihirnya. Sihir itu tampak seperti pusaran ungu tua yang berdenyut hidup di telapak tangannya, seolah menyuarakan kehendaknya sendiri. Saat ia merasakan momen yang tepat, tak ada aba-aba. Tanpa sepatah kata, Kael mengangkat tangannya tinggi-tinggi—dan melepaskan sihir itu lurus ke arah kabut merah pekat yang menggantung di atas kolam. Suara seperti bisikan ribuan roh menyeringai menyambut tumbukan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 116: Ledakan inti Dan Situasi di Kolam Darah

    Suara ledakan keras mengguncang udara, memecah kesunyian ruang bawah tanah seperti dentuman langit yang jatuh ke bumi. Ledakan sihir terkompresi menghantam tubuh makhluk itu, membuat getaran bergema dari dinding ke dinding. Asap pekat beraroma belerang dan logam terbakar mengepul sesaat, menutupi penglihatan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan efek mengerikan dari serangan itu. Makhluk tersebut meraung dengan buas, matanya yang gelap berkilat merah menyala, mencerminkan pengaruh dari sihir halusinasi yang menyusup ke dalam kesadarannya. Tubuhnya bergerak tak terkendali, namun anehnya, arah serangannya mulai meleset, melukai bayangan dan ruang kosong yang jauh dari posisi kelompok Kael. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara senyap seperti bisikan angin tajam. Tiga bilah belati berputar dengan kecepatan mengerikan muncul dari bayangan. Aura dingin yang mengikutinya langsung mengubah suhu sekitar menjadi berat dan membeku, seolah udara enggan bergerak. Paman Peter yang diam men

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 115: Kolam Darah dan Perubahannya

    Pertempuran terus berkecamuk di ruang yang dipenuhi kabut sihir dan bau besi yang menyesakkan. Klon yang menyerupai mereka bergegas menuju kolam darah yang terletak di tengah ruangan seperti jantung yang memompa ancaman. Mereka tidak menyerbu secara sembrono, melainkan bergerak dengan kecekatan menyerupai kelinci yang terbiasa melintasi hutan berburu mangsa—atau menghindari pemangsa. Setiap gerakan mereka penuh tujuan: menuju kolam darah. Mereka melompat, berputar, menekuk tubuh secara mustahil untuk menghindari serangan yang datang. Seolah tidak peduli pada tim Kael, misi mereka jelas: masuk ke dalam kolam. Laila berdiri di titik tinggi, suara sihirnya memekakkan telinga, meledak ke segala arah seperti gelombang guntur dalam badai. Klon miliknya yang terlalu lambat atau terlalu dekat tak bisa menghindar; tubuh mereka terhempas dan terkoyak oleh hantaman frekuensi sonik yang menggetarkan udara. Di sisi lain, Lyra tampak seperti dewi air dalam badai. Sihirnya menyembur dari botol

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 114 — Kolam Darah dan Klon Yang Bangkit

    Langkah kaki mereka bergema di antara bebatuan lembap, saat kelompok Kael merapat, masing-masing bersiaga dengan aura sihir yang berdenyut di udara. Udara berbau amis dan pekat, membuat setiap tarikan napas terasa berat di dada. Namun di tengah ketegangan itu, Kael merasakan sesuatu yang ganjil. Mata tajamnya memandang kelompok makhluk aneh yang menyerupai mereka—ada sesuatu dalam gerakan mereka yang terasa tidak benar, terlalu... terkendali. Semua orang menahan napas, otot-otot mereka menegang, siap meledak dalam pertempuran kapan saja. Namun yang terjadi membuat semua membeku. Secara tiba-tiba, semua makhluk yang menyerupai Murphy bergegas berlari menuju kolam darah di tengah ruangan. Cipratan darah kental terciprat ke udara, menciptakan percikan merah yang seolah menari di bawah cahaya redup obor. "Apa yang sedang terjadi? Mereka tidak menyerang kami, malah terjun ke kolam darah?" gumam Murphy, suaranya terdengar lebih bingung daripada marah, alisnya berkerut dalam ketidakpaham

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 113 – Bayangan di Belakang

    Perjalanan mereka berjalan lancar, berkat insting tajam Paman Peter dan Kael yang memandu langkah kelompok kecil itu melewati lorong-lorong gelap nan berliku. Di sekeliling mereka, dinding batu kasar menjulang, dipenuhi lumut hitam yang mengilap dalam kegelapan, seolah-olah makhluk hidup yang mengintai. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan gema sunyi yang menyebar seperti gelombang di udara berat. Meskipun sudah berhati-hati, mereka tetap menemukan jebakan di sepanjang perjalanan. Terkadang jalanan berubah bentuk, seolah-olah dinding hidup yang bergeser dengan sendirinya. Ada pula lubang-lubang kecil tersembunyi di lantai yang tampak kokoh, yang bisa menelan mereka tanpa ampun jika lengah. Namun, perjalanan penuh tipu daya ini malah semakin mengasah insting Kael. Dengan setiap jebakan yang mereka hindari, nalurinya menjadi lebih tajam, seperti pedang yang terus diasah. Ia mulai dapat merasakan keanehan sebelum jebakan itu benar-benar terungkap, membuat mereka mampu berbelok atau b

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 112 – Lorong Insting dan Bayangan

    Berada terlalu lama di tempat yang diselimuti kegelapan dan suasana mencekam membuat perasaan tidak nyaman menyelimuti semua orang. Namun, mereka tidak memiliki pilihan lain. Jalan ke depan tertutup oleh gelap yang tidak biasa, dan rasa was-was mulai menggerogoti ketenangan mereka. "Karena di dalam ruang ini kita akan kehilangan arah jika hanya mengandalkan mata dan telinga seperti sebelumnya, maka kita harus mengandalkan insting saja," ucap Kael, suaranya tenang namun tegas. Ia memandang anggota kelompoknya yang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Aku pikir Paman Peter pasti memiliki kemampuan insting yang kuat juga. Jadi, aku dan Paman Peter akan mencoba mengikuti insting kami untuk menemukan arah yang benar di lorong ini." "Aku harap itu benar-benar membantu seperti yang kamu katakan. Sudah terlalu lama kita berada di sini," balas Paman Peter, wajahnya serius, matanya menyipit menembus gelap yang tak bersahabat. "Aku khawatir kita akan kehabisan waktu. Bisa saja kelo

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 111: Jejak Bayangan dan Ketegangan Tak Kasat Mata

    Energi sihir yang terkompresi dengan cepat meluncur bagai meteorit yang jatuh dari langit, mengarah lurus ke sosok yang menyerupai Kael. Suara ledakan energi menggema di seluruh lorong, dan pada saat bersamaan, kelompok Kael seolah menyadari sesuatu yang tidak beres. Mereka tanpa sadar mundur, menjaga jarak dari sosok Kael yang selama ini mereka ikuti. Saat serangan Kael menghantam, sosok itu akhirnya menunjukkan wujud aslinya—sebuah makhluk mengerikan yang bentuknya menyerupai kenangan buruk yang pernah Kael hadapi. Tubuh makhluk itu bergetar, berteriak dengan suara nyaring penuh rasa sakit. Sihir racun melemahkan milik Kael perlahan meluruhkan tubuhnya, memperlihatkan sosok yang menjijikkan: seperti gurita dengan kepala yang dipenuhi mulut bergigi tajam yang terbuka lebar, menganga liar di udara. Murphy, yang menahan rasa mual, berseru dengan ekspresi buruk di wajahnya. "Jadi, apakah Kael yang bersama kita sebelumnya adalah makhluk mengerikan ini?! Karena itulah aku merasa k

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status