"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya."
Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane.
Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka.
"Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi.
Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi.
"Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya.
"Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Terimakasih banyak sudah membaca Touch Me If You Dare. Terimakasih sudah mengorbankan waktu dan koin untuk membaca kisah cinta Jane dan Aaron. Semoga pembaca terhibur, dan bisa memetik hikmah dari kisah cinta mereka. Terimakasih juga gem-nya. Maaf banget, saya tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga pembaca semua selalu dalam keadaan sehat dan dilimpahi rezeki yang banyak. Aamiin. Mohon support terus karya-karya Cathalea, ya. Sampai jumpa ( ^ o ^ )
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
"Lepaskan aku!" perintah Jane dengan suara keras. Tapi pria itu bergeming, justru memperkuat cengkramannya pada pergelangan tangan Jane.."Berteriaklah sekuatmu, Jane. Jangan berpikir kau bisa pergi dari sini sebelum melayaniku," kata pria itu kemudian. Tatapannya menghujam penuh nafsu, sementara tangannya mulai bergerilya di atas tubuh Jane.."Bajingan! Sudah bosan hidup kau rupanya. Jangan salahkan aku jika 'pentungan'mu itu tidak bisa berfungsi lagi besok pagi," balas Jane tidak kalah sengit.Hitungan detik kemudian, pria itu mengeluarkan jerit yang memilukan..Tubuhnya meringkuk menahan sakit tak terperi. Ia terus berguling-guling di lantai, sementara kedua tangannya memegangi selangkangannya."Ahh! Sial! Dasar perempuan jalang!" Makinya berapi-api.Jane berhasil mendaratkan kakinya pada organ vital pria itu. Tidak tanggung-tanggung, dua kali tendangan beruntun dalam satu waktu.
Jane melangkah gontai dengan wajah lesu menuju minimarket. Perutnya sudah berontak minta diisi sejak 2 jam yang lalu, tapi Jane kadung malas untuk bergerak. Pikirannya sedang galau karena jatuh tempo sewa rumahnya tinggal beberapa hari lagi, tapi uang di tangannya saat ini tersisa hanya untuk biaya makan seminggu saja. Perkerjaannya sebagai ghost designer memang lumayan, hanya saja tidak selalu ada. Jane tetap harus mencari side job lainnya agar kebutuhan sehari-hari terpenuhi. Seandainya saja tragedi 3 tahun lalu itu tidak terjadi, Jane yakin keadaannya pasti jauh berbeda. Jane hanya bisa menghela nafas panjang, sambil merapalkan doa di dalam hati, semoga mendapatkan klien dalam waktu dekat. "Semuanya 15 ribu, Kak." Suara kasir membuyarkan lamunan Jane. Jane segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Ponsel di kantung celana Jane berbunyi, tepat ketika Jane hendak keluar minimarket. Dari
Pesan singkat dari Glen masuk satu jam setelah Jane selesai makan siang. Keningnya berkerut ketika membaca alamat yang tertera di layar ponselnya. "Mrs. Diodra, International Hotel, Room 414, pukul 18 sore? Tidak biasanya klien minta ketemu di kamar hotel," pikir Jane dalam hati. "Ah, mungkin klien tidak punya cukup waktu untuk membuat janji temu di tempat lain," kilah Jane kemudian. Ia berusaha untuk membangun pikiran positif karena berharap banyak dengan proyek ini. Pukul 18 kurang sepuluh menit Jane sudah sampai di depan kamar hotel kliennya. Jane mengetuk pintu itu dengan perlahan. Beberapa saat kemudian Jane mendengar langkah kaki mendekati pintu. Cklek! Pintu itu terbuka. Jane menunggu pintu itu terbuka lebih lebar, tapi penghuni kamar itu tidak membukanya lebih lebar. Jane akhir