LOGINOlivia menyesap minumannya pelan-pelan sembari melihat sekelilingnya.Di tegukan ke tiga-nya, tiba-tiba saja Stanley menoleh ke arahnya. Mungkin dia baru merasakan ada orang yang duduk di sebelahnya dan ingin melihat siapa.Saat itulah mata mereka saling bertatapan. Stanley seperti melihat hantu, hanya karena dia sangat terkejut, Olivia yang dicari-carinya sedari tadi tetiba sudah ada di sini.“Oh, bidadariku,” katanya dengan suara keras berusaha menembus bunyi musik.Olivia mengernyit hebat. Dia tidak suka pria perayu, apalagi yang norak seperti itu.“Kau!” Kedua matanya membelalak lebar.Stanley senang, Olivia mengenalinya. “Kau masih mengingatku, rupanya. Berarti ... kita jodoh,” katanya seraya meraih tangan Olivia yang bertengger di gelas minuman dan membawanya ke bibir.Dikecupnya lembut punggung tangan Olivia.Arnold yang baru menyadari kehadiran Olivia pun cepat bangkit. Tidak mau kalah.Dia meraih tangan Olivia yang satunya dan mengecupnya juga. “Hai, kau seharusnya masih meng
Romeo tidak jadi pulang ke rumah. Dia berputar-putar tanpa arah tujuan. Keinginannya simpel, hanya menghindari Steve. Tapi, dia juga tak tahu harus ke mana.Menyesal juga dia sempat marah dan ngambek pada dua temannya itu, Arnold dan Stanley. Kalau sudah begini, dia jadi tidak bisa memanggil mereka untuk menemaninya bergalau ria.Ponselnya sendiri di jok sebelahnya dan bergetar-getar sedari tadi. Tentu saja nama si pemanggil adalah Steve.Tapi, Romeo tak berniat untuk menjawabnya. Dibiarkannya saja. dan semakin ponsel itu bergetar lama, semakin dia senang membayangkan betapa marahnya Steve karena panggilan teleponnya tak kunjung dijawab.Romeo bahkan tertawa jahat.‘Ah, aku ke bar kecil saja. bisa menyendiri tanpa ada yang mengenali,’ pikirnya.Karena Romeo teringat pada ucapan Stanley dan Arnold bahwa rumor menyimpangnya sudah beredar cukup luas. Jika ke bar kecil, dia takkan dikenali.Romeo tancap gas dan memarkir. Dia turun dan melangkah denagn penuh percaya diri, yakin jika dia bi
[Malam ini kutunggu kau di yatch-ku. Bermalamlah di sini sampai hari Minggu. Tidak perlu bawa apa-apa.]Itu sepenggal pesan dari Steve yang sontak saja membuat Romeo nyaris melempar ponselnya. Ya, tentu saja tidak perlu membawa apa-apa, karena dia nyaris tak diperbolehkan mengenakan pakaian selembar pun saat di sana.Romeo pun menggeram kesal sembari melempar ponselnya ke atas meja.“Kenapa kau?” tanya Arnold yang melihat kegeraman itu. Mereka bertiga, dengan Stanley juga, sedang berkumpul bersama, seperti hari senggang biasanya.“Hah! Biasalah! Penggemar terkutuk!” maki Romeo seraya mengambil minum dan meneguknya.“Penggemar terkutuk?” Ungkapan itu sontak membuat Arnold dan Stanley memicing curiga. “Jangan bilang kau masih bersama si pedang-pedangan itu!”Romeo mengutuki lidahnya yang malah mengucapkan kata yang mencurigakan bagi dua temannya itu. Dan karena tak mampu mengelak lagi, dia pun akhirnya hanya diam dan menghela napasnya jauh-jauh. Diamnya itu membuat Arnold dan Stanley sa
Setelah sepanjang perjalanan pulang ke rumah Sergio hanya diam dan berwajah dingin pada Tilly, sesampainya di rumah pun suaminya itu masih juga diam dan berwajah dingin.Tilly memeras otak, tapi kali ini dia tidak memiliki ide.Rasa bersalah membuatnya kehilangan daya kreatifitas untuk menggoda Sergio, mencairkan suasana kaku di antara mereka.Jika dia menjadi Sergio dan mendapatkan ketidakpercayaan dirinya sendiri pun, Tilly merasa akan mengabadikan kemarahannya dalam berbagai bentuk. Diam dan bersikap dingin adalah salah satunya. Bahkan Tilly akan melangsungkannya selama setahun penuh.Memikirkan itu, Tilly bergidik sendiri.Akan gawat jika Sergio marah padanya sampai setahun penuh.Satu jam lamanya Tilly memperhatikan segala gerakan serta raut wajah Sergio, tapi Tilly masih merasa tak bisa menembus tembok dingin yang dibangun Sergio.Saat tiba waktu menjelang tidur, dia bolak balik di atas tempat tidur. Dia menatap ke berbagai arah di dalam kamar, memikirkan kalimat apa yang akan di
Entah ke mana Sergio pergi. Tapi Tilly perkirakan Sergio menuju hutan di belakang.Tilly jadinya hanya bengong di dalam kamar. Dia menunggu Sergio pulang, sekaligus menunggu waktu tibanya pertemuan denagn Karl.Saat mendekati waktu pertemuan, Sergio pun kembali.Huh! Masih ingat juga dia denagn pertemuan. Kirain sudah lupa!Di hadapannya, Sergio mengganti bajunya kemudian melesak ke luar rumah.Tilly pun gegas mengganti bajunya dengan terburu-buru kemudian menyusul Sergio. Pria itu sudah berada di dalam mobil. Di balik kemudi.Tilly mendegus kesal tapi dia masuk juga ke bagian penumpang.‘Lagi-lagi perang dinign!’ keluh hati Tilly sebal.Mereka akhirnya tiba di restoran yang dijanjikan setelah hampir satu jam berkendara dalam diam. Diam yang aneh. Diam yang sangat tidak menyenangkan.Tapi Tilly bersyukur, setidaknya Karl sudah tiba di meja mereka saat dirinya dan Sergio tiba. Setidaknya, mereka tidak perlu melanjutkan perang dingin mereka di restoran. ***“Jadi, Tuan D
Kata-kata Valencia terus berdenging di telinga Dante, memantul-mantul di seluruh penjuru kepalanya.Dia menjadi tak tentram setiap kali hendak menarik napasnya.Dante kembali ke ruang kerjanya malam itu setelah menidurkan Valencia dan memandangi wajah sang istri yang terlihat damai itu.Mau berjuta kali dia meminta maaf pun Dante sadar usia Valencia takkan bisa dia tambahkan dengan itu. Dante hanya bisa menyesali setiap dosanya dengan dirinya sendiri.Dia menyepi ke ruang kerja dan merenung. Teringat akan ucapan Valencia, Dante menghubungi Karl.“Ya, Tuan?” jawab Karl di ujung telepon.“Lepaskan Sergio. Cabut segala tuntutan terhadapnya. Untuk perjanjian kerja kita dengannya, lupakan saja. Bakar surat perjanjian itu. Kita tidak akan memperhitungkan apapun padanya. Juga dia tak lagi berhutang pada kita.Juga, beri dia tanah dan gedung sebagai ganti dari gedung kantornya yang terbakar dan juga segala harta miliknya yang sempat ikut terbakar. Pokoknya apa yang telah kita hancurkan dari S







