Share

Bagian 2. Dongeng Pagi

Semenjak pergantian jadwal, mata pelajaran olahraga yang semula dilaksanakan setiap Kamis pindah ke Senin. Sebuah keuntungan tersendiri bagiku yang menyukai aktivitas luar ruangan. Sengaja kupasang headband untuk memadupadankan setelanku. Sempurna! Bawahan celana dodger blue selutut yang kukenakan juga menyelamatkanku dari betis pendek ini.

“Ra, sini buruan.”

Dalam sekejap suara Jendra mengganggu ketenangan pagi. Kugulung lengan seragamku lebih tinggi. Selain emosional, Jendra paling tidak sabaran. Tak kuhiraukan teriakannya. Namun, Jendra tidak puas memanggilku berulang-ulang. Ia juga membuat keributan agar aku segera menghampirinya. Ia pikir dengan memainkan sendok dan garpu saat sedang sarapan maka telingaku akan panas. 

Sayangnya itu benar. Kuhampiri Jendra yang terlihat sedang menyalin pekerjaan rumah dari buku lain dengan sesekali menyuap nasinya. Dugaanku kali ini ketua kelasnya yang jadi korban. 

“Apa, apa, apa lagi?”

Sembari Jendra menyuap nasi ke mulutnya, satu tangannya menunjuk rak sepatu di sudut ruangan.

“Lo tahu, ‘kan, Ayah suka nggak sadar pakai sepatu gue?”

“Trus?”

“Tangan gue sibuk, Ra. Gue minta lo ambilin.” Jendra menegaskan seolah mengambilkan sepatu untuknya termasuk rutinitas pagi yang harus kulakukan.

“Ambil aja sendiri,” sungutku seraya menarik kursi di sebelah Rama.

Aku dan Rama—yang semula fokus dengan ponselnya— terperanjat saat tiba-tiba Jendra bangun dari kursi. Melemaskan tangan-tangannya seperti akan melakukan pemanasan. Mulanya aku merasa lega Jendra menjauhi meja makan, tetapi sepersekian detik setelahnya leherku dihimpit dari belakang oleh lengan besar Jendra.

Rama kelihatan tak tertarik dengan nasib sialku, sebab ia masih tak berpaling dari ponselnya. Siaran langsung yang saat ini menayangkan pemain yang ia jagokan jauh lebih penting dari aku yang hampir kehabisan napas.

Sementara aku dan Jendra bergulat dalam ring tak kasat mata, kulihat adanya peluang membersenjatai dirinya. Aku berhasil mengambil garpu di piring Rama, sehingga bisa melepaskan diri darinya. Rama dan Jendra berteriak bersama dengan alasan berbeda. Rama berteriak karena jagoannya lolos ke final, sedangkan Jendra berteriak karena punggung tangannya terluka oleh garpu yang kutodongkan.

Rama terperangah saat memutar tubuhnya ke arah kami berdua. “Masuk final,” katanya.

Kami berdua memang pendukung garis keras Kevin dan Markus Gideon yang saat ini masih menduduki posisi pertama dunia kategori ganda putra. Mendengarnya lolos ke final bukan hal yang baru. Tetapi, sikap Jendra yang kekanak-kanakan ini sungguh baru bagiku. Bisa dibilang kali pertamaku diserang olehnya di rumah.

“Aaaa!” teriakku ketika headband yang baru tiga hari kubeli sudah sobek.

Oleh karenanya, aku tidak akan menyimpan dendam. Aku langsung bertekad membuat Jendra menangis di bawah kakiku dan mencakar wajahnya sampai kusut.

Aku meringsut ke bawah kaki meja sambil memegangi perutku beberapa menit kemudian. Cairan bening yang akan segera menetes kutahan selagi Jendra masih berjongkok di depanku. Laki-laki itu memang sinting, perutku yang belum terisi sesendok nasi pun merasa mulas setelah dikelitiki.

Jendra mendecak di depanku. Seringai tajamnya berusaha mengintimidasiku.

“Gue yang bawa motor ke sekolah,” putus Jendra sepihak.

Kami hanya memiliki satu motor. Itu pun milik Ayah yang tidak pernah dipakai lagi. Walau biasa digunakan Rama, Ayah tetap berdalih semua aset kendaraan milik semua anggota keluarga. Selain itu, mobil Ayah yang menganggur dipakai Jendra. Padatnya jalan ditambah jarak rumah dengan sekolah yang cukup jauh menjadi alasan Rama selalu menumpangiku dan kami berangkat bersama. Meskipun pulangnya Rama maupun aku punya kegiatan yang berbeda, sehingga aku biasa naik bus bersama beberapa teman.

Di sini letak masalahnya. Jendra tidak pernah mau aku duduk di belakangnya, apalagi kalau sampai teman-temannya tahu kami berangkat bersama.

“Parkir yang bener, Jen.”

“Ma!” seruku yang tidak habis pikir dengan keputusan Rama.

“Temenin gue naik bus aja, Ra. Biar kita bisa nobar.”

Kupejamkan mataku dan kutarik napas panjang. Sambat di dalam benakku meronta-ronta keluar.

Aku beranjak masuk ke kamar Ayah. Lagi pula Ayah selalu bersedia mengantar jika aku memintanya. Kuedarkan pandanganku ke segala arah, namun Ayah tidak kutemui di mana-mana.

“Ayah mana, Ma?”

“Udah berangkat.”

“Pagi-pagi gini kemana?”

“Kantor.”

Kini aku meyakini adanya hari kebalikan seperti yang diperingati si kotak Spongebob dan sahabat setianya, Patrick Star. Ayah tidak pernah ke kantor kira-kira sejak saat usiaku menginjak satu tahun. Keputusan Ayah ini sempat menuai kontroversi di meja para pemegang saham, sebab sebagai direktur utama Ayah selayaknya berada di kantor untuk memegang kendali bisnis dan menjaga kelangsungan perusahaan.

Bertahun-tahun Ayah mengalami gangguan stres yang disebabkan oleh trauma mendalam. Ya, stres sungguhan yang melibatkan kesehatan mental seseorang. Bukan stres versiku setiap kali diberi banyak tugas matematika atau yang melibatkan hitung-hitungan. Aku sendiri tidak mengetahuinya langsung dari mulut Ayah, melainkan dari Mbak Bunga. Adik perempuan Ayah satu-satunya yang dipercaya menyampaikan informasi kantor. Itu sebabnya Ayah mampu bertahan sekalipun saat kondisinya terpuruk.

Jendra maupun Rama tidak tahu kondisi Ayah. Aku yang sudah mengetahuinya akan lebih peka pada persoalan yang dihadapi Ayah. Namun, seperti yang banyak dikatakan bahwa anak seusiaku tidak akan pernah bisa memahami orang dewasa. Aku juga tidak tahu alasan Ayah kembali ke kantor setelah sekian lamanya.

Apapun itu aku harap Ayah tidak kembali seperti dulu. Seperti saat ini, aku duduk sambil memanjatkan doa. Aku ingin Ayah mengikhlaskan kepergian Mama.

Aku menghampiri Rama yang sedang membuka gerbang. Alisnya bertemu dan keningnya berkerut, Rama tampak sangat serius mengikuti jalannya pertandingan dari layar ponselnya. Ia menghembuskan napas saat melihat dua buah kotak makan di tanganku.

Kutepuk lengannya pelan, “nggak buruk-buruk amat kok.”

Ini bagian paling menyebalkan saat kami keluar rumah. Aku dan Rama menatap jengah payung-payung yang menggantung di atas kami. Mungkin ketua komplek ini ingin menjadikan perumahan kami sebagai tempat wisata, karena ada saja perubahan-perubahan yang dilakukan setiap bulannya. Bulan kemarin payung-payung itu, bulan ini taman bermain di ruang tertutup, dan seperti yang kulihat kini dua gedung baru dibangun tak jauh dari rumah.

“Ma, ada rumah baru tuh,” ujarku.

Rama menaikkan pandangan sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Yang satu mau dibikin coffee shop, yang satunya bakal jadi taman kanak-kanak.”

“Nanti openingnya pasti ada diskon, Ra. Apalagi kalo pake kartu komplek.”

Ah, pemikiran idealis Rama tidak pernah mengecewakan. Akan tetapi, Rama yang jarang menyapa para tetangga membuatku terheran-heran. Bahkan bangunan itu masih setengah jadi, tetapi Rama mengetahuinya seolah ia mandornya.

“Lo tahu dari mana, Ma?” tanyaku langsung padanya.

“Nasi tumpeng yang semalam kita makan itu dari tetangga sebelah. Syukuran kecil-kecilan karena mau bangun dua gedung yang kita lihat sekarang.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala sebelum menyadari perkataan Rama barusan. Mataku mendelik sambil menunjuk rumah yang persis di sebelah rumah kami berdua.

“Maksud lo Hayang yang bangun gedung itu? Itu semua punya dia?”

Tandai bahwa aku terpaksa membahas Hayang di buku ini. Dia anak laki-laki seumuran kami yang tinggal di rumah sebelah. Ayah menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Sementara, aku berusaha tidak berurusan dengannya. Kutengok jam di tangan, lalu kupercepat langkahku agar kami tidak bertemu Hayang.

“Lo ada masalah apa sama Hayang?”

Jari-jariku saling bertaut ketika ada yang berusaha mengusik pikiranku. Aku menarik napas sedalam-dalamnya sebelum menceritakan semuanya pada Rama. Ia memasukkan ponselnya ke saku seragam walau tahu pertandingan belum usai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status