Share

Bagian 7. Jarum Suntik

Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.

“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.

Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.

Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku berangkat bersama. Tetapi, Jendra menurunkanku di taman belakang yang berada sekitar seratus meter dari sekolah. Aku tidak tahu alasannya bersikap konyol seperti itu selain karena tidak ingin teman-temannya tahu tentang hubungan kami. Justru aku curiga Jendra punya pacar. Sehingga, jika Jendra tidak menceritakan memiliki saudara kembar, maka pacarnya akan cemburu saat melihatku diantar olehnya.

Setelah merasa cukup sepi, aku berjalan mendekati DPR. Kalau pikirmu DPR yang kumaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat, maka kamu keliru. DPR yang kumaksud adalah Di bawah Pohon Rindang, pohon beringin tua yang membuat parkiran motor terasa rindang. Di bawahnya dibentuk beberapa tempat duduk yang kini aku duduki. Jendra datang sembari menengok kanan-kiri seolah sedang diawasi, padahal kupikir tidak.

Ia menarik tasku dari belakang. Memaksaku untuk segera beranjak dari sana.

“Buruan pake,” ucapnya sembari menyodorkan dua buah buff.

“Masker aja nggak ada?”

Jendra menyalakan motor, lalu merebut buffnya kembali. “Gue udah susah-susah cari buff warna soft pink,” desisnya sembari memasangkan buff itu melewati kepalaku.

“Bagus juga sih warnanya. Bukan punya pacar lo, ‘kan?”

Kali ini sudah kesekian kalinya pertanyaanku diabaikan. Jendra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Sudah beberapa kali helmku menabrak helm Jendra, karena ia mendadak menekan rem. Berbeda dengan Rama yang selalu berhati-hati. Itu sebabnya sampai saat ini Rama tidak pernah lagi jatuh dari motor, hanya satu kali itu pun sewaktu masih belajar berkendara. Mungkin hal itu juga yang menjadi pertimbangan Ayah memberikan motor untuknya.

“Ra,” panggilnya setengah berteriak agar tak kalah dengan suara kendaraan lain.

“Kenapa?”

“Udah makan belom?”

“Belom.”

Jendra menepikan motornya di sebuah toko. Ia memintaku menunggunya sebentar. Tak lama ia keluar dengan sekantung plastik di tangan. Di dalamnya berisi air mineral, roti, dan pisang. Aku menatapnya bingung, sekaligus merasakan sesuatu tidak beres terjadi pada Jendra. Tadinya aku sempat mengira Jendra lupa melepas helmnya saat masuk ke dalam toko, tetapi kini kurasa Jendra menyembunyikan semburat kesedihan yang tampak jelas di wajahnya saat melepaskan helm.

“Jen, lo sakit ya?”

“Bukan gue,” jawabnya ragu.

“Trus siapa?”

“Rama,” ucapnya seraya memalingkan wajah. “Kecelakaan pertandingan. Dokternya jelasin lewat telepon, ternyata golongan darah A- nggak bisa tranfusi dari golongan darah lain selain golongan darah yang sama dan O-. Gue tau lo takut jarum suntik, tapi lo mau nggak pertimbangin lagi buat donorin Rama darah?”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata-kata. Hanya bisa memakan rotiku sembari menangis. Walaupun tenggorokanku rasanya menolak semua makanan yang masuk. Jendra menolak bercerita lebih banyak, karena tidak ingin menyita waktu lagi.

“Makannya sambil jalan aja ya,” kata Jendra.

Aku mengamati bekas jarum suntik yang kutangisi sembari menenteng sekotak susu di tangan. Bohong bila aku bilang rasanya seperti digigit semut. Tanganku terasa berat dan sakit. Kami berjalan beriringan tidak seperti di sekolah. Tetapi, Jendra mengomeliku beberapa kali, katanya suara tangisku cempreng. Ia juga mengungkit durasi makanku yang molor, karena itu aku harus menunggu satu jam lamanya untuk bisa diambil darah.

“Lo jahat,” pekikku membuat Jendra langsung memalingkan wajah ke arahku.

“Iya. Minum dulu susunya,” sahut Jendra.

“Lo mana tahu rasanya. Gue lihat sendiri darah gue diambil dan ditaruh di kantung.”

Langkah Jendra terhenti hanya untuk menarik napas panjang. Tubuhnya berputar menghadap aku di depannya, namun pandangannya yang semula hanya lurus menatapku kini mulai beralih ke jarak yang lebih jauh. Aku pun mengikuti sorot yang ia tuju. Di ujung koridor Ayah menatap kami bergantian. Ayah mengenakan atasan kemeja berbalut jas yang membentuk tubuh atletisnya. Saat dilihat ke bawah, Ayah hanya menggunakan short pant kebesaran milikku yang beberapa waktu lalu kubeli. Setiap langkahnya membuat darahku berdesir.

“Jen, ruangannya Rama di mana? Gue mau duluan,” ucapku kilat.

Jendra menunjuk bangsal bernomor seratus tak jauh dari tempat kami berdiri. Lantas dengan kecepatan lariku yang tak seberapa, aku mencoba lari dari kenyataan. Aku takut Ayah memarahiku seperti ketika kepala Rama bocor saat bertengkar dengan temannya. Akhirnya, kutinggalkan Jendra. Begitu masuk ke ruangan, ketakutanku tidak serta merta hilang begitu saja. Aku melihat Rama muntah-muntah dengan begitu banyak darah keluar dari mulutnya. Segera kupanggil Ayah dan Jendra yang tampaknya tengah berbicara sangat serius di depan pintu ruangan.

Ayah menyadari kehadiranku lebih dulu. Ayah juga sempat tersenyum saat melihatku.

“Yah, Rama muntah darah.”

Perkataanku itu seketika membuat senyumnya lenyap. Ayah dan Jendra berlari ke dalam ruangan. Sementara, aku yang tak kalah panik segera menahan perawat yang lewat agar segera memeriksa Rama. Hari ini adalah hari ulang tahunku, Jendra, dan Rama yang tidak akan pernah kami lupakan. Di usia tujuh belas, aku harus mendonorkan darah untuk Rama. Kejadian ini juga baru pertama kali dialami Rama. Begitu pun Jendra yang kurasa sangat kebingungan. Dan, bagi Ayah, rumah sakit adalah hal menyakitkan. Ayah selalu menghindari rumah sakit, tetapi hari ini Ayah kembali melihat tempat di mana mendiang Mama pergi untuk selama-lamanya. Terkadang aku membenci Mama. Semua ingatan tentangnya selalu membuat kami sedih. Aku, Jendra, dan Rama belum pernah melihat rupa wanita yang melahirkan kami tujuh belas tahun lalu. Hanya sebatas foto dan yang kami ingat adalah parasnya persis sepertiku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cristina Jermeline
that's cool!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status