Share

Triplet's Diary
Triplet's Diary
Penulis: Batmanly

Bagian 1. Dear Diary

Senin pagi yang malang, decakku setiap melihat status teman-temanku muncul di beranda. Mengeluhkan segala macam kesibukan yang membuat mereka harus kembali berkutat dengan aktivitas yang menurutnya monoton.

Seperti mereka, aku sempat merasakan kekosongan semenjak masuk kelas sebelas. Saat menceritakannya pada Ayah, ia bilang bahwa di usiaku ini alam bawah sadarku memang sedang mencari jati diri. Katanya aku hanya harus mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan itu. Aku pernah mendaftar osis, tetapi gagal di seleksi terakhir. Aku juga mendaftar paduan suara, tetapi suaraku habis keesokan harinya. Terakhir kali berorganisasi di sekolah, aku terlibat pertengkaran sengit dengan kakak kelas. Aku merasa tidak cocok di lingkungan mana pun sampai aku memutuskan untuk menciptakan duniaku sendiri. 

Aku Ara, perempuan yang merasa tertekan setiap melihat kegaduhan. Aku melahirkan karya terbesarku di usia enam belas tahun. Memiliki sekitar lima puluh ribu pengikut di mana tidak satu pun ada yang mengenalku. Sebaliknya, aku tahu mereka. Oleh karena itu, aku dijuluki Golden Eye. Aku pendiri Paragon, komunitas yang dikenal memiliki misi mencegah aksi sekelompok gangster di kotaku. 

Aku tidak pernah mengungkap jati diriku pada siapa pun, bahkan pada keluargaku sendiri. Akan tetapi, aku membaginya pada kalian yang membaca tulisan ini. Kunamakan Triplet's Diary yang berarti kumpulan kisahku bersama dua saudara kembarku.

Pagi ini aku bangun lebih awal. Biasanya akan sulit bagiku untuk bangun sebelum alarm milik Ayah berbunyi. Aku sepenuhnya sadar akan sulitnya mendapatkan akses alam di tengah kota. Tidak ada yang bisa diharapkan dari kicauan burung liar di pagi hari kalau nyatanya pohon-pohon rindang di komplek rumahku diganti dengan payung warna-warni. Mari sepakati bahwa anak kota yang bisa bangun sendiri disebut mandiri.

Boom!

Aku menyudahi gelut pikiranku begitu alarm milik Ayah berbunyi. Bunyinya persis seperti itu. Ayahku meresetnya dengan suara bom yang kuketahui sering dipakai untuk latihan para prajurit. Aku berjalan ke ruang temu, duduk di sofa sambil menunggu yang lainnya bangun.

Boom!

Ruang temu yang kumaksud dikelilingi empat kamar tidur. Derit pintu pertama berasal dari kamar Rajendra, laki-laki paling emosional yang pernah kukenal. Hanya karena lahir tiga puluh menit lebih cepat dariku, dia berlagak seperti kakak sungguhan.

Mata sipitnya terbelalak setiap melihatku duduk di tengah kegelapan.

“Yaaa!” teriaknya. Berjalan tergesa untuk menoyor kepalaku setelah dianggap mengejutkannya.

Setelah Jendra melenggang masuk ke dalam kamar mandi, kini giliran Rama. Tidak seperti Jendra, Rama jauh lebih menganggapku manusia.

“Ra,” serunya seraya mengetuk pintu kamarku. 

“Ma, gue di sini,” jawabku. 

Rama memutar tubuhnya dan melihatku duduk di sofa. “Oh, lo udah bangun.” Kemudian berlalu ke kamar mandi.

Kini aku menunggu seseorang keluar dari balik pintu bercat putih di sana. Sosok yang rasanya sulit dipercaya menjadi Ayah beranak tiga. Pintu kamarnya masih tertutup rapat. Jika mendengar suara bom saja Ayah tidak bangun, entah apa yang bisa membangunkannya. Aku melihat ke arah jam ketika azan berkumandang. Tanpa membangunkan Ayah lebih dulu, aku mengikuti Jendra dan Rama mandi.

Seperti hari-hari biasanya, kamar mandi menjadi tempat favorit kami untuk menggobrol. Ah, lebih tepatnya menguping pembicaraan Jendra dan Rama, seringnya tentang berita terhangat yang terjadi di sekolah.

Walau kami hanya memiliki satu kamar mandi, setiap ruangan diberi sekat. Jadi, bila ditanya apa aku pernah mandi dengan laki-laki, tentu saja pernah, setiap pagi.

“Jen, bekal kemarin lo kasih siapa?” tanya Rama, walau samar suaranya yang khas tetap bisa kukenali.

Jendra tidak langsung menyahut. Tentunya aku ikut penasaran. Soal masakan buatan Ayah, Jendra paling benci dibawakan bekal, terlebih bila rasanya hambar. Ia tidak segan-segan menambahkan garam atau perasa lainnya di hadapan Ayah. Tetapi, untuk berkata tidak enak belum pernah dicoba. 

“Ra!” seru Jendra.

Buru-buru kuhentikan air yang mengguyur sekujur tubuhku.

“Lo di sebelah ya?” tambahnya.

“Ara masih bengong di luar,” sahut Rama.

Aku cekikikan karena berhasil tidak ketahuan. Mereka kembali melanjutkan obrolan.

“Masih di loker kayaknya.”

Membayangkan betapa joroknya loker Jendra, perutku mulai bergejolak.

“Kenapa nggak kasih Ara aja sih kemarin?” Aku mendelik. Saran Rama sungguh di luar dugaan.

Terkesan inisiatif tanpa memedulikan perutku setelah memakan satu kotak bekal setiap siang. Kalau bukan karena kasihan pada Ayah, pasti akan kutinggal di rumah.

“Mau patungan nggak?”

Keningku mengernyit heran, tidak mengerti arah pembicaraan Jendra. Kutempelkan telingaku ke dinding, sebab terkadang suara mereka tenggelam oleh bunyi gemercik air.

“Uang jajan lo berdua, 'kan, selalu sisa. Sebulan bisa kayaknya buat gaji ART. Buat masak aja gantiin Ayah, kalo urusan yang lain, 'kan, ada Ara.”

Kali ini bibirku sudah komat-kamit menyumpahserapahi Jendra.

“Emangnya Ayah mau?” tanya Rama.

“Mau lah kalau ada. Selama ini Ayah nggak mau karena males aja carinya. Tau sendiri semua di depan matanya harus sempurna.”

Yang Jendra ucapkan barusan ada benarnya, meski tidak sepenuhnya. Aku sudah mengira sejak lama bahwa Ayah bukan tidak mampu membayar asisten rumah tangga, melainkan rasa cintanya terhadap mendiang Mama yang selalu melakukan semua urusan rumah tangganya sendiri saat Ayah bekerja. 

“Ntar deh gue ngomong sama Ara.” Rama menyudahi obrolan singkat mereka.

Tidak berselang lama suara pancuran air pun tidak seribut tadi. Jendra dan Rama pastinya sudah meninggalkan kamar mandi. Namun, aku yang hendak membuka pintu dikejutkan oleh sepasang kaki berhenti di depan pintuku.

Aku menyesal kenapa dulu memilih kamar mandi paling ujung, di mana saat pintu terbuka pemandangan pertama yang kulihat pertama kali adalah cermin. Kalau di depan Rama yang tengah bercermin, habislah riwayatku. Karena Rama akan menghabiskan banyak waktu di sana. Entah itu bercukur, memuji wajah tampannya sendiri, hingga memotong kuku-kukunya.

Akan tetapi, bila diperhatikan lebih seksama otot-otot betis Rama tidak sekecang itu. Apalagi Jendra yang kakinya jauh lebih putih dariku.

Mataku melotot, tubuhku perlahan mundur sembari mengatupkan mulut dengan kedua tangan. Aku memastikan dugaanku dengan membuka sedikit celah pintu. Yang kini sedang bercermin dengan handuk melingkari pinggang ke bawah adalah Ayah. Dia membiarkan sisa air dari rambut menetesi punggung tegapnya serta melamun cukup lama.

Aku mengasihaninya. Raut wajahnya terlihat murung di cermin. Mungkin Ayahku mendengar pengkhianatan anak-anaknya selama mereka mandi tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status