Share

Bagian 3. Putih Abu-Abu

Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.

Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.

“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.

Pertanyaannya tidak jauh-jauh membahas keseharian Rama. “Kayak gini gimana?”

“Kalo Jendra sih gue percaya dia gila. Kalo Rama? Nggak mungkin, Ra.”

Aisyah cekikikan nyaris tersedak. “Gem, Ara, 'kan, udah berkali-kali bilang kalau Rama gila sama dunianya sendiri. Coba lo pikir lagi, selama ini setiap lo liat Rama dia lagi ngapain?”

Suap demi suap membuatku semakin mual. Aku beranjak pergi dengan menenteng kotak bekalku ke warung makan terdekat dari meja.

“Setiap gue liat Rama.. Dia lagi main bola,” jawab Gema yang masih bisa kudengar jelas.

Kutaburi sedikit penyedap dan sijimpit garam di atas nasi goreng yang kubawa. Ayah bukan tidak merasakannya, tetapi indera pengecapnya memang punya selera berbeda. Jika kami bilang asin, Ayah mungkin bilang hambar. Sebaliknya, saat Ayah bilang asin, kami justru tidak merasakan apa-apa.

Aku segera kembali ke meja. Aisyah dan Gema memandangku iba tanpa mau membantu menghabiskan bekal.

“Tuh, lo tahu. Hatinya nggak kesentuh, kecuali lo jadi bolanya. Ah, tapi soal baik atau nggak ya jelas lah semua orang bisa ngecap dia anak baik dalam sekali liat. Ya... dibandingin Jendra mah jauh,” terang Aisyah. Menilai kepribadian orang adalah satu dari sekian banyak keahlian yang ia punya.

Sebaliknya, aku dan Gema sering kali hanya percaya apa yang kami lihat. Itu sebabnya aku lebih sering menceritakan banyak hal dengannya. Selain itu, Aisyah terlalu serius menghadapi segala hal.

Aku berdecak pelan melihat ada banyak pasang mata terpusat pada satu objek. Mata-mata yang tidak ada bedanya dari paparazi memotret di sisi red carpet ketika Rama dan kedua temannya melewati lorong kantin.

Jendra yang duduk di tengah teman-temannya sempat melirik ke arahku. Pandangannya berpaling saat Rama duduk di tempat biasa, hanya beberapa meja saja dari mejaku. Jendra memang bagian dari orang-orang yang menciptakan kelas itu. Sedangkan, aku dan Rama tidak merasa peduli hal lain selain mencari makan siang layak. Jadi sekalipun kami memakan bekal bawaan, semangkuk bakso atau sepiring ayam bakar masih dapat kami lahap.

Yang terpenting kami duduk di mana pun kami mau, dan secara kebetulan kursi yang kami tempati selalu kosong setiap jam istirahat.

“Eh, kok udah abis aja,” pekikku saat kulihat piring Gema sudah kosong. Baru beberapa menit sejak kulihat piringnya penuh. Setahuku Gema sepertiku, sering kali diolok-olok karena terlalu menghayati saat makan.

Mulutnya yang penuh makanan membuatku kenyang duluan. Begitu pun Aisyah yang langsung melarang Gema bicara.

Aisyah menunduk setengah berbisik, “Jendra kenapa sih ngeliat kesini terus, Ra?”

Sebelum aku menaikkan pandangan, Aisyah lebih dulu menarik kepalaku.

“Ah, Ra.. kenapa keringet semua dari ujung kepala sampe kaki sih,” desisnya sambil memeperkan tangannya ke baju Gema.

“Sah, ngeselin banget sih lo!”

Aisyah mematung di tempatnya duduk. Di pucuk hidungnya yang bangir ada sebutir nasi, yang kemudian dipungut Gema.

Hela napas Aisyah membuatku tertawa. Sebelum melampiaskan amarahnya, aku dan Gema saling bertatapan. Saat Gema pergi mengembalikan piring kotornya, kubereskan bekalku.

“Gue duluan, Sah. Salinan bahasa gue belum selesai,” dalihku berusaha kabur darinya.

Aku dan Gema bertemu di lantai tiga tepat di depan kelas kami, XI IIS 4. Cekikikan membayangkan ekspresi Aisyah di kantin. Sudah menjadi rahasia umum kalau agenda Aisyah setiap Senin dan Kamis ialah puasa marah. Begitulah Aisyah, begitulah aku dan Gema, dan begitulah pertemanan kami.

“Duluan aja, Gem. Ayah gue telepon,” ujarku sesaat sebelum kami masuk ke kelas.

Gema mengangguk, “oke.”

Aku melihat Rama dari ujung koridor, berjalan ke arahku ketika kuangkat telepon Ayah. Sendirian tanpa kedua teman yang biasa bersamanya.

“Ara lagi ngapain?” tanya Ayah pertama kali.

“Lagi mau ganti baju, Yah, abis olahraga.”

Ayah sempat terdiam cukup lama. Dari Rama yang semula sudah berdiri di hadapanku, hingga ia merasa bosan duduk di koridor depan kelas. Ruang kelas kami yang bersebelahan membuat Rama sering menemuiku di depan kelas, biasanya untuk berbagi camilan. Namun, kali ini Rama tidak membawa apa pun di tangannya. 

Selama ini Ayah sangat menghindari bicara di telepon. Sama halnya denganku yang menganggap telepon tidak perlu selagi masih bisa berkirim pesan. Ah, ya, bukan kami saja, termasuk Jendra dan Rama. Namun, aku mengecualikan semua hal yang kubenci jika itu berkaitan dengan Ayah. Sebesar itu lah cintaku padanya.

“Nanti pulang sekolah sama Jendra atau Rama?” tanyanya.

“Sama Rama, Yah, tadi pas berangkat juga naik bus sama Rama.”

“Nanti kalau nggak ada agenda lain, bisa nggak ke kantor temui Ayah? Ajak Jendra juga.”

Mulutku akan tetap menganga kalau saja tidak diperingati Rama. Aku terbirit duduk di samping Rama, menularkan antusiasku menanggapi penawaran Ayah.

“Ma, nanti pulangnya ke kantor Ayah dulu,” ujarku padanya.

Rama terperangah, “siapa yang suruh?”

“Ayah. Nih di telepon.”

Kembali kutempelkan ponselku ke telinga. “Halo, Yah. Iya, nanti aku sama Rama ke kantor. Pokoknya langsung ke kantor nggak mampir kemana-mana dulu.”

Ayah terkekeh pelan. “Yaudah, Ayah tutup teleponnya ya. Hati-hati di jalan.”

Begitu sambungan telepon terputus, aku dan Rama saling memukul kegirangan. Sebelumnya Ayah tidak pernah mengizinkan kami melihat-lihat kantornya. Selain itu, tidak ada alasan lain karena Ayah bekerja di rumah setiap saat.

“Tapi tadi Jendra bilang mau kumpul sama temen-temennya,” kata Rama.

Aku tidak heran. Jendra memang tidak pernah pulang lebih cepat dari kami berdua. “Ajak aja dulu, Ma.”

"Biasanya lo seneng Jendra gak ada."

Ragu, kugelengkan kepalaku. Khusus hari ini aku ingin Jendra diceramahi Ayah soal kejadian pagi tadi. 

“Ra.”

Aku sempat tertegun melihat ekspresinya yang bingung. “Oh, iya, lo mau ngapain di sini? camilannya mana?”

Ia mengeluarkan sebuah kunci bernomor 101 dari saku celananya. Aku meraihnya sebab angkanya terlihat familier.

“Lokernya Jendra,” sahut Rama. Ah, ya, kini aku mengingatnya.

“Dia minjem celana olahraga gue minggu lalu, di rumah gue cari nggak ada. Gue lupa mau nanya dia tadi pagi.”

Senyumku perlahan turun. Aku sudah menduga maksud Rama menemuiku. Dengan wajah polosnya, Rama pasti mengira aku akan langsung mengasihaninya.

“Lo mau 'kan bantuin gue?”

“Ma...” keluhku panjang.

“Ra...” timpalnya ikut-ikutan. “Nanti pulangnya gue beliin camilan deh.”

Iming-imingnya memang tidak pernah gagal saat membujukku. “Gue yang buka lo yang ambil ya,” tawarku. Walau ragu, Rama tetap mengangguk setuju. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status