Share

Bagian 6. Panggilan untuk Hayang

Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya.

Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah teman perempuan.

Sekarang Gema dan Aisyah sudah sibuk bimbingan belajar sepulang sekolah, pun Sabtu dan Minggu dihabiskan untuk jatah ekstra konsultasi dengan tutor mereka. Kontras sekali bila dibandingkan dengan aku yang sehari-hari menjadi upik abu, terlebih bila Ayah tidak di rumah dan hanya ada Jendra. Beruntungnya Ayah tidak pernah memaksaku harus belajar di luar jam sekolah. Ia juga tidak pernah membenarkan tindakanku ketika aku bercerita dan membandingkan kisahku dengan kisah teman-temanku. Namun, terkadang karena sikap Ayah yang seperti itu, aku jadi merasa bersalah setiap kali membawa pulang nilai merah.

Pagi tadi, saat Hayang bilang sudah kesiangan, orang-orang masih terlelap dalam mimpi indah mereka. Termasuk Ayah, Jendra, dan Rama yang tidak sadar aku pergi keluar rumah saat tengah malam. Ah, kecuali Jendra, anak itu tertidur di sofa dengan kondisi televisi masih menyala. Pintu depan tidak dikunci karena mulanya aku berkata tidak akan pergi lama, walau nyatanya justru menginap di rumah Hayang.

“Ra, gimana?” Tanganku ditepuk beberapa kali oleh Aisyah.

Selama menghitung mundur jam pulang, aku jadi tidak sadar kalau Pak Yusuf—guru agama kami— sudah selesai mengajar. Meja guru di depan kelas juga sudah digantikan oleh beberapa teman laki-lakiku yang sedang konser dengan membawakan lagu Benci untuk Mencinta milik Naff. Beberapa temanku yang lain, termasuk Gema yang duduk di samping Aisyah melambaikan kedua tangan mengiringi lagu galau itu.

“Tadi Rama nitip pesan ke gue, katanya kalau dia tanding lo nggak usah nonton,” terang Aisyah.

Aku mendengus karena kecewa. Setiap kali Rama ada pertandingan, tidak ada yang boleh menontonnya. Bahkan larangan itu sudah ia bicarakan sejak jauh-jauh hari.

“Diem dulu deh bentaran,” seruku pada Jaka. Suaranya memang merdu, itu sebabnya teman-teman yang lain saling bersahutan begitu aku mengacaukan konser mereka.

“Ye… udah bener-bener vibesnya. Oke deh, bentaran gue kasih. Satu menit nggak lebih,” sahutnya seraya meletakkan ponselnya di atas meja.

Mataku beralih menatap Aisyah. “Emang kapan pertandingannya?”

“Lusa.”

Bibirku pun terangkat sedikit demi sedikit. Aku tersenyum memandang Aisyah, lantas setelahnya menggeleng tak habis pikir.

“Beneran, ‘kan, lo nggak bakalan dateng?” Aisyah kembali memastikan.

“Iya, Sah.. beneran.”

Dari depan kelas Jaka mengetuk meja beberapa kali. “Waktunya udah lewat nih, Ra. Denda ya?”

Mataku terbelalak memandang jauh Jaka. Denda yang ia maksud seingatku tidak masuk perjanjian kami sebelumnya.

“Lo sih, Sah, gara-garanya,” lemparku nyaris membuat Aisyah merengut dengan wajah polosnya.

“Dendanya apaan, Ka?” tanya Gema yang rupanya lebih antusias.

“Hm..” Firasatku mulai tidak enak sejak mendengar Jaka bergumam.

Request satu lagu deh,” putus Jaka.

Aku terkekeh garing, karena kupikir sebelumnya Jaka akan memintaku menggantikannya bernyanyi. Beberapa lagu sempat terpikirkan, tetapi ada satu buah lagu yang seakan terus terngiang sejak semalam. Sejak mendengar lagu kedua yang terputar dari radio lama milik Hayang sebelum aku pingsan semalam, aku pikir aku langsung menyukainya.

Alone. Lagu itu aja.”

“Lagu apaan tuh?” sahut beberapa penonton yang tidak dapat kukenali dari mana asal suaranya.

Suasana kelas yang ribut mendadak hening. Mereka menatapku bingung. Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa garing. Hingga Jaka menghampiriku dan melakukan high five.

“Gue suka selera lo,” gumamnya lirih.

Jaka kembali ke posisinya semula, berjalan melewati meja demi meja yang disambut tepuk tangan meriah. Kemudian, Jaka mulai menyanyikannya. Suaranya yang khas lembut apa adanya menghipnotis kami. Temanku yang duduk di pojok mulai menutup tirai jendela, begitu pun dengan pintu kelas. Ah, lain kali aku tidak perlu mencari berjam-jam sampai harus ketinggalan bus hanya untuk menemukan daftar lagu yang sering diputar Hayang. Toh, ada Jaka yang rasanya tahu segala macam lagu.

Aku pulang bersama Gema seperti hari-hari biasanya. Namun, kami harus terpisah karena arah rumah kami berbeda. Tidak ada bus yang melewati daerah rumah Gema yang berbatasan dengan bekasi. Gema akan transit dua kali, kemudian naik kereta. Ya, untuk anak sekolah pulang pergi Jakarta-Bekasi memang sebuah beban tersendiri. Itu karena sekolah masuk pukul setengah tujuh. Sementara Gema harus sudah berangkat setelah subuh.

Aku suka duduk di bangku belakang bukan hanya saat di kelas, tetapi juga saat naik kendaraan umum. Bus terakhir yang menuju area komplek rumahku memang tidak begitu ramai. Aku duduk sambil bersandar di kaca jendela, posisi nyamanku sebelum tertidur pulas. Lalu, bus berhenti cukup lama di halte pemberhentian. Mataku mengerjap pelan sampai kulihat Hayang mencari-cari bangku kosong. Kudengar Pak Sopir sempat menyarankan Hayang untuk naik taksi, karena ia membawa setumpuk kardus berisi beban berat dan tas gunung di punggungnya. Hayang menambahkan beberapa lembar uang untuk membuat Pak Sopir diam.

Kusembunyikan wajahku menggunakan sebagian rambut panjangku. Aku kembali bersandar di kaca jendela dan mencoba tidur walau tetap tidak berhasil juga. Bangku sebelahku memang kosong, maka begitu kudengar hela napas seseorang dan lenganku bersenggolan dengannya, aku pun terkesiap bangun.

Hayang menoleh sepersekian detik lamanya, kemudian mengalihkan pandangan. Sejak Hayang duduk di sana, bangku ini terasa sangat sempit. Ya, memang Hayang tidak segendut pria yang duduk di depanku. Tetapi, tubuhnya cukup tinggi berisi. Kembali kuubah posisiku, kupikir untuk apa aku bersembunyi, toh Hayang sendiri seperti tidak sudi melihatku.

“Yang semalam itu maling,” ucapnya.

Aku bertanya-tanya sendiri atas perkataan Hayang barusan. Aku mulai ragu dia berbicara denganku, sebab pandangannya lurus ke depan.

“Gue ngomong sama lo, Ra.”

Kebingunganku sebelumnya terjawab begitu Hayang bicara sambil menatapku.

“Trus malingnya udah lo bawa ke kantor polisi?”

“Nggak,” jawabnya santai.

“Eh, kok, nggak?”

“Dia om gue.”

Aku butuh waktu mencerna jawaban Hayang. Seingatku, Hayang mengarungi kepala maling itu dan mengikat tangan dan kakinya di kaki kursi. Terbesit pula beberapa pertanyaan di dalam benakku, seperti: Kenapa dia menganggap pamannya sendiri maling? Atau jika benar-benar mencuri, kenapa pamannya tega melakukannya pada Hayang yang tinggal sendiri?

Tetapi, tunggu, jika maling itu adalah pamannya, itu berarti Hayang tidak sendiri di dunia ini. Aku merasa lega sekaligus gelisah. Perasaanku campur aduk, seperti halnya aku ingin tahu lebih banyak tentang Hayang, tetapi merasa hal itu tidak perlu di saat bersamaan.

“Lo tenang aja, dia nggak akan maling rumah lo kok,” kata Hayang.

“Kenapa emangnya?”

Hayang tidak menjawab pertanyaanku. Tentu saja, tanpa bertanya padanya aku sendiri sudah tahu jawabannya. Itu karena di rumahku tidak ada barang berharga. Barang termahal sejauh ini adalah bola milik Jendra. Saat itu, Jendra yang masih berusia lima tahun pergi ke Portugal bersama Mbak Bunga dan Mas Irfan—kala itu masih berstatus suami Mbak Bunga—. Mas Irfan membelikan sebuah bola dan mengajak Jendra mencobanya. Di sana lah kali pertama Jendra memainkan bola, tepatnya di depan toko yang menjual alat-alat olahraga. Secara kebetulan bintang lapangan Cristiano Ronaldo atau yang kerap disapa Bang Do itu juga melewati jalan yang sama. Entah bagaimana Jendra menarik perhatiannya. Setelah bermain beberapa saat dengannya, bola itu akhirnya dibubuhi lima buah tandatangan dari sang Bintang. Sampai saat ini Jendra sering memamerkannya di etalase akun marketplacenya. Ia tidak pernah berniat menjualnya, tetapi seolah-olah ia menjualnya. Sekalipun nominalnya setara dengan satu buah motor, ada saja yang ingin membelinya. Setiap kali pembeli berdatangan, Jendra lantas menghapus stok barang.

Kami turun di halte depan komplek. Aku dan Hayang berjalan sendiri-sendiri memasuki komplek. Namun, merasa tidak tega meninggalkan Hayang dengan barang bawaannya yang terlihat berat, aku pun memutar kepalaku ke belakang. Keberadaan Hayang tidak kutemui di mana-mana. Entah apa yang membawaku kembali ke halte, tetapi sesampainya di sana Hayang sedang mengeluarkan barang bawaannya satu per satu.

“Hay,” pekikku.

Hayang sempat terdiam, namun tak lama kemudian melambaikan tangannya canggung. Aku berjalan menghampirinya dengan tawa renyah, lalu duduk di sampingnya.

“Untung lo nggak jawab hai juga,” gumamku.

Sebelum sorot mata tajam Hayang membuatku mati kutu, kualihkan dengan merecokinya.

“Mau ngapain?” tanyaku.

“Renovasi halte.”

            Sempat meragukan ucapannya, kini Hayang mulai bergerak. Ia mengeluarkan tangga lipat, obeng, tang, sekop, kunci inggris, hingga gergaji yang membuatku cukup bergidik ngeri.

            “Eh, emangnya lo bisa?” tanyaku sesaat setelah Hayang memereteli baut yang terpasang di atap. Tangannya dengan lihai menggunakan alat-alat itu. Ia pun berkali-kali naik turun tangga untuk mengambil alat lainnya.

            “Lo bilang aja butuh apa, nanti gue ambilin,” tawarku secara sukarela.

            Dari atas sana Hayang menunjuk sebuah tang. Lantas kuberikan dengan satu pertanyaan.

            “Lo biasa dipanggil apa sama temen-temen lo di sekolah? Nggak mungkin Ay atau Yang, ‘kan?”

            Hayang menunjuk gergaji. “Yang,” ucapnya.

Aku sempat mematung saat tanganku memegang gergaji berukuran cukup besar.

“Mereka biasa panggil gue Yang,” terangnya.

“Jadi, gue nggak papa panggil lo Yang?”

Sejujurnya aku tampak kurang nyaman memanggil Hayang seperti itu. Tetapi, aku juga tidak menemukan panggilan yang pas untuknya. Hayang mengangguk. Saat itu, kulihat juga dia tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status