Hari Minggu berikutnya dihabiskan Alena untuk bersama Alva sehari penuh. Sebelumnya, Alva selalu sibuk di studio, karena sedang mengerjakan proyek album musik sebuah band asal Jerman. Tapi ia meluangkan waktu di hari Minggu, khusus untuk bersama Alena. Alva menjemput Alena di rumah Tante Jenna pagi-pagi, lalu mereka naik kereta ke distrik Lichtenberg, dan berolahraga di taman umum dekat apartemen. Setelah itu, mereka berbelanja di toko swalayan untuk memasak bersama.
Sampai di apartemen, Alva tidak langsung mengajak Alena masuk, tapi ia menggandeng tangan Alena ke arah basement."Kita mau ke mana?" tanya Alena, ia mulai berpikir pasti ada yang mau ditunjukkan Alva.Alva tersenyum. "Aku pingin kamu lihat sesuatu..."Mereka tiba di tempat parkir basement yang luas. Alva menggandeng Alena berjalan ke arah deretan mobil yang diparkir, lalu berhenti di depan sebuah mobil SUV baru berwarna hitam, bermerek BMW. Ia membunyikan alarm mobil dengan kunciSaat ini sudah bulan September, Berlin memasuki musim gugur. Dan Jill masih terus membahas Luis, tiap kali Alena bertemu dengannya di kampus. Sudah hampir tiga minggu, tak ada kabar tentang Luis. Alena juga bingung, apa yang bisa dia lakukan? Mungkinkah Luis pulang ke Madrid?Hari Jumat ini, jadwal kuliah Alena kosong, tapi dia mendapat telepon mendadak dari Izaak Jung, agensinya, bahwa ada pemotretan iklan Nivea. Alva masih sibuk dengan proyek barunya di studio, sehingga Alena memutuskan untuk berangkat sendiri."Minta diundur jadi besok Sabtu aja, Sayang... Aku janji anterin kamu besok. Kalau hari ini, aku nggak bisa, karena ada meeting juga," kata Alva, waktu Alena menelepon, memberitahunya tentang jadwal pemotretan itu."Nggak apa-apa, Alva... Aku bisa pergi sendiri kok, lagian aku kan udah biasa ke kantor Fischer and Partners," Alena meyakinkan Alva. "Aku janji, pasti kasih kabar...""Tapi, biasanya nggak pernah mendadak kayak gini..." Al
Alena merasa tubuhnya kaku. Ia membuka matanya perlahan. Di mana dia? Ia menatap langit-langit berwarna putih. Ada bau tajam obat dan pemutih kain yang bercampur jadi satu. Alena mencoba mengingat-ingat, lalu ia segera tersentak bangkit dari tidurnya.Ia ada di atas ranjang ambulance, semua serba putih di sekelilingnya. Bajunya sudah berganti dengan baju pasien berwarna putih, tapi ia masih memakai celana denim yang sama. Ia ingat, cardigan dan blousenya sudah dirobek oleh Luis.Terdengar suara sirene dan orang bercakap-cakap di luar. Ia berusaha turun dari ranjang, walaupun kepalanya masih terasa berdenyut, dan tubuhnya lemas.Alena membuka pintu belakang mobil ambulance itu. Petugas wanita, yang tadi menolongnya, sedang berdiri membelakangi pintu, dan langsung menoleh memandangnya."Jangan bangun dulu, Frau Paramitha... Anda sebaiknya berbaring saja," katanya dengan sopan, tapi tegas."Saya nggak apa-apa... Saya mau
Di rumah sakit, Alena diperiksa secara fisik oleh seorang dokter. Pipinya yang memar dikompres, dan diberi gel penghilang memar. Pergelangan tangannya lecet akibat diikat tambang, dokter memberinya salep untuk luka. Ia juga ditanyai beberapa pertanyaan, sebelum akhirnya dibawa ke seorang psikolog klinis, untuk memastikan jika ia tidak mengalami trauma. Psikolog itu mengajaknya bercerita mengenai kejadian yang baru saja dialaminya, dan memberikan konseling.Setelah kurang lebih satu jam menjalani konseling, Alena diantar kembali ke kamar perawatan, oleh seorang perawat. Alva sudah menunggu di kamar itu. Alena diminta berbaring di tempat tidur."Tapi aku udah nggak apa-apa, aku nggak mau tiduran terus...," Alena setengah memprotes, setelah perawat itu keluar dari kamar."Sayang, kamu tetap harus istirahat... Aku udah telpon Papa, Papa lagi ke sini. Aku udah bilang sama polisi, kamu baru bisa ditanyai, setelah diperiksa sama Papa...," kata Alva, sambil men
"Nggak mau nuntut Luis??" nada suara Alva meninggi. Wajahnya tampak terkejut.Saat ini, Alena dan Alva sudah berada di rumah orang tua Alva. Sesuai kata Alva, Alena sementara menginap di situ, karena ada Papa Hanz yang dapat merawat dan memberikan terapi secara psikis, untuk memulihkan trauma Alena. Mama Clara juga sudah tidak bekerja, sejak melahirkan Alma. Jadi, ia punya lebih banyak waktu untuk menemani Alena, daripada Tante Jenna.Alena dan Alva sedang berada di kamar tidur tamu, yang akan menjadi kamar Alena selama beberapa waktu. Untuk sementara, Alva juga tidak tinggal di apartemen dulu, ia kembali ke rumah untuk menemani Alena."Sayang... Aku tahu, kamu kadang terlalu baik sama orang, tapi ini nggak benar... Luis nggak bisa dilepasin begitu aja. Dia udah nyakiti kamu... Dia tetap harus dihukum, kalau nggak, dia nggak bakal kapok. Aku nggak bisa tenang, kalau dia malah berkeliaran bebas...," Alva memprotes, karena Alena baru saja mengatakan, bahw
Terkadang, peristiwa baik memang terjadi setelah peristiwa buruk. Beberapa hari kemudian, Alva mendapatkan undangan untuk mengikuti wawancara seleksi pemberian beasiswa, dari kantor pusat Universitat der Kunste. Artinya, Alva tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan beasiswa.Kebetulan hari itu, Alena tidak ada jadwal kuliah, dan mereka berdua juga masih menginap di rumah orang tua Alva, sehingga mereka bisa berangkat bersama ke kantor pusat universitas. Wawancaranya tidak memakan waktu lama, Alena merasa, ia hanya menunggu tak sampai satu jam. Setelah itu, Alva mengajak Alena, untuk menemaninya ke Studio Talent."Gimana interviewnya tadi? Kayaknya, kamu nggak ada beban gitu...," tanya Alena, saat mereka sudah di dalam mobil, menuju ke studio."Lancar aja sih, karena tadi cuma tanya kayak motivasi, rencana karier, rencana dalam waktu dekat... Tema disertasi cuma dibahas sekilas. Mungkin, karena udah dijelasin Professor Meyer di surat rekomendasiny
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya