[Publik dibuat gempar akan kehadiran model terkenal, Natalia, yang sempat menghilang selama beberapa tahun. Natalia hadir untuk pertama kalinya setelah menghilang di acara bisnis Agensi Star Music sebagai penerjemah khusus anak CEO agensi tersebut, yakni Alexander Adarsa.]
Bibi Anna yang baru saja menidurkan Alesia, mendengar suara televisi dari ruang tengah.
[Apakah ada kaitan di antara Alexander dan Natalia? Mengingat Alexander sudah mengkonfirmasi pernikahannya dengan wanita rahasia. Sayangnya sampai detik ini belum ada konfirmasi dari pihak terkait.]
Tak ingin ini menjadi tekanan bagi Lia, Bibi Anna segera meraih remote di sebelah Lia yang sedang duduk di atas sofa dan mengganti siaran yang menyebabkan Lia heran. "Bibi—"
"Nonton drama atau film kesukaanmu saja, Lia. Aku tidak mau kamu sakit lagi," pinta bibi.
"Aku hanya mau menonton itu, Bi," jawab Lia.
Bibi menghela nafas berat, melihat Lia iba. "Lia, apa Bibi boleh menanyakan sesuatu?"
Lia hanya menatap Bibi Anna, menunggu wanita itu melontarkan pertanyaannya.
"Apa alasanmu untuk menikah dengan Alex dan bertahan dengan kondisi seperti ini? Bibi tahu kamu pun dulunya adalah selebriti, tapi melihat kamu yang seperti ini—" Bibi Anna menjeda ucapannya sejenak. "Kamu sepertinya sangat rapuh, Lia."
Ucapan Bibi Anna membuat Lia menunduk, menatap kedua kakinya yang beralaskan sandal khusus. "Sejak kecil, aku tidak memiliki siapa siapa. Aku berhasil terkenal dengan kerja kerasku sendiri. Dan itu semua lenyap saat aku mengandung Alesia. Aku tidak menyalahkan kehadirannya, tapi—"
Bibi Anna mengusap punggung Lia agar untuk menguatkan dirinya.
"Aku merasa aku tidak memiliki siapa siapa di saat aku jatuh, Bi. Bahkan saat mengira aku akan hidup baik setelah menikah dengan Alex, ternyata tidak semudah itu bagiku." Akhirnya, Lia kembali menangis.
"Lia, kamu punya Bibi. Aku akan siap mendengarkan keluh kesahmu, semua ceritamu. Anggap aku ibumu, Lia. Bibi yakin kamu adalah wanita yang hebat. Kamu pasti bisa bertahan." Bibi pun memeluk Lia.
"Aku bertahan hanya untuk anakku, bi. Seandainya aku tidak melakukan kebodohan malam itu, mungkin Alesia tidak akan menderita seperti—"
Dengan tegas bibi menggeleng, memotong ucapan Lia. "Dia tidak menderita, Lia. Aku yakin dia akan bangga mempunyai ibu sepertimu. Kamu tidak boleh berpikiran buruk, kamu berharga untuk dia, Lia."
Akhirnya, Lia berusaha meredakan tangisnya.
Beberapa menit berselang, Lia pun dapat mengontrol kesedihannya. "Bi, terima kasih sudah menemani dan mendengarku."
"Justru aku lega kamu bisa mengeluarkan apa yang kamu pendam," balas bibi.
"Maaf aku menyita banyak waktumu."
"Bukan apa-apa, Lia. Lagipula Alesia—" ucapan bibi menggantung ketika mereka mendengar suara tangisan Alesia. Dengan sigap, Lia dan Bibi Anna bangkit untuk menghampiri Alesia.
Bibi Anna dan Lia menemukan wajah bayi itu yang kemerahan. Suhu tubuhnya juga menjadi sangat tinggi, bahkan tangisan Alesia semakin kencang.
"B–bibi, apa yang terjadi?" tanya Lia yang panik sama seperti Bibi Anna.
"Aku juga tidak tahu, Lia. Sebelum aku menidurkannya, dia baik-baik saja. A-apa mungkin karena susu formula baru, susu pengganti ASI yang baru dikonsumsi Alesia tadi pagi. Sepertinya Alesia tidak cocok dengan susu barunya," jelas bibi.
"A–aku akan membawanya ke rumah sakit," kata Lia dan bergegas meraih sebuah luaran untuk membalut pakaiannya.
Panik, takut, dan cemas menyatu dalam diri Lia saat ini. Lia tidak ingin anaknya akan merasakan sakit yang luar biasa. Jika seperti itu, Lia akan terus menyalahkan dirinya.
Setelah menyiapkan semua perlengkapannya, Lia kemudian menghubungi Resham, satu-satunya pengawal yang dapat dihubungi.
"Resham, aku ingin ke rumah sakit, aku ingin membawa Alesia. Dia tampak sangat kesakitan, aku mohon antar aku dan Alesia ke rumah sakit terdekat," kata Lia langsung setelah panggilannya tersambung.
"Baik, Nyonya, 5 menit lagi aku akan siap di depan lobby," jawab Resham dengan patuh.
"Terima kasih, Resham," tutup Lia dan menggendong Alesia untuk bergegas turun ke lantai dasar.
Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Bibi Anna teringat akan suatu hal. "Lia, apa sebaiknya kita menghubungi Alex juga? Mungkin dia perlu untuk tahu hal ini."
"Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif, Bi," jawab Lia yang masih kalut.
Resham pun menengahi keduanya. "Tuan Alex sedang menghadiri rapat penting dan kemungkinan akan pulang terlambat, Nyonya. Jika Nyonya Lia tidak keberatan, apa aku boleh memberikan Nyonya penutup wajah?"
Apa yang dikatakan Resham benar. Lia tidak boleh muncul dengan wajah yang terlihat jelas oleh orang lain. Lia menyetujui tawaran Resham, dan menggunakan masker beserta topi hitam.
Sesampainya di rumah sakit, Lia turun bersama Alesia dan bibi, ditemani Resham yang menjaga situasi di sekitar Lia dan yang lainnya. Beruntungnya, Alesia mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat dari pihak medis yang berjaga.
"Bagaimana dengan keadaan anak saya, dokter?" tanya Lia pada salah satu dokter residen yang menangani Alesia.
"Kami mendiagnosa anak ibu mengalami alergi dengan komposisi pada susu yang dia konsumsi, seperti yang ibu jelaskan tadi. Terima kasih telah membawanya lebih awal, jadi dia bisa pulih lebih cepat dan tidak perlu rawat inap."
Penjelasan dokter membuat Lia menghela nafas lega, sama dengan bibi yang terus menemani Lia dan Alesia. Saat dokter menjelaskan segala macam keperluan obat dan vitamin yang harus diberi pada Alesia, Resham menghampiri Lia.
"Nyonya," panggil Resham kemudian berbisik di telinga Lia. "Tuan Alex ada di luar."
Walau Lia ragu, tetapi Bibi Anna dan Resham berusaha membujuk Lia. Pada akhirnya Lia beranjak keluar, menemukan Alex yang berdiri di depan pintu dengan pengawalan ketat yang membuat koridor itu sepi.
"Lia, seharusnya kamu tidak gegabah dengan membawa Alesia tanpa seizinku. Apalagi kamu ikut keluar seperti ini," kata Alex dengan kesal yang membuat Lia termangu.
"Dia anakku, Alex. Gila namanya jika aku membiarkan Alesia menunggu dengan kesakitan!" Suara Lia meninggi.
"Tapi, aku perlu mempertimbangkan semuanya!" Suara Alex tidak kalah meninggi. “Apa kamu tidak mempertimbangkan hal lain, Lia?!”
"Apa lagi, Alex?" tanya Lia penuh penekanan. “Anakku sedang kesakitan, tentu saja aku memikirkan kondisi anakku.”
"Bisa saja ada media yang menemukan informasimu dan Alesia, Natalia. Apa kamu bodoh? Oh, ayolah! Kamu benar-benar membuatku kerepotan karena banyak hal, Lia!"
Lia tak mampu membendung amarahnya yang memuncak karena ego dan pemikiran Alex. Akhirnya Lia menurunkan suaranya, tetapi lebih memberi penekanan karena lelah. “Kalau anakku sampai kenapa-napa, memangnya kamu bisa bertanggung jawab?”
“Resham, bawa Alesia keluar dari rumah sakit ini sekarang juga!” kata Alex dengan sangat tegas, kemudian pergi meninggalkan koridor itu.
Resham yang mendengar perintah itu dari belakang Lia langsung mengambil langkah.
Lia jelas ingin menentang, tetapi dia tidak memiliki kuasa. Hatinya dipenuhi dengan amarah terhadap keegoisan Alex.
Ketika semua telah selesai, Lia bersama Resham dan Bibi Anna pergi meninggalkan ruangan setelah koridor dipastikan aman. Namun, ketika di mereka hendak sampai di lobby rumah sakit, Lia justru mengatakan bahwa dia ingin ke toilet sebentar.
Akan tetapi, setelah hampir 30 menit berlalu, Lia yang membawa Alesia tidak kunjung kembali yang membuat Resham langsung tergerak untuk mencari keberadaan Lia. Sayangnya, usahanya tidak membuahkan hasil.
Resham bergegas menghubungi Alex. “Tuan Alex, Nyonya Natalia menghilang!”
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in