Share

02. Siap Menjadi Tuan Besar

Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya.

Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah.

“Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman.

Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak.

Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beberapa detik kemudian, barulah tembakan serangan yang sesungguhnya. Tembakan yang dia tidak menyadarinya. Tidak merasakan, tidak mencium dan juga tidak mendengar. Seakan indranya dikunci sekian detik oleh alam.

Melirik dari tempat kakeknya duduk, tembakan dibagi dalam empat arah untuk posisi yang cukup strategis.

“Pintu tadi masih tertutup. Kemungkinan dia memang sudah bersarang di kamar ini cukup lama. Em, tunggu. Tembakan dua kali berada di belakang sofa tempat Anuva duduk. Apakah …?”

Jemari Sande memeluk dagunya. Dia berpikir ekstra. Di mana celah di rumah ini yang bisa ditembus. Ia berjanji, lepas pemakaman sang kakek akan segera merombak seluruh markas Um-Bara.

“Teknologi dikuasai, dunia di genggaman, tapi menjaga kakek renta saja tak becus. Aih di mana wajahku harus aku hadapkan!”

Sande yang terus tersudut dalam dunianya merasa semakin kesal. Selama ini dia sudah serius belajar, tapi masalah kakeknya saja dia tak mampu menghadapi. Dia membuang semua duka untuk bisa bertemu benang merah peristiwa ini. Akan tetapi, dukanya masih ada di hati. Tidak bisa berpindah sekian milimeter saja.

Dengan kesal, tersungkur juga tubuhnya di lantai. Air matanya menganak sungai. Menciptakan rasa hujan kecil di tangannya yang menopang bobot tubuh. Jiwa mudanya meronta. Bak mendapat ujian dari gurunya, dan ia gagal, menangis menjadi jalan satu-satunya.

“Sande kau sama sekali tidak pantas. Bagaimana bisa menghadapi dunia jika nyawa Kakekmu saja hilang dalam satu kubik bersamamu.”

Ketukan pintu mengakhiri tangisannya. Dalam sekejap, dia menyulap lantai yang basah untuk kering. Air wajah yang tragis menjadi dingin tidak terbaca. Dia tak mau seluruh dunia mencemoohnya, hanya karena kehilangan tongkat jiwa bersandar selama ini.

“Masuk ...!”

“Tuan Muda. Penerbangan akan segera dilakukan. Ada yang bisa kami bantu untuk persiapan Tuan?”

Sande menatap pria berumur dua puluh satu tahun di atasnya. Meski lebih tua, dia tetap menghormati dirinya.

“Tidak ada. Silakan lanjutkan tugas kalian,” sahut Sande dengan bola mata yang tak lepas menatapnya.

“Baik Tuan.”

Setelah pria itu pergi, Sande memutuskan keluar kamar. Dia harus memberikan sepatah dua patah kata pada anggota klan yang setia.

“Kita akan berangkat ke Indonesia, tanah kelahiran Kakek Umbara, setelah dari sana, saya harap tidak ada lagi wajah ditekuk akibat duka. Kita semua akan sama-sama meneruskan klan dengan saya sebagai pemimpin. Ada yang keberatan dengan ini?”

Sande memindai wajah-wajah lelah para pengikutnya. Meski ada satu dua yang ragu, tetapi tidak ada yang berani menentangnya. Dari pada timah panas bersarang di dada, lebih baik nama Sandekala yang harus mereka ukir di dada mereka lebih dulu.

“Baik jika kalian tidak keberatan. Mari kita sama-sama mengantar Tuan Besar Umbara ke peristirahatan terakhirnya.”

Sande memutar tubuh. Sosoknya menangkap Anuva yang terperangkap di antara puluhan tukang pukul Um-Bara. Mereka berteman sedari kecil, tapi entah mengapa, untuk saat ini wajah itu tidak ingin dia lihat. Tetapi dia tidak bisa begitu saja membiarkan dirinya pergi dari mansion ini. Jika menggunakan logika ala kadarnya, pembunuh kakek bisa jadi berkaitan dengan masuknya gadis muda tersebut.

“Paman Genta ...,” ucap Sande lirih pada Genta di sampingnya.

“Iya Tuan muda, ada yang bisa saya bantu.”

Ekor mata Sande memicing ke arah Anuva. Membuat wanita itu merinding ketakutan. Sengaja Sande lakukan agar gadis Rusia itu harus tahu berhadapan dengan siapa. Tak boleh ada yang bisa meremehkan seorang Sandekala.

“Tahan Anuva sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”

Genta terdiam sejenak. Ia merasa janggal dengan desahan suara Tuan mudanya. Hanya saja otaknya lebih dulu maju dibandingkan perasaannya. Ia mengangguk tanpa bertanya apapun. Feeling-nya hanya dikhususkan untuk percaya pada calon pemimpin baru mereka.

Kewaspadaan itu begitu perlu saat ini. Sande berjanji akan memasukkan kurikulum baru pada pelajaran klan Um-Bara. Mereka harus mematangkan pikiran dan lebih waspada. Tidak ada satu pun yang boleh terbunuh akibat kelalaian di dalam rumah yang mereka tempati sendiri.

***

Jakarta, Indonesia

Sande tidak banyak bicara setibanya di Indonesia. Pertanyaan orang tuanya dia limpahkan ke Genta. Dia hanya diam menatap peti jenazah sang kakek. Tidak ada niatan untuk bercerita bagaimana peristiwa naas itu terjadi.

Lututnya sampai kebas berdiri saja sejak menginjak rumah orang tuanya. Puluhan pasang kaki terus bergerak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari memandikan, mengkafani, sampai menyolati tubuh tua yang sudah tidak berdaya. Sande hanya mengamati, karena dia sendiri memang tidak tahu akan melakukan apa.

Kakeknya tidak pernah mengajari cara memperlakukan jenazah dengan hormat, selain menguburkannya di pemakaman khusus anggota klan.

“Kala, kau tidak pegal berdiri saja. Duduklah, ikhlaskan Kakekmu.”

Di sampingnya berdiri Shana — sang ibu. Pakaiannya telah berganti warna hitam. Matanya sembab meski sudah tak tampak air mata yang membanjiri. Tidak ada riasan si wajah. Pertanda ia amat berduka, namun masih berusaha merengkuh sang putra dari keterpurukan yang tengah dia rasakan.

“Kapan Kakek dimakamkan ... Bunda?” tanya Sande melirik ibunya.

“Sebentar lagi. Kamu minumlah dulu.”

Sande menerima uluran tangan yang menyodorkan segelas air. Tenggorokannya memang kering sejak tadi. Tidak ada satu tetes pun air yang masuk membasahi. Langkahnya begitu malas untuk mengambil air.

“Kamu ikhlaskan Kakek ya Kala. Bunda yakin kamu bisa.”

Sentuhan halus yang begitu tulus diterima Sande dengan baik. Meski dia tak suka panggilan Kala yang dilayangkan orang tuanya, dia tidak ingin mempermasalahkan saat ini.

Sande tersenyum sedikit. Hanya sedikit agar Bundanya tidak melulu khawatir terhadapnya. Dia sudah mengaku besar, sembilan belas tahun bukan usia kanak-kanak lagi untuk bersedih. Tugasnya sudah menunggu di depan sana.

“Bunda ... Sandekala, acara pemakaman akan segera dilakukan. Ayo cepat.”

Saka menghampiri anak dan istrinya yang tengah berbincang. Dia tampak lebih tegar dibandingkan yang lain. Hanya saja sebagai seorang ayah, dia memang khawatir mengenai putranya. Kematian Kakek Umbara otomatis menjadikan Sande ketua klan Um-Bara. Klan mafia besar yang terus bergerak melebarkan sayap merambah ke berbagai negara.

Pemakaman Umbara berlangsung khidmat. Perwakilan klan Um-Bara turut serta mengantarkan Tuan besarnya ke peristirahatan terakhir. Tidak ada derak tertawa, semua serius menunduk hormat pada mafia besar yang memimpin mereka. Mafia yang lebih menyukai dunia hitung menghitung dibanding mengangkat senjata, kini telah tiada.

“Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Al-fatihah.”

Sande mengangkat tangannya ke udara. Matanya terpejam dengan kepala yang menunduk. Selain kehilangan, otaknya terus berpikir siapa pelaku yang sengaja menghancurkan klannya. Selepas ini dia akan mencari siapa dia, walau sampai lubang semut sekalipun.

Semua orang bubar, tersisa Sande dan Saka—ayahnya. Ibunya telah dibawa saudaranya karena tak sanggup berdiri tegak dengan air mata yang terus mengucur.

“Apa rencanamu Nak?” tanya Saka dengan tetap menoleh ke nisan kakek.

Sande menghela napas berat. Saat ini memang hanya Ayahnya yang paling mengerti dirinya.

“Kakek bukan meninggal serangan jantung kan. Dia dibunuh?”

Sande tak heran dengan ucapan ayahnya. Saka cukup cerdas untuk menilai situasi.

“Jangan bilang Bunda.”

“Sejak kapan Ayah jadi penghianat Kala. Sekarang bagaimana maumu?”

Sande bergeming. Kedua tangannya terkunci pada saku celana kainnya. Dia kesulitan mengeluarkan tangannya takut jika luka itu terlihat orang lain.

“Sande akan menjadi Tuan Besar, Yah. Tidak ada yang bisa menggangu gugat keputusan Sande.”

Saka menghela napasnya beberapa kali.

“Kau pasti bisa. Tuan Besar Sandekala ...!”

----—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status