Share

07. Pengusaha Profesional

Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi. 

Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.

“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.

“Ya.”

Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya. 

Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit. 

Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.

“Jam berapa bertemu mereka?” tanyanya.

“Pukul tiga sore Tuan. Masih ada waktu dua jam lagi.”

Sande melirik jam tangannya. Benar saat ini baru pukul satu siang. Dua jam waktunya bisa dia pergunakan untuk bersih-bersih dan mengecek laporan yang belum ia selesaikan.

Mendapat insting pemberontakan dari Yucheng, membuat Sande memilih membagi waktunya untuk mengaatasi dia dahulu. 

Urusan internal bisa dia tengok sebentar di sela waktunya. Terlebih besok akan ada asisten pribadinya langsung.

“Besok asisten pribadi Tuan sudah ada. Tuan mau minta dia ke Tiongkok dulu apa langsung menunggu saja ke Moskow?” tanya Genta memulai pembicaraan.

Dia sadar Tuan yang saat ini dihadapi bukan Umbara yang lembut di dalam rumahnya. Sebisa mungkin Genta memilih memulai percakapan saat Sande sedang bersantai seperti saat ini. 

“Orang mana? Laki-laki atau perempuan?” tanya Sande tanpa menoleh ke arah Genta. 

Pandangannya masih berfokus pada jalanan kota Beijing yang padat. Tiang-tiang besi sudah menjulang tinggi hingga dia bisa menghitung berapa banyak perusahaan yang bergabung dalam satu gedung yang sama. 

“Perempuan, namanya Harumi asal negeri sakura.”

Sande tersenyum kecil, “mau KKN?” ujarnya kemudian.

Genta gelagapan sendiri, “maaf Tuan. Saya tidak mengenal dia siapa. Hanya saja dia sesuai dengan kriteria yang Tuan inginkan.”

“Ya, aku hanya bercanda tidak usah dipikirkan.”

Genta bernapas lega. Ini semua murni kebetulan. Dia juga kelupaan kalau Sande sedang emosi perihal korupsi yang menyerang perusahaannya. 

Memang mereka berasal dari satu negara yang sama. Meski begitu, Genta sudah melepas kewarganegaraan lamanya dan mengabdi sepenuhnya untuk klan Um-bara. Hanya saja, masalah pelik seperti ini sering terjadi. 

Berbedanya warna passport tidak bisa menghilangkan kesipitan matanya, kekuningan kulitnya. Bentuk wajahnya yang terasa sama dengan orang Jepang kebanyakan, menjadikannya tidak bisa lepas dari negeri tempat ia lahir itu.

“Maaf Tuan, jikalau Anda keberatan saya bisa mencari gantinya.”

Sande menggeleng lemah, “tidak perlu. Kita sudah menerimanya. Tidak baik membuat ia merasa dipermainkan seperti ini. Lihat dulu kinerjanya.”

Lagi pula tidak ada alasan bagi Sande memecat gadis itu bukan. Jika Genta telah bilang dia sesuai syarat yang ia ajukan, tak mengapa untuk mempekerjakan gadis itu barang seminggu untuk menilai kualitas dirinya.

Lantaran pembicaraan mengenai asisten barunya, tidak kerasa mereka telah sampai di hotel. Sande turun lebih dulu, mengabaikan Genta yang menyeret dua koper miliknya dan Sande. 

Menghadapi gerah yang sempat menerjang kulitnya. Membuat ia langsung menuju kamar mandi.

“Ini luar biasa. Aku harus banyak berlatih di lapangan lagi. Tidak bisa hanya duduk di kantor dan tidak bisa tersengat matahari.”

Sande mendengkus sambil merasakan kucuran air dingin yang mengalir menyentuh kulitnya.

Kulitnya dulu sawo matang khas Jawa yang menurun dari kakeknya. Lama di Moskow yang memiliki empat musim, kelaman kulitnya menjelma lebih terang. Memancarkan pesonanya sendiri. Jika boleh dibilang, Sande lebih suka kulitnya yang dulu saja. Lebih terasa maskulin untuknya serta lebih disegani karena kematangannya di lapangan.

*** 

Tepat pukul tiga sore, Sande kembali dihubungi Genta untuk segera menuju kantor Yucheng.

Dipadukannya kemeja hitam dengan dasi senada. Luarnya dia mencantelkan jas dan celana hitam yang satu tingkat lebih muda dari sebelumnya. Sande menyadari datang sebagai pengusaha bukan mafia. Akan tetapi dia lebih nyaman memakai yang serba hitam.

Untuk sepatu, dia memakai yang warna serupa dengan kain celananya. Sedikit sentuhan silver yang membuatnya tampak lebih stylish. 

Sande menjelma menjadi penguasa muda yang stylish dan terkesan profesional.

“Bagaimana Genta?” tanyanya meminta pendapat perihal fashionnya.

“Bagus Tuan. Anda terlihat sangat profesional sebagai pengusaha muda.”

Cukup lega dengan pendapat Genta, Sande melenggang menuju mobil dan duduk dengan posisi yang sama persis seperti tadi.

Tidak sabar rasanya bertemu dengan orang yang telah membunuh kakeknya.

Meski Sande tahu belum tentu tangan Yucheng langsung yang turun. Dia tetap berkeyakinan, orang itu yang sebenarnya patut dimintai pertanggungjawaban.

“Wah sungguh kehormatan bagi hamba bsia didatangi Tuan Besar Sandekala,” sambut Yucheng dengan menundukkan kepala. Dia berbungkuk sampai badannya membentuk sembilan puluh derajat.

Sande ikut membalas penghormatan untuknya. Dia tahu jika ini hanya simbol penghormatan untuknya. Maka, demi menjaga image diri, tak ragu dia menunduk di depan Yucheng. 

“Wah Tuan.”

Yucheng cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Sande. Dia menelan ludahnya untuk bisa menjaga kata-kata kedepannya.

“Tidak masalah. Seperti inilah kegiatan ekonomi kami. Bersyukur Tuan Yu mau menerima kehadiran kami semua.”

“Kalau begitu mari kita bicarakan di ruangan saya.”

Mereka berjalan beriringan. Genta masih di belakang Sande. Sebelum benar-benar terlibat obrolan dengan Sande, Yu membalik kepalanya dan mengedip kepada Genta. Tanpa Sande sadari.

“Perusahaan ini saya bangun dari nol Tuan. Alangkah tidak eloknya jika kalian mengambil tanpa permisi kepada pemiliknya.”

“Oh ya?” 

Sande mengangkat satu kakinya ke atas meja. Dia tahu ini berlebihan, tapi dia ingin sekali Yucheng tahu posisinya.

“Iya, jadi pemikiran saya tetap tidak berubah Tuan. YuShop tidak akan tergadai, apalagi terjual.”

Sande menatap manik mata yang penuh bara api. Mata Yu berkilat-kilat penuh luka yang tidak bisa Sande pahami. 

“Ya, tapi jika dia berada dalam genggaman saya, perusahaanmu bukan hanya berkembang. Ia akan menjadi nomor satu di Tiongkok, Asia, dan yeah ... bahkan dunia.”

“Tidak Tuan. Biarkan dia berkembang begitu alami. Sebagai slogan kami yang selalu melindungi transaksi. Begitu kami melindungi alam konsumen kami.”

“Anda menolak ke sekian kali Tuan Yu. Bukankah itu sangat mempermalukan Bara Corp. Apa anda yakin masih bisa berdiri tegak setelah ini?”

Yu memalingkan sejenak dari pandangan Sande yang mengintimidasi dirinya. Di tatapnya pena yang tertata rapi di cerukan samping mejanya. 

“Tuan sedang mengancam saya?” tanyanya begitu lirih.

Pandangan mereka sudah bertemu. Mata elang Sande mengunci pergerakan wajah Yu. Dia mematung dan hanya bisa menelan salivanya lelah.

“Tidak ada ancaman. Orang sepertimu tidak akan pernah mempan pada ancaman, bukan?” Sande tersenyum miring.

“Baiklah Tuan Yu ....” Sande menghela napas pelan, “di distrik barat kota Beijing sedang terjadi transaksi dua pemompa merah.”

Yu terbungkam dengan kedua bola mata yang hampir keluar dari peraduannya.

“Dari mana dia tahu?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status