Share

03. Calon Musuh Tuan Besar

Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak.

Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun.

“Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikannya yang masih amat muda, tapi sejak kecil sudah dilatih begitu keras.

“Biar saya yang bicara. Sini handuknya.”

Ina menyerahkan handuk yang sejak tadi dipegangnya. Langkahnya memang maju mundur mendekati Sande. Untung saja nyonya besarnya menghampiri dia yang tengah kebingungan.

Shana menata hatinya. Dia amat terpukul melihat anak semata wayang yang tidak bisa menikmati masa muda seperti dua anaknya yang lain. Harusnya kematian Umbara akan menjadi jembatan untuknya menarik Sandekala kembali ke pelukan. Kembali menjadi anak yang manis tanpa memikirkan dunia hitam yang selalu mengiringi langkahnya sekian tahun.

“Kala …,” ucapnya lirih memanggil anaknya. Selimut ia lilitkan pada tubuh putranya yang sudah memucat kedinginan.

“Em, latihannya di dalam yuk. Bunda buatkan coklat panas untuk Kala.”

Sandekala membuka mata. Memandang sosok lembut yang selalu mengalah untuknya. Yang lebih sering ia dapati menangis saat menelpon.

“Maaf Bunda, Sande sedang konsentrasi. Sedikit lagi akan bisa melihat—”

“Kala, kenapa kamu begitu keras kepala Nak? Ikhlaskan Kakek buyutmu. Biarkan dia tenang di alam sana. Ayo masuk.”

Sande mendesah. Jika bukan karena nasihat kakeknya, dia pasti akan membentak Shana karena apa yang ia lakukan telah mengganggu pekerjaannya. Menghambat kemampuan dalam menciptakan konsentrasi murni. Dia ingin sekali mengutuk, tapi nasihat kakeknya selalu terngiang.

“Sande, kamu boleh bengis pada siapa saja, termasuk kakek. Tapi satu orang yang harus selalu kamu hormati. Menundukan kepalamu jika ia sedang marah. Menurunkan nada bicaramu pada sosoknya, kamu akan menjadi anak lelaki sejati jika bersedia melakukannya.”

Sande yang kala itu berusia sepuluh tahun menatap lebar ke arah Umbara.

“Siapa dia Kakek? Apa dia mafia terhebat?”

Umbara menggeleng, “bukan Nak. Dia adalah Ibumu sendiri – Shana.”

Sejak saat itu dia tidak akan membentak sang ibu atau berusaha menyakiti hati Shana. Meski sebenarnya, apa yang dia lakukan selalu menyakiti perasaan wanita itu.

Sande takjub pada Saka yang sedang menikmati coklat panas buatan Shana. Di mata mudanya, seorang lelaki harusnya minum kopi atau alkohol untuk menghangatkan tubuh. Bukan malah coklat yang identik kesukaan anak-anak.

“Kala ….”

“Panggil aku Sande, Ayah,” sungutnya kesal. Dia amat tidak suka dengan penyebutan nama Kala, yang menurutnya kurang maskulin.

“Oke … oke, Sande. Calon Tuan besar pemimpin klan.”

Sande hanya tersenyum tipis. Begitu tipis sampai hampir tidak terlihat.

“Menurut Genta, Kakekmu sedang mengambil alih perusahaan market place terbesar di Tiongkok … kapan kau ke sana—”

“Apa …!”

Gelas berisi coklat panas yang baru saja dia genggam terlepas begitu saja. Airnya tumpah berceceran ke mana-mana termasuk ke kakinya. Meski merasakan panas dari air coklat, Sande sama sekali tidak mengeluh.

“Kenapa Nak?” Saka panik sendiri. Dia tidak paham apa yang membuat anaknya sampai terkejut begitu.

“Kala kakimu melepuh Nak.”

Shana yang berada di dapur kembali saat melihat teriakan dari meja makan. Terlebih kaki Sandekala yang terus dihinggapi uap.

“Sini kan kakimu. Bunda obati.”

Sande justru menjauh dari Shana. Dia masih bisa berlari meski kakinya sedang tidak baik-baik saja.

“Genta …!” panggilnya saat nada sambung telah terhubung.

[Ada apa Tuan Muda menghubungi saya, ada yang bisa saya bantu?]

Dalam situasi yang cukup panik, Sande acap kali mengabaikan sapaan kepada orang yang lebih tua. Seperti kali ini, dia memanggil nama begitu saja pada ajudannya.

“Laporkan padaku aktifitas kakek seminggu terakhir. Terutama masalah akusisi perusahan Tiongkok.”

Genta tidak menyahut, dia cukup hening beberapa detik. Dirinya seperti sedang berpikir sesuatu.

“Kau keberatan Genta?”

[Maaf Tuan, tapi tuan besar melarang saya untuk—]

“Kau lupa, saat ini saya Tuan besarmu.”

Sande memotong ucapan Genta begitu saja. Ini bukan soal gila hormat atau bahkan tidak sopan, ini lebih dari sekedar itu. Tuan besarnya telah tiada berganti dirinya, itu tandanya, saat ini Sande juga berhak tahu aktifitas apa yang menyertai Umbara belakangan ini.

[Maafkan saya Tuan muda. Baik saya akan kirimkan.]

Sande menutup telpon, melempar sembarang benda pipih tersebut. Jemarinya sibuk memeriksa email yang baru saja dikirimkan Genta padanya. Sebuah jadwal sang kakek satu minggu ke belakang. Sande bisa melihat betapa sibuknya sang kakek bekerja selama ini.

Setelah diperiksa, hanya ada satu nama yang begitu sering kakaknya temui, Liu Yuchen.

“Ini Presdir YuShop. Saat ini kakek sedang berusaha mengambil alih usahanya. Perusahaannya baru berjalan lima tahun. Tetapi omset yang dihasilkan begitu fantastis. Astaga, pantas saja kakek begitu berambisi.”

Sande mendengkus sebal. Kakeknya sering sekali mengambil perusahaan yang sedang berkembang dari pada memilih yang hampir kolaps. Pantas saja musuhnya di mana-mana. Nama Yuchen masuk dalam hitungan Sande.

Kursor laptop dia gerakan untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang pria satu ini. Berapa harta kekayaannya yang paling penting. Ini paling penting, mengingat pembunuh kakek begitu handal dalam menjalankan misinya. Tentu, harga yang ditawarkan tidak main-main.

“Dia belum beristri tapi sudah kaya. Usianya baru tiga puluh satu tahun. Lima tahun lalu baru merintis bisnisnya. Pemuda yang tangguh. Pasti tidak mudah melepaskan apa yang ia bangun sejak awal. Kakek Umbara tidak pernah paham, betapa gejolaknya jiwa kaula muda. Astaga, jika dia pelakunya aku harus menghadapi pria dua ratus juta dollar.”

Sande menggelengkan kepala. Mendadak urat lehernya pegal membaca biodata singkat calon musuh kakek. Bola matanya mulai memanas. Menjalar ke celah jemarinya. Dia menggenggam erat tangan yang menganggur tak memegang apapun. Tekadnya telah bulat. Ia akan menghadapi musuh kakek yang bagai buih di lautan. Tidak peduli kolongmerat itu memiliki harta berapa pun.

“Kecil San. Itu hanya seperempat harta kakek yang diwariskan padamu. Kau bukan hanya mewarisi nama belakang, tapi seluruh hartanya. Itu berarti tanggung jawab dan dendam musuh juga ada pada pundakmu.”

Sandekala berdiri. Dia memegang pundaknya yang jauh lebih berotot dibanding anak seusianya. Dadanya tegap dengan punggung yang kokoh. Matanya menyalakan api perang yang siap ia aktifkan kapan saja. Tangannya menggenggam sebagai remote kontrol atas sikapnya yang tidak harus mengikuti laju air. Dia bisa menggerakkan kemana emosinya harus meluap. Tidak perlu menunggu hujan deras, dia bisa saja membanjiri kota.

“Halo Genta, selepas tujuh hari kakek tiada, cepat nobatkan aku pada jabatan Tuan besar. Ada urusan yang harus diselesaikan secepatnya. Tidak bisa ditunda lagi. Bilang ke markas pusat untuk selalu waspada.”

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status