Share

Tuan Besar Sandekala
Tuan Besar Sandekala
Penulis: Hayu Ayaka

01. Berpulangnya Tuan Besar

“Sande ... Sande ...!”

Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang.

“Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis.

“Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya.

“Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.”

Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sande masih berada di ruang Kakek buyutnya.

“Ah oke. Kau kabari dia secepatnya ya.”

Anuva mengangkat kaki dan singgah di kursi panjang dengan tiang kayu jati yang kokoh. Hampir seluruh perabotan di mansion ini diimpor langsung dari Indonesia. Maka tak heran, banyak sekali ornamen kayu yang terpampang di depan mata.

“Dor ...!”

“Dor ...!”

Dua kali suara tembakan terdengar. Para ajudan yang sedang berdiri di tempat masing-masing mau tak mau menggeser posisinya. Mereka mengangkat senjata masing-masing untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Hah suara tembakan? Apa markas Umbara di serang?”

Anuva yang baru saja mengeluarkan gawainya mendadak panik. Dia segera mengikuti langkah salah satu ajudan yang paling belakang. Rasa takut menghinggapi di seluruh urat nadinya. Tapi kabar Sandekala lebih penting saat ini.

“Dor ...!”

“Genta lock seluruh mansion. Panggil dokter segera. Salah satu dari kalian jaga Kakek.”

Sandekala melompat dari lantai dua mansion. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Kakinya gesit menjajak lantai dan berlari keluar. Dia yakin sekali, orang itu menuju ke arah tempatnya berdiri.

“Ada apa Tuan?” Genta yang menuruti perintah Sandekala masih sempatnya bertanya. Kening berkerut terasa begitu sakit ia rasakan. Tuan Mudanya seperti sedang mengejar angin.

“Sial ...!” umpat Sandekala.

“Tuan?” Genta mencoba mendekati sang Tuan muda.

“Untuk apa kau ke sini? Ada yang bunuh kakek dan kalian bersantai?”

Semua orang riuh dalam keterkejutan. Tak terkecuali Genta yang langsung menuju ke lantai dua tempat Tuan besarnya.

“Apa yang terjadi Sande?”

Sandekala melirik Anuva sekilas. Dia tidak berminat menjawab pertanyaan wanita tersebut.

Dalam langkah kacaunya, kakinya terus menyisir setiap sudut mansion. Mencari si pelaku yang dengan sekali tembak bisa menghabisi nyawa sang kakek. Setelah sebelumnya mengeluarkan dua peluru peringatan sebagai pengecoh.

“Sial di mana dia? Kurang ajar!” Sande terus mengumpat. Dia tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan. Tenaganya hampir terkuras mencari orang yang dia sendiri tidak tahu siapa.

“Tuan ...!”

Genta menemukannya di loteng atas. Sudah tiga puluh menit lelaki berusia empat puluh tahun itu menyisir mansion. Mencari buyut dari Tuan besarnya.

“Paman Genta.”

Sande tak menoleh, dia hanya memanggil lirih nama pria yang sudah setia dengan kakeknya.

“Tuan besar telah tiada,” ucap Genta begitu menyesal. “Maafkan kami yang lalai menjaga keamanan.”

Genta membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. Teramat menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Terlebih betapa kesalnya ia telah kecolongan begini.

“Kabari keluarga Indonesia. Kami akan menguburkan Kakek buyut di sana. Jangan katakan apapun alasannya, bilang kakek telah berpulang saja. Pasti Bunda akan histeris jika tahu penyebabnya.”

Genta mengangguk dalam menundukkan kepalanya. Dia tidak punya nyali untuk menatap wajah Sandekala. Apalagi bisa dia rasakan suara pria muda itu bergetar menahan tangis.

“Baik Tuan Muda. Kami akan laksanakan.”

Genta masih menunduk beberapa saat, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Sandekala seorang diri.

***

Bukan hanya berdiam diri di atas, Sande tengah mengaktifkan mode elang di kedua matanya. Loteng yang dia tempati bisa melihat ke bawah dari sisi semua arah. Meski sudah konsentrasi sekali, nyatanya penglihatannya tetap gagal menemukan siapa pelaku yang tanpa ampun menghilangkan nyawa kakeknya.

Sudah satu jam di loteng, Sandekala memutuskan untuk turun. Kakinya menuju kamar utama sang kakek. Begitu lemas dia rasakan di sekujur tubuhnya. Memusatkan matanya tidak mudah, tapi hasilnya nihil. Apa dia kecewa? Ya, Sangat.

Pria tuanya berbaring dalam tenang. Dokter dan tim medis sudah mengeluarkan peluru dan mengotopsi jenazahnya.

“Tuan, ada satu peluru yang bersarang di jantungnya. Itu yang menyebabkan Tuan besar tiada,” ucap dokter Mathew, saat melihat Sandekala.

“Ya dan aku yang bodoh membiarkan peluru sialan itu bersarang di dada kakek.”

Semua orang yang berdiri di ruangan itu menunduk. Mereka begitu kehilangan pemimpin yang selama ini mengayomi mereka. Sebelum masuk ke keluarga Um-Bara mereka adalah anak jalanan yang terlantar. Nasibnya jauh lebih baik saat masuk dan mendapatkan pendidikan dari Kakek Umbara – nama tuan besar mereka. Meski harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk sang kakek.

“Jangan begitu Tuan. Bagaimana dengan kami yang berdiri di sepanjang jalan mansion. Kami bahkan tidak tahu ada yang masuk ke dalam rumah. Selain ....”

Genta mengarahkan wajahnya ke Anuva. Sepanjang hari hanya dirinyalah tamu di mansion ini.

“Hah, kau mencurigaiku? Sumpah Sande, aku bahkan tidak memiliki senjata untuk membunuh Kakek. Aku juga turut bersedih—”

“Sisir semua mansion dan periksa seluruh penghuni. Belum tentu orang luar yang melakukannya Paman. Bisa jadi di antara kita ada yang berkhianat.”

Anuva merasa sedih di tak acuhkan oleh Sande. Air matanya terus menetes sepanjang Sande tidak sedikitpun menoleh ke arahnya. Merasa tertuduh di tengah keluarga besar begitu menakutkan untuknya.

“Paman, dia menggunakan teknik teleportasi. Gerakannya sulit dilacak. Menempuh jarak secepat kilat tanpa ada yang menyadari keberadaannya,” sahut Sande tiba-tiba pada Genta.

“Teleportasi? Mana ada di dunia ini teknik begini. Teknik itu telah lenyap puluhan tahun yang lalu Tuan. Saya rasa—”

“Tidak ada yang benar-benar musnah tanpa jejak Paman. Dia menggali jejak dan menyatukan puzzle yang ia temukan. Mudah bukan dengan kemampuan otak yang manusia miliki. Terlebih Tuhan merestui, apa yang tidak mungkin?”

Genta terdiam mendengar penjelasan Sandekala. Tuan mudanya setenang ini dalam menjalani hari berat di hidupnya. Seakan telah bersiap atas kematian kakek buyut yang selama ini membimbingnya.

“Paman tinggalkan kami.”

Secepat kilat Genta memberi kode ke anak buahnya. Tanpa terkecuali mengosongkan kamar tidur Tuan besar bersama buyutnya.  Semua menurut, membiarkan Sandekala bersama kakeknya berdua saja.

Kakek Umbara meninggal hanya berdua dengan Sandekala di kamar ini. Barangkali ada yang hendak Sande amati.

Sande mengamati tubuh Umbara yang telah terbujur kaku, suhunya sudah amat dingin. Wajahnya saat meninggalkan dunia ini terlihat begitu damai. Tidak ada raut tegang, bahkan seolah tersenyum. Seakan tahu ajalnya tiba dan dia tidak keberatan mengalaminya.

“Kakek, Sande berjanji akan mencari siapa yang membunuh Kakek. Tidak akan Sande biarkan dia bebas berkeliaran di luar sana. Sementara dia berhasil membuat kita berbeda alam. Percaya sama Sande. Klan Um-Bara akan jauh lebih besar dari ini sebelumnya. Terima kasih atas kepercayaan dan ilmu yang Kakek berikan selama ini. Selamat jalan, sampai bertemu di kehidupan selanjutnya.”

Sande meletakan ujung jemarinya di pelipis. Sikapnya tegap dengan mata yang lurus ke dada Umbara, tepat di letak kehidupan yang telah habis masa berlakunya.

"Teruskan usaha Kakek Sande. Hanya kau satu-satunya harapan Kakek saat ini. Kakek memintamu lewat Ibu-Bapakmu. Jangan sia-siakan. Kaulah penguasa dunia saat ini. Dunia ada pada genggamanmu. Cucu seorang Umbara tidak akan kalah oleh apapun.“

Perkataan kakeknya sebelum terkena tembak berputar di kepalanya. Seperti sebuah pesan jika sang kakek telah mewariskan nama Umbara padanya.

Sande mengusap peluhnya yang terus membanjir. Perjanjian terkutuk antara orang tuanya terus menghantui ingatannya. Apa dia mampu menaklukkan dunia seperti perintah kakeknya? Atau ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya, dibanding menjadi seorang mafia.

Terlebih saat ini sang pembimbing telah meninggalkan ia seorang diri. Di usianya yang baru genap sembilan belas tahun dia harus mengemban amanah yang berat.

Setelah menaruh hormat pada jasad Umbara, Sande melanjutkan menyisir ruangan ini. Meski tadi anak buahnya sudah memeriksa dan tidak menemukan kejanggalan, Sande tetap harus melakukannya lagi.

Kursi roda tempat kakeknya duduk masih utuh. Hanya posisinya yang bergeser empat puluh lima derajat dari posisi terakhir kakeknya.

“Siapa yang menggeser kursi ini?” gumamnya. “Sudah kubilang kalau TKP kita harus bersih selain di area musuh. Bedebah!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status