“Huhhh aku lelah!” Nadya menengakkan tubuhnya dan menghembuskan nafasnya dengan keras melalui bibirnya.
Dia kemudian melepaskan tas ransel berwarna hitam dan menaruhnya di atas meja. Nadya juga melepaskan jaket yang masih dikenakannya karena rasa gerah yang menghantam tubuhnya. Fio membiarkan Nadya menyelesaikan urusannya terlebih dahulu sampai Nadya nampaknya sudah bisa kembali bernafas dengan normal.
Fio segera mengambil tisu dari dalam tasnya kemudian menyerahkan kepada Nadya. “Aku lelah berjalan dari lampu merah perempatan,” jawab Nadya pada akhirnya sambil mengelap peluh yang menetes di dahinya.
Fio terlihat terkejut. “Kamu tidak di antar ke sekolah? Dimana Dio?” tanya Fio dengan wajah seriusnya.
Nadya menggelengkan kepalanya. “Pak Jaka memang mengantarku hanya saja ban mobilnya bocor dan tidak ada ban cadangan, di rumah tidak ada orang, hanya ada bu Nani jadi tidak bisa minta tolong ayah untuk mengantarku,&r
Senyumnya mengembang begitu saja. Mata bulatnya tidak berkedip menatap sosok pemuda yang sedang melepas pelindung kepalanya kemudian turun dari motor. Fio mengamati setiap langkah yang di ambil oleh Bian. Pemuda itu berjalan menuju pintu masuk kafe sambil menyugar rambutnya yang sudah sedikit terlihat panjang.Fio menoleh ke arah pintu masuk kafe dan dia dapat melihat Bian yang nampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Fio tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah pemuda itu.“Hai Bi!”Senyuman pemuda itu terkembang begitu saja kala melihat wajah Fio yang ceria.“Hai, apa kamu sudah lama menungguku?” tanya Bian menyapa Fio begitu dirinya sampai di depan gadis itu.Fio segera menggelengkan kepalanya. “Belum, aku sudah pesan lebih dulu, kamu ingin pesan apa?” tanya Fio.“Pesannya disana?” Bian tidak menjawab.Pemuda itu nampak menunjuk ke arah bar dan bertanya kepada Fi
Fio masih bungkam. Dia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bian kepadanya. Fio kemudian tertawa. Sementara Bian hanya menatapnya dengan wajah datarnya. Fio kemudian berhenti tertawa dan mengedipkan matanya. Gadis itu membasahi bibir bawahnya. Senyuman kembali terbit di bibirnya begitu juga Bian yang ikut tersenyum.“Kenapa malah tersenyum?” Bian bertanya dengan tawa yang tertahan.Fio tertawa kembali dan menggelengkan kepalanya sambil menutup bibirnya dengan tangan kiri. “Kamu juga ketawa,” kata Fio.“Kamu sangat lucu, hampir terpancing dengan leluconku,” kata Bian sambil ikut tertawa.“Sayangnya aku terlalu sulit untuk kamu jebak dengan leluconmu itu!” Fio memicingkan matanya.Bian tersenyum kemudian menyesap kopi susu yang dipesannya dengan pelan melalui sedotan yang memang selalu disediakan untuk minuman dingin. Fio mengambil satu sendok cheesecake yang ada di depannya kemudia
“Kamu marah?” tanya Bian.Fio yang awalnya hanya menatap tangannya yang digenggam oleh tangan besar milik Bian pada akhirnya mau mendongak dan melihat wajah menyesal Bian.“Aku minta maaf, hmm?” suara Bian terdengar lembut di telinga Fio.Gadis itu menghela nafasnya dalam kemudian dia menganggukkan kepalanya.Bian tersenyum. Tangan yang tadinya menggenggam tangan Fio, dia lepaskan. Dan dengan tangan yang sama, pemuda itu mencubit pipi Fio dengan gemas.“Terima kasih banyak!” kata Bian dengan senyuman lebarnya.Fio cemberut sekilas kemudian dia ikut tersenyum karena perlakuan Bian. “Aku merasa mirip anak balita sekarang.”Fio kemudian mengambil botol air mineral yang masih digenggam oleh Bian dan meminumnya dengan cepat. Bian hanya terkekeh melihatnya. Pemuda itu mulai menundukkan kepalanya dan membaca soal yang ada di dalam buku.Fio meletakkan botol air mineralnya di atas meja da
Fio terdiam sebentar kemudian tertawa terbahak-bahak. “Klise sekali leluconmu!” kata Fio sambil memegang perutnya yang terus bergerak karena tawanya yang belum berhenti. “Kita masih sekolah, memikirkan besok ujian kelulusan saja sudah membuatku panas dingin apalagi memikirkan pernikahan,” lanjut Fio sambil menyusut air matanya karena terlalu banyak tertawa. “Wah seru sekali sampai terdengar dari dapur suara tawanya,” kata Rahma yang tiba-tiba muncul dengan membawa nampan berisi dua gelas es cokelat yang diminta Fio. “Bian sedang jadi pelawak ma,” sahut Fio. Bian terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Rahma hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Setelah meletakkan nampan berisi minuman dingin, Rahma segera pergi meninggalkan Fio dan Bian berdua di ruang tamu rumah tersebut. Fio mengambil gelasnya dan menyesap es cokelatnya. “Tamunya belum dipersilahkan minum, tuan rumahnya langsung minum dengan santainya,” celetuk Bia
Fio sedang berjalan menuju kelasnya. Langkahnya yang semula nampak sedikit cepat tiba-tiba memelan kala melihat seseorang yang dia kenal sedang berdiri di depan kelasnya. Dahi Fio mengernyit dalam. Dengan tenang Fio terus berjalan. Dan ketika dirinya sudah hampir sampai di depan pintu, Rey mendongak. Matanya melebar dan dengan segera dia mematikan ponsel kemudian menyimpannya ke dalam saku celana.“Selamat pagi,” sapa Rey dengan senyum yang tercetak jelas di wajahnya.Fio menghentikan langkahnya dan tersenyum sedikit canggung. “Selamat pagi, Rey,” Fio melambaikan tangannya.“Sore nanti ikut aku latihan, ya?” ucap Rey yang membuat beberapa murid di sekitar mereka nampak berbisik-bisik setelah mencuri dengar.Fio menoleh ke kanan dan ke kiri. “Aku ikut kamu latihan?” tanya Fio sambil menunjuk hidung dengan jari telunjuknya sendiri.“Hmm, memangnya siapa lagi?” Rey terkekeh. “Aku
Fio mendongak begitu mendengar pertanyaan singkat dari Rey. “Tidak,” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya.“Kamu diam saja dari tadi,” kata Rey yang tidak juga mengalihkan pandangannya dari Fio.Fio melirik ke arah kanannya sebentar sebelum kembali menatap Rey. “Aku baik-baik saja, Rey,” jawabnya lagi untuk meyakinkan Rey.“Syukurlah,” Rey mengulurkan tangannya hendak mengacak puncak kepala Fio tapi dengan sigap Fio berhasil menghindarinya.“Eits! Tidak kena!” kata Fio sambil tertawa.Rey segera menarik tangannya yang menggantung di udara sambil tertawa. Tanpa Rey dan Fio tahu, ada seseorang yang sedang menatap keakraban mereka dari kejauhan. Pemuda itu mengepalkan tangannya dan beberapa kali menghembuskan napasnya gusar kala melihat Rey dan Fio berjalan semakin menjauh. Sampai punggung mereka berdua tidak lagi nampak di matanya, Bian baru mampu melanjutkan langkahnya.“Mau
Fio melebarkan mata dan segera menegakkan tubuhny. Gadis itu langsung memutar tubuhnya. Fio berdiri begitu dirinya sadar bahwa sudah ada Bian yang sedang berdiri di belakanganya. Bian menatap Fio datar.Fio yang semula merasa kecewa karena mengira bahwa Bian tidak datang latihan langsung melengkungkan senyumnya ke atas.“Bian?” Fio menatap pemuda di depannya itu dengan wajah berseri.“Iya ini aku, kamu kira hantu?” kata Bian judes.“Aku kira kamu tidak datang latihan,” kata Fio.Bian meletakkan tas ranselnya ke bangku yang tadi di tempati oleh Fio. Dia kemudian duduk disana dan membenarkan tali sepatu basket yang dia kenakan. Fio yang berdiri kemudian menyusul Bian untuk duduk di bangku yang sama. Fio memiringkan tubuhnya sehingga dirinya bisa menatap Bian dari samping secara leluasa.“Nanti aku pulangnya di anterin siapa?” tanya Fio.Bian menoleh kemudian menarik bibirnya menjadi satu g
“Ekhm! Lebih kelihatan lebar jidatnya,” kata Bian acuh tak acuh kemudian dia meneguk air mineral yang ada di tangannya.“Ckh!” Fio berdecak kesal.Bian selalu seperti itu. “Kamu bahkan tidak bisa memuji perempuan,” Fio kemudian beranjak berdiri dan memakai tas ranselnya.Bian segera menutup botol air mineralnya dan memasukkan semua barangnya ke dalam tas secara acak. Bian tahu pasti Fio sedang kesal dengannya. Dia segera memakai tas ranselnya dan mengikuti langkah Fio yang sudah jauh di depannya dengan sedikit berlari. Bian menatap punggung Fio kemudian dia tersenyum tipis.“Tunggu Fi!” seru Bian sambil berlari menyusul Fio yang semakin mempercepat langkahnya.“Aku pulang sendiri!” sahut Fio dengan nada ketus.Bian menahan pergelangan tangan Fio. “Jangan marah!” nada bicara Bian terdengar halus namun tegas.Fio menghentikan langkahnya dan menghadap Bian dengan waj