Bian dan Fio berteman selama tiga bulan. Sampai Bian akhirnya meminta Fio untuk menjadi kekasihnya. Kemudian Bian menghilang begitu saja setelah mereka putus. Cinta pertama yang membuat Fio tidak bisa lupa hingga membuat gadis itu mencari keberadaan Bian. Mereka bertemu kembali di saat Bian sudah memiliki kekasih. Rasa bimbang dan juga cinta terus menghantui Fio dan banyak hal yang tidak diketahui Fio tentang Bian. Lalu, bagaimana dengan Bian? "… yang aku tahu putri kertas memiliki seribu harapan yang membuat dia tidak akan pernah menyerah.” -Fabian-
Lihat lebih banyakSurabaya, 2016
“Apa yang kamu inginkan sekarang?”
Gadis cantik yang tengah memandang ke luar jendela kafe itu menoleh ke samping. Dia menatap kekasih yang sudah menemaninya selama 10 bulan itu dengan sorot sedih. Dia mencengkeram ujung meja dengan erat sampai membuat jari-jarinya memutih. Rahangnya mengerat menahan sesak yang seakan-akan siap meledak kapan saja.
“Aku ingin hubungan kita selesai sampai di sini.”
Bian melebarkan matanya. Hanya sebentar saja sebelum kemudian dia kembali memasang wajah dingin dan tidak terbaca. Pemuda itu mengambil gelas es kopi susu di depannya dan memilih meminumnya dengan pelan dan terlihat begitu santai di mata Fio.
“Apa kamu mendengarku?” Fio menatap Bian dengan tajam.
“Ya,” Bian mengangguk. “Mau bagaimana lagi kalau itu yang kamu inginkan?” pemuda itu mengambil tasnya.
“Maksud kamu?” mata gadis itu berkedip tidak percaya.
Bian berdiri dari duduknya dan memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana dengan panjang selutut itu. “Ayo kita akhiri semuanya sampai di sini,” Bian berkata dengan nada terlewat tenang.
Fio ikut berdiri dan menatap Bian tidak percaya. “Ka…kamu…” Fio tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan Bian karena lidahnya terasa kelu.
Bian menatap jam tangannya dan menganggukkan kepalanya. “Aku harus pergi,” katanya dengan tanpa senyuman. “Jaga dirimu baik-baik,” tanpa berkata lebih panjang lagi Bian melangkahkan kakinya pergi dari hadapan Fio.
Fio mematung di tempatnya berdiri seolah-olah yang baru saja terjadi adalah sebuah mimpi buruk untuknya. Matanya menatap kepergian Bian dengan nanar. Lapisan bening sudah menghiasi matanya. Tubuhnya terasa lemas hingga membuat kakinya seperti sulit untuk di gerakkan. Sampai sosok Bian pergi mengendarai motornya meninggalkan parkiran kafe, Fio masih betah berdiri di tempatnya dengan hati yang terbelah.
***
Hari sudah berganti malam ketika Fio tiba di rumahnya. Tidak ada binar di matanya seperti biasa. Gadis itu sudah memasang wajah muram sejak turun dari sepeda kesayangannya. Dia memilih langsung menuju ke kamarnya. Fio tidak memiliki kekuatan untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sekarang. Tidak ada yang baik-baik saja bahkan gadis itu rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok karena rasa frustasinya terhadap Bian yang jauh dari dugaannya.
Fio melemparkan tas ranselnya ke atas ranjang begitu dirinya masuk ke dalam kamar. Dia juga membanting pintu dengan sekuat tenaga. Matanya memerah dan dadanya sudah naik turun akibat tangis yang sejak tadi sudah dia coba tahan dengan sekuat tenaga. Punggungnya bersandar pada pintu. Tubuhnya merosot ke bawah tanpa aba-aba. Fio menangis dengan suara tertahan dengan tangan kanannya yang sudah meremas dada dengan kuat.
“Sakit sekali,” ucapnya sambil terisak lirih.
Fio memukul-mukul dadanya untuk mengusir semua rasa sakit yang menggelayuti dirinya sejak Bian pergi begitu saja dari kafe meninggalkan dirinya sendirian. Fio menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya dan terus menangis. Sesak yang dia rasakan tidak juga mau pergi. Fio kewalahan dengan luka yang Bian beri di hatinya.
“Kamu berkata kalau kamu sayang padaku tapi dengan mudahnya kamu pergi begitu saja, sebenarnya selama ini apa arti aku di hidup kamu, Bi? Apa?!” Fio bermonolog.
Sunyi yang terasa dan dinginnya lantai kamar membuat Fio semakin menggigil dalam tangisnya. Dia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Kepalanya mendongak dan matanya menatap nyalang ke arah meja belajar yang terletak di samping jendela kamarnya. Fio mengepalkan tangannya dengan kuat dengan rahang yang mengetat.
Gadis itu berdiri dan berjalan dengan cepat. Lalu, dengan tangan kanannya dia meraih pigura kecil yang berisi foto sepasang anak SMA yang sedang tertawa menghadap kamera. Manis sekali. Fio tersenyum miring. Dengan cepat dia mengeluarkan selembar foto yang selalu menjadi favoritnya itu dari pigura. Tangannya bergetar hebat.
“Baiklah,” dia mengusap air matanya dengan kasar. “Ayo kita akhiri saja semuanya ini,” Fio kemudian merobek selembar foto di tangannya dengan perasaan marah dan hancur.
Dia kemudian membuang foto yang sudah tidak berbentuk itu ke dalam tempat sampah yang berada di samping meja belajarnya. “Mari kita berjalan sendiri-sendiri mulai sekarang,” Fio kembali mengusap air matanya yang kembali meluncur bebas ke pipinya.
Dengan langkah kesal, dia berjalan menuju ke kamar mandi. Dia butuh berendam air hangat untuk menghilangkan segala rasa lelah di tubuhnya. Fio tidak lagi menangisi sosok Bian. Gadis itu sudah terlihat seperti zombie sekarang. Dengan cekatan Fio mengambil bath bom dengan aroma lavender yang menenangkan. Dengan pelan dia masuk ke dalam bath up dan mencoba bersantai sejenak.
Suasana taman di dekat sekolah Bian sore itu tidak terlalu ramai seperti biasanya. Angin sepoi-sepoi kembali menerbangkan anak rambut Fio yang terlepas dari kuncirannya. Fio terlihat sangat cantik di bawah terpaan matahari yang bersinar hangat. Bian tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu sejak semalam. Inilah saatnya, dia tidak akan menahan diri lagi.
“Aku menyukaimu,” Bian berkata dengan wajah berbinar.
Fio melebarkan matanya. Dia hendak mengeluarkan sebuah kalimat tapi dengan cepat tangan Bian terangkat dan memberikan kode supaya Fio tidak memotong ucapannya. Bian tersenyum. Satu tangannya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Fio dengan pelan.
“Kamu tahu Fi? Aku sudah lama menyukaimu tapi aku tidak pernah berani mengatakannya,” Bian meraih tangan Fio dan menggenggamnya. “Aku selalu memikirkan bagaimana jadinya kalau kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku, tapi…” Bian kembali tersenyum. “Setelah aku pikir-pikir lagi semalam, setidaknya kalau kamu menolakku, tidak akan ada penyesalan karena aku sudah bertindak benar dengan mengatakan cinta padamu,” Bian menelan salivanya dengan tenang.
Fio merasa jantungnya berlomba saat itu juga. Detakan yang berubah dua kali lipat membuat gadis itu merasa tegang menanti apa yang akan dikatakan oleh Bian selanjutnya. Fio memasang kedua telinganya dengan baik. Dia tidak ingin salah menangkap maksud Bian.
“Jadi kekasihku ya, Fi?” Bian menatap Fio dengan sorot mata serius.
Fio mengedipkan matanya sekali. Mulutnya sedikit terbuka. Dia merasa banyak sekali bunga-bunga yang akhirnya bermekaran di dadanya. Rasa menggelitik yang membuat hatinya membuncah membuat Fio menganggukkan kepalanya dengan mantap. Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman yang membuat Bian menghembuskan nafasnya lega.
“Terima kasih,” kata Bian tulus.
Fio mengangguk. “Aku juga harus mengucapkan banyak terima kasih kepadamu karena kamu mau memilihku,” Fio tidak bisa menyembunyikan binar bahagia di matanya.
“Tidak susah untuk mencintai dan memilihmu, Fi.”
Fio tertawa. “Kamu berbohong, kamu bahkan memerlukan waktu beberapa bulan sampai berani mengatakan ini semua kepadaku,” Fio memukul pelan bahu Bian.
Bian menggelengkan kepalanya. “Bukannya tidak berani, hanya memastikan rasa yang aku miliki memang untuk kamu, aku tidak mau hanya karena rasa euphoria semata aku jadi mudah mengatakan cinta dan meminta anak gadis orang untuk menjadi kekasihku,” Bian menyanggah dengan mata yang menatap Fio lekat.
“Ckh!” Fio melemparkan tatapannya ke arah lain sejenak sebelum kemudian kembali menatap Bian yang duduk di sampingnya dengan seragam basket sekolah yang masih melekat. “Apapun itu aku tidak akan peduli lagi, mari kita mulai semuanya dari awal, Bi?” Fio tersenyum lebar.
Bian mengangguk. “Hmm, mari menyambut banyak hari baik mulai saat ini, Fi, berjanjilah apapun yang terjadi kita harus saling mempertahankan,” ucap Bian.
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen