“Apa maksud Tante aku harus menjadi istrinya Jake?” tanya Fidel dengan sepasang matanya yang membola tak percaya saat menatap Alina.
Laura menjumpai penolakan terlukis dari cara Fidel bertanya, terkejut dengan keputusan tiba-tiba tersebut. Alina mengalihkan tatapannya dari sang menantu, lalu memandang Fidel dengan seulas senyum yang terlihat keibuan. Sangat berbeda dengan caranya berucap pada Laura. “Sekalipun kamu adalah istri kedua Jake, percayalah kamu jauh lebih istimewa daripada Laura yang pincang dan seperti benalu bagi keluarga Heizt.” Sepertinya, Alina tak sudi lagi memandang Laura. Ia pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu, tidak memberi Laura kesempatan untuk menerima atau menolak apa yang telah menjadi keputusannya. Laura mematung di tempat ia duduk, terlalu shock untuk bisa merangkai kata setelah apa yang ia dengar. Sedangkan Fidel tampak kebingungan di tempat ia duduk dan berusaha memanggil Alina, “Tante!” Namun, tidak ada jawaban dari wanita berambut sebahu itu. Laura mendengar pintu rumahnya malah tertutup dari luar. “A-aku tidak tahu, Laura,” ucap Fidel saat ia memandang Laura dengan matanya yang tampak berair. “Aku tidak tahu sama sekali kalau tante Alina akan mengatakan hal seperti itu.” Fidel mengikuti pandang ke arah kepergian Alina sebelum kembali menatap Laura. “Aku akan bicara dengan tante Alina. Harusnya tante tidak boleh mengatakan hal seperti itu.” Gema langkah kaki Fidel terdengar semakin lirih seiring kepergiannya. Untuk kedua kalinya Laura mendengar pintu yang tertutup dari luar, meninggalkannya duduk seperti orang asing di rumahnya sendiri. Kepergian Fidel membuat Laura kembali merasa bahwa gadis itu seolah menjadi pemilik kuasa untuk mengendalikan keluarganya. Sebelumnya suaminya, sekarang ibu mertuanya. Apa memang mereka hanya mendengar apa yang dikatakan oleh Fidel? Laura menunduk, sesak mengisi dadanya saat ia menjumpai bayangan wajahnya yang menyedihkan jatuh di atas lantai marmer. Benaknya mempertanyakan, ‘Apakah kira-kira Jake tahu soal ini? Apa ini rencana yang mereka susun saat melakukan pertemuan semalam?’ Hari menuju sore dilalui Laura dengan hati yang dipenuhi oleh jelaga, hingga ia bisa mendengar suara langkah Jake yang ia kenal dengan baik sedang memasuki rumah sewaktu ia duduk di ruang tengah. Laura meraih elbow crutch miliknya dan mengayunkan kakinya tertatih-tatih untuk menyusul Jake yang sudah tiba di kamar. Jake sekilas menoleh pada Laura sebelum melepas jas yang ia kenakan dan menguraikan dasi dari kerah kemejanya. “Bagaimana pekerjaan hari ini?” tanya Laura. “Apakah berjalan dengan baik?” “Apa kamu tidak bosan menanyakan hal itu setiap hari?” tanya Jake balik, hampir terdengar jengah. Laura hanya tersenyum masam. “Mungkin ... jika nanti yang menyambutmu pulang adalah Fidel, pasti kamu akan dengan senang hati menjawabnya.” Jake menoleh pada Laura dengan cepat, garis dagunya menegang. “Apa maksudmu, Laura?” tanyanya teriring kedua bahunya yang jatuh. “Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?” Bibir Laura gemetar menahan air mata. Memandang Jake ... ia merasa pengabdiannya untuk menjadi seorang istri adalah sebuah hal yang sia-sia. "Kamu harusnya lebih tahu apa yang aku maksudkan, Jake." Laura perlahan mundur, mengabaikan Jake yang alis lebatnya hampir bersinggungan. "Aku akan tidur di tempat lain," katanya, kemudian menggigit bibirnya hingga terasa perih. "Aku tidak akan mengganggumu dengan pertanyaanku yang membosankan lagi." *** Setelah pertengkaran mereka kemarin, Laura menghindari Jake. Bahkan jika itu hanya sebatas tatapan mata yang bersirobok. Laura juga tidak memberi tahu Jake soal jadwal fisioterapi yang ia datangi hari ini. Ia pergi dengan diantar oleh Han—sopir Jake—karena Tania sedang tidak enak badan, sehingga Laura membiarkannya tinggal di rumah. “Nona baik-baik saja?” tanya Han dari balik kemudi, mungkin karena melihat Laura yang terus saja tak bisa menghentikan air mata di kursi penumpang bagian belakang. Laura hanya mengangguk tanpa suara. Bibirnya terlalu beku untuk bisa menata kata. Tadinya ia berpikir akan mendapatkan kabar baik setelah fisioterapi, namun yang dikatakan oleh dokter tidaklah demikian. ‘Tulang di kaki Bu Laura tidak menunjukkan perubahan yang signifikan,’ kata dokter pada sesi konsultasi mereka yang membekas, membayangi Laura. ‘Dilihat dari hasil CT scan, saya khawatir terjadi pelemasan otot yang justru akan membuat kaki Bu Laura semakin memburuk.’ Dan jika kondisi itu berlangsung, dokter mengatakan tak ada pilihan selain ia harus menggunakan kursi roda nantinya. Penggunaan obat yang dikonsumsi olehnya dalam jangka panjang ternyata bisa berakibat menghambat peluang hamilnya. Ia hanya … merasa gagal menjadi wanita. Entah harus dengan cara apa dia menyempurnakan upayanya agar layak menjadi bagian dari keluarga Heizt. Keputusasaan menerjang Laura dengan hebat. Jika ibu mertuanya mendengar, atau Jake mengetahuinya, ia akan semakin disalahkan. Ia akan semakin dihina dan diinjak-injak. Lalu tiba-tiba ... ‘Tetaplah kuat dan berusahalah melawan!’ Ucapan pria yang menolong Laura di malam pesta itu membuatnya berpikir bahwa ... mungkin ini adalah saatnya untuk 'melawan.' Cintanya yang sia-sia, dirinya yang tak dianggap ada, atau keinginan Jake untuk menikahi cinta pertamanya … Laura ingin melepaskan diri dan tidak ingin menjadi bagian dari semua itu lagi. Baginya, melawan tidak harus dengan keterlibatan. Mundur bisa jadi pilihan agar tidak membuatnya terluka lebih dalam. Atas permintaan Laura, mobil yang dikemudikan Han memasuki halaman luas HZ Empire, kantor di mana Jake bekerja. Dengan dibantu oleh pria paruh baya itu, ia hendak pergi menemui Jake di lantai lima belas. Lantai demi lantai terlewati, kehadirannya yang muncul dari balik lift membuat sekretaris Jake yang duduk di balik meja kerjanya terkejut dan sigap berdiri. “Selamat siang,” sapa pemuda bernama Farren itu dengan kepala tertunduk di depan Laura. “Siang,” jawabnya. “Bisakah aku bertemu dengan Jake?” Farren sekilas menoleh ke ruangan Jake sebelum menjawab, “Saya baru saja mengantar pesanan makanannya ke dalam. Tuan Jake sepertinya sedang makan siang, Nyonya.” Melihat Farren yang sepertinya tidak akan membiarkannya masuk begitu saja, Laura meraih selembar kertas dan menulis sesuatu di sana. “Berikan itu padanya.” Farren tertegun. Sepasang matanya membelalak melihat apa yang ditulis oleh Laura. Ia terlihat ragu sejenak, sebelum buru-buru masuk ke dalam ruangan Jake saat menyadari bahwa ini adalah situasi yang genting. Dari luar, Laura samar-samar mendengar suara Jake yang bertanya. “Apa ini?” “Dari Nyonya Laura, Tuan. Beliau ada di luar sekarang.” “Katakan saja, apa yang dia tulis?” Jake terdengar menyahut dengan malas. Ada jeda selama beberapa detik sebelum Laura kembali mendengar Farren bersuara. “Tuan Jake, Nyonya Laura ingin bercerai.”Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu