“Jake, maksudku—” Laura berhenti bicara saat Jake berjalan meninggalkannya begitu saja.
“Jake!” panggil Laura lagi sambil berusaha mengimbangi langkah suaminya, tetapi tidak bisa. Punggung bidang Jake menghilang di balik pintu kamar yang tertutup dengan sedikit kasar. Laura menghela napas pasrah, tidak lagi berusaha mengejar pria itu. Jake pasti telah salah paham atas ucapan putus asa Laura, dan menganggapnya tak berusaha lebih keras agar mereka memiliki anak. Dengan kaki yang melangkah tertatih-tatih, Laura berjalan menuju ruang makan. Melepas tongkat sikunya, seorang perempuan yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya datang menghampiri. “Selamat pagi, Nona Laura.” “Pagi, Tania,” balasnya pada gadis berambut sebahu itu. “Mau makan sekarang?” tawarnya sopan. “Boleh.” “Akan saya ambilkan sebentar.” “Untukku saja, Jake sudah pergi.” “Baik, Nona.” Laura melihat kepergian Tania, gadis yang dulunya bekerja untuk Ammar, kakeknya Jake. Setelah Ammar wafat, gadis itu pindah ke sini karena mendiang menginginkannya untuk ada di sisi Laura. Tania kembali dengan makanan yang disiapkan khusus untuk Laura. Ditata rapi di atas meja, dengan secawan obat yang harus ia konsumsi untuk pemulihan kakinya, serta vitamin untuk menunjang keberhasilan program hamilnya. “Selamat makan,” ucap Tania kemudian menyisih tak jauh darinya. Laura hanya bergeming, sepasang matanya terasa perih kala dia mengamati makanan di hadapannya. Makanan dalam pola diet ketat yang hampir setiap hari harus ia habiskan hingga rasanya ia telah muak. Namun, Laura terus memaksa dirinya, dan meyakininya sebagai bentuk usahanya untuk membuat program hamil bersama dengan Jake berhasil. Ia meremas sendok dan garpunya erat-erat, hening dalam lisan tetapi batinnya dipenuhi oleh kemelut yang menyuarakan protes. ‘Dengan semua yang aku lakukan ini Jake masih mengatakan aku tidak bersungguh-sungguh untuk ingin memiliki anak?’ *** Lewat tengah hari, jika biasanya pesan yang dikirim oleh Laura pada Jake selalu mendapatkan balasan meski itu hanya sekadar 'iya' atau 'ok' sekarang ia tak melihat itu di layar ponselnya. Laura baru saja mengatakan pada Jake agar dia tidak lupa makan siang. Tetapi balasannya nihil. "Dia benar-benar marah padaku kali ini," ucapnya lirih. Laura menyentuh kakinya sendiri, memberinya sedikit pijatan pada bagian sebelah kanannya. ‘Kenapa rasanya semakin nyeri?’ gumamnya dalam hati, meratapi kondisinya yang rasanya tidak mengalami perubahan ke arah yang baik. Justru ia semakin sering merasakan kakinya kebas dan nyeri menyengat. Laura menghela napas, kemudian meraih kembali ponsel yang baru saja ia hempaskan ke tempat tidur. Ia memeriksa jadwal fisioterapi yang akan ia kunjungi besok. Lewat pesan, sekali lagi ia berusaha menyentuh dinginnya sikap suaminya. Laura hendak menanyakan apakah besok Jake bersedia mengantarnya pergi ke rumah sakit. Tetapi, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar ketukan dari arah pintu. “Masuk!” jawab Laura sembari menoleh ke arah pintu yang kemudian terbuka dan muncullah Tania. “Maaf mengganggu, tapi Nona Laura kedatangan tamu,” katanya sopan. “Siapa, Tania?” “Nyonya Alina dan Nona Fidel,” jawabnya dengan kepala tertunduk. Meski Laura heran ada perlu apa mereka ke mari, tetapi ia menjawab, “Aku akan keluar sebentar lagi.” Gadis itu pergi setelah mendengar jawaban darinya. Laura pun tak lama kemudian juga keluar dari kamarnya. Ia melihat ibu Jake—Alina—yang berdiri di samping Fidel. “Mama, Fidel?” sapa Laura. “Selamat siang, ada perlu apa ke sini?” Wanita paruh baya itu lebih dulu tersenyum sebelum kedua sudut matanya yang tajam menerpa Laura, juga pada tongkat yang menjadi penopang keberlangsungan hidup sang menantu. “Fidel mengatakan pada Mama bahwa ada sesuatu yang kurang baik terjadi padamu selama di pesta kemarin,” jawabnya. “Dan Fidel meminta Mama untuk melihat keadaanmu,” lanjutnya enggan. “Silahkan duduk dulu. Kita bicara di ruang tamu,” pinta Laura dengan gerakan tangannya yang mempersilahkan mereka. “Benar kamu dipukuli ibumu?” tanya Alina saat Laura baru saja duduk setelah mengikuti mereka dengan langkah yang tertatih. Laura tampak enggan menjawab. Namun, ia tahu tidak bisa mengelak. Maka, Laura pun mengangguk singkat, menunduk menghindari tatapan tajam ibu mertuanya yang seolah mencabiknya tanpa henti. Duduk berseberangan meja dengannya tidak membuat Laura bisa pergi dari sorotnya yang penuh dengan kebencian itu. “Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?” “Aku baik-baik saja, Mama.” “Ibumu pasti juga sama kecewanya denganmu, Laura!” ucap wanita itu. “Dia pasti kecewa padamu yang sudah dibicarakan di mana-mana sebagai wanita yang tidak bisa menjalani kodratnya!” tukasnya menggebu. Laura meremas jari-jarinya yang berada di atas paha, sesak menggelegak memenuhi dadanya. “Tante ….” panggil Fidel lirih. Laura mencuri pandang pada Fidel yang sedang meraih tangan Alina, seolah tidak membiarkan ibu mertuanya itu terus menyudutkan Laura seperti ini. Sepasang netra Fidel yang cantik menatap Alina memohon, seperti sedang memintanya untuk tidak terus menerus menyerang Laura. “Kamu tahu siapa yang paling bersalah di sini, ‘kan?” tanya Alina masih tak ingin berhenti. Suaranya justru meninggi, dengan kedua alis yang hampir bersinggungan. “Tapi,” jawab Laura lirih, wajahnya terangkat menyambut Alina yang tampak frustrasi. “Tapi Mama tahu jika aku dan Jake sedang program untuk itu, ‘kan? Kami juga sedang berusaha, Ma …” lanjutnya parau. Fidel yang duduk di samping Alina menatap Laura dengan cemas dan ikut berbicara pada akhirnya. “Tapi aku dengar sekarang kamu sedang menjalani pengobatan untuk pemulihan kakimu, Lau?” tanyanya lembut. “Iya, Fi. Benar.” “Apakah itu baik-baik saja? Maksudku, apakah itu tidak akan memengaruhi programmu untuk memiliki anak?” Keprihatinan menyeruak secara tulus dari caranya bertanya. Hela napasnya berat, ia seperti sedang memposisikan dirinya dalam kesulitan yang dialami Laura selama ini. “Fidel benar,” sela Alina tiba-tiba. “Program hamil itu bisa jadi tidak akan berhasil karena tubuhmu terlalu banyak mengkonsumsi obat!” “Tante, bukan seperti itu maksudku,” ujar Fidel, tapi Alina tidak peduli. Justru, senyumnya bertambah masam, seulas tawa yang putus asa menyiratkan ekspresi mencemooh. Seperti baru saja memupuskan harapan dan mimpi-mimpi Laura selama ini. “Tante, aku hanya ingin bilang kalau—” “Yang kamu katakan itu benar kok, Fidel,” potongnya ringan sebelum Fidel selesai bicara. Alina mendesah penuh rasa kecewa, ia menatap Laura cukup lama sebelum menggelengkan kepalanya dengan lelah. "Mama tidak ingin menua tanpa cucu, atau tidak adanya penerus untuk keluarga kita yang terhormat, Laura!" katanya. Tubuh Laura terasa kebas saat ibu mertuanya itu mengatakan hal yang membuat hatinya mengalami keretakan yang besar. “Ada baiknya kita mencari jalan keluar sebelum banyak orang yang menghina keluarga kita. Dan Mama sudah mengambil keputusan,” kata wanita itu dengan suara bulat. “Jake akan menikahi Fidel. Kamu tidak memiliki alasan keberatan mengingat kondisimu yang menyedihkan seperti itu!”Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu