Home / Romansa / Tuan, Jangan Sakiti Aku! / Pelukan Hangat Tuanku

Share

Pelukan Hangat Tuanku

Author: Momoy
last update Huling Na-update: 2021-05-04 07:55:04

"Kenapa kau berteriak?"

Aku menjauh dari Tuan Mahawira, tak mampu diriku untuk menatap pria itu.

Apa yang sebenarnya kulakukan? Sekarang pasti pipiku memerah.

"Ap-apa yang Tuan lakukan padaku?"

Kuarahkan bola mata pada wajah Tuan Mahawira. Dahinya mengerut dan senyumnya miring.

"Apa yang aku lakukan? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan padaku?" Pria itu beranjak bangkit, lalu mengenakan mantelnya.

"Aku ... aku ... tidak tahu, Tuan."

"Aku tahu. Kau mungkin mengira aku ini bantal sehingga memelukku dengan erat."

"J-jangan katakan itu lagi, Tuan," lirihku sambil menolak tatapan Tuan Mahawira.

Aku malu sekali. Malu sekali! Mengapa bisa aku melakukan hal memalukan seperti memeluk tuanku sendiri? Kalau hal ini terjadi di istana, aku pasti sudah dihukum karena dianggap wanita penggoda.

Dasar! Bodohnya aku.

Tanpa berkata-kata, aku langsung pergi. Entah ke mana, yang penting hatiku tenang dulu dan perasaan malu ini hilang.

Sambil terus menelusuri hutan, aku mendengar sebuah suara.

"Suara apa itu?" gumamku sambil memfokuskan telinga dan memejamkan mata. "Itu pasti suara air terjun!"

Langsung kulangkahkan kaki dengan cepat untuk memastikan benar atau tidaknya tebakanku. Setelah melewati pohon besar terakhir, ternyata benar!

"Wah, indah sekali! Segar sekali!" gumamku sambil mengedarkan bola mata ke sekitar air terjun yang kira-kira tingginya mencapai dua puluh meter.

Air yang meluncur itu sangat jernih. Berada di tempat itu pun membuat tubuhku kedinginan. Kebetulan sekali tubuhku tidak pernah menyentuh air dari kemarin. Sekarang saatnya aku membasuh diri agar terlihat cantik kembali.

Haha, Tuan Mahawira pasti akan terpesona dengan kecantikanku!

Tunggu, tunggu, tunggu. Apa yang aku pikirkan? Tidak, tidak. Pikiran seperti itu harus aku hilangkan!

Aku pun segera membuka kain yang menutupi tubuh sambil menyentuhkan kaki di danau yang airnya berasal dari atas tebing. Air di danau cukup dalam sehingga melahap tubuhku hingga bahu. Kuusap-usap bagian tangan yang kotor agar terlihat bersih seperti semula.

Kulitku kembali tampak putih. Sesekali kubasahi rambut dengan mengambil air menggunakan kedua tangan, memupuknya sampai terlihat basah.

Aku penasaran ke mana air mengalir sehingga mencari alirannya. Aku berenang ke sana kemari.

"Aku ingin mandi di bawah terpaan airnya," gumamku, kemudian berenang ke tempat air menerpa.

Asyik, airnya begitu sejuk. Rambutku basah sepenuhnya. Kuusap-usap bagian wajah.

Tak berapa lama, aku berenang kembali dan berniat untuk menyudahi. Kuambil kimono, keluar dari danau. Untung saja terik mentari sampai di tempat ini sehingga mudah untuk mengeringkan rambut serta tubuhku.

Aku mengusap-usap dan memeras air yang tersisa di rambut.

Betapa senangnya diriku, bahkan sambil bersenandung ria. Kusandarkan punggung di sebuah pohon. Rasanya lelah sekali sehabis berenang. Kedua mataku terpejam menikmati terik yang bercampur semilir angin pelan.

Tak berselang lama, terdengar suara benda terjatuh ke danau. Aku terkesiap, langsung membuka mata.

Apa yang kulihat? Oh, sepertinya aku sedang berada di dalam mimpi. Tuan Mahawira?

Hmm, tuanku yang tampan. Tak mengenakan pakaian, otot-ototnya menyembul. Perutnya ... membuatku menelan saliva.

Tuan Mahawira mengibas-ngibaskan rambut panjangnya. Percikan air berhamburan ke mana-mana. Setitik mengenai wajahku. Dan barulah saat itu aku sadar kalau sebenarnya ... aku tidak sedang ada di dalam mimpi?!

Apa?!

Aku berdiri tegak sambil menepuk-nepuk kedua pipi. Degup jantungku berontak kala melihat pria tampan dengan otot-otot yang indah itu tampak di kedua mata.

Oh, Tuhan! Mimpi apa aku semalam?

Lama aku bergeming, tanpa sadar, Tuan Mahawira ternyata mengarahkan bola matanya padaku. Ups, aku ketahuan.

"Sedang apa kau di situ?" tanya Tuan Mahawira sedikit berteriak untuk menjangkau telingaku.

Lantas aku tercengir sambil tersenyum enggan. "T-Tuan ...."

Bola mataku berputar ke sana kemari. "Aku ... sedang .... Hmm, seharusnya aku yang bertanya padamu, Tuan! Sedang apa kau di sini?! Aku sudah lebih dulu di tempat ini."

Saat Tuan Mahawira keluar dari danau, aku langsung menoleh ke samping kanan sembari memejamkan mataku.

"T-Tuan! K-kenapa kau—"

"Tenang saja, aku mengenakan celana," katanya.

Kubuka sebelah mata untuk memastikan. Oh, ternyata benar. Pria itu mengenakan celana. Tapi ... tetap saja aku tidak fokus jika melihatnya dengan penampilan seperti itu. Basah kuyup, tak mengenakan pakaian, lalu otot-otot yang selalu berhasil membuatku menelan saliva.

"Mandilah. Airnya segar sekali," ucap Tuan Mahawira sambil berkacak pinggang dan menatapku.

Dasar pria! Apakah dia tidak bisa membedakan diriku yang belum atau sudah mandi?

"Aku ... sudah mandi, Tuan."

"Oh, begitu. Baiklah. Aku pikir kau belum mandi."

"Memangnya kenapa kalau aku belum mandi, Tuan?"

"Kalau kau belum mandi, kita bisa mandi bersama."

Apa?! Setelah mengajakku tidur bersama, sekarang dia malah mengajakku mandi bersama?! Keterlaluan! Memangnya aku gadis murahan? Memangnya aku wanita penggoda yang kerap kali disewa oleh para pengawal untuk menghiburnya? Huh!

"Kalau begitu, kau tunggu aku selesai. Di sini airnya begitu sejuk."

Tuan Mahawira kembali menceburkan diri, menikmati kesegaran air, berenang mengitari danau.

Aku sangat senang melihat tuanku itu bahkan sejak aku masih berusia delapan tahun. Tak terasa kami sudah beranjak dewasa, puluhan tahun sudah kami bersama di istana. Namun, saat Tuan Mahawira ditugaskan oleh ayahandanya, pria itu menjadi lelaki yang sangat sibuk.

Aku benci dengan kesibukannya. Padahal, dulu kami selalu bermain bersama-sama. Ayahanda Tuan Mahawira menugaskanku untuk selalu menemaninya, menjaga pria itu saat diganggu oleh pangeran-pangeran lain. Entahlah, apakah Tuan Mahawira masih ingat hari-hari ketika kami bersama.

"Hei! Apa yang kau tunggu?! Aku sudah selesai!" teriak pria itu seraya menutupi tubuhnya dengan mantel.

Aku mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan. Kuikuti saja langkah tuanku dari belakang. Aku tidak pantas berjalan beriringan dengannya. Aku lebih pantas berada di belakang untuk selalu mengawasinya.

"Nah, Cornelia. Aku ingat saat-saat dulu ketika kita bermain di hutan ini. Kita selalu bermain ke sini, tapi tidak pernah sejauh ini karena pengasuhku selalu marah jika mengetahuinya."

Aku tidak menjawab, lantas terus menatap langkah Tuan Mahawira yang beberapa meter ada di depanku.

"Nostalgia sekali rasanya. Kau dulu perempuan yang pemberani. Bahkan kau tidak takut dengan hewan-hewan buas di sini."

Selang beberapa saat, Tuan Mahawira menghentikan penuturan.

"Kenapa kau diam saja dari tadi? Apa kau bisu?! Bicaralah. Aku tidak suka diam saja."

"M-maaf, Tuan. Iya, aku ... mengingat semuanya. Karena ayahanda Tuan-lah aku bisa bertahan hidup sampai menjadi dewasa seperti ini."

"Aku tidak memintamu mengingat hal menyedihkan seperti itu. Bicarakan sesuatu yang bisa membuat suasana hatimu gembira."

Kembali kuembuskan napas panjang.

Sudah cukup jauh langkah kami mengayun. Tuan Mahawira semakin jauh berada di depan. Kakiku terasa pegal. Sehingga itu aku memelankan langkah.

Mendadak dari semak-semak di sepanjang perjalanan, keluar seekor singa dan menghadang.

Aku terdiam sambil menelan saliva. Aku rasa bisa mengatasinya, tapi singa jantan di hadapanku itu cukup besar.

"Hei, jangan mendekat!"

Singa mengaum sambil mengambil ancang-ancang.

"Jangan mendek—"

Hewan buas itu melompat ke arahku, lalu berhasil menindih tubuhku. Aku menahan kepala sang singa menggunakan tangan kanan.

"Tuan! Tolong aku, Tuan!" teriakku sekeras mungkin. "Hei, Singa! Jangan lakukan itu! Aku bukan orang jahat!"

Hewan itu berusaha keras untuk memakanku, tetapi kepalanya masih tertahan oleh tanganku.

"Tuan! Tolo—"

"Kau! Singa nakal!"

Kugunakan kaki kanan untuk menendang-nendang perut sang singa, tetapi tenaganya sangatlah besar dan sulit untuk mengalah.

Kaki singa terlepas dari tangan, lalu ia berhasil mencakar kimono yang kukenakan hingga sobek.

Setitik air mata bertengger di pelupuk. Aku sedih sekali. Kenapa aku harus berjauhan dengan Tuan Mahawira? Jika saja aku berada di sampingnya, ini pasti tidak akan terjadi.

"Hiyaaat! Singa terkutuk!"

Bariton itu menggema di telinga. Kubuka mata, ternyata pria tampan berotot itu kini sedang berhadapan dengan sang singa buas.

Dengan cepat aku berdiri dan menjauh dari pertarungan antara Tuan Mahawira dengan sang singa sambil merapikan kembali kimono-ku yang begitu berantakan. Sayangnya, di bagian bahu telah sobek dan mungkin tidak akan bisa diperbaiki.

"Kau mau jadi makan siangku?! Baiklah, lawan aku!"

Sambil bersembunyi di balik pohon, kulihat Tuan Mahawira bercucur keringat karena melawan sang singa hanya menggunakan satu pisau kecil. Namun, aku yakin sekali tuanku itu sangat pandai dalam ilmu bela diri. Apa pun senjatanya, ia bisa mengalahkan musuh bahkan binatang buas sekalipun.

Tuan Mahawira melompat sambil mengarahkan mata pisau ke bawah, lalu melayang hingga berhasil menggores wajah singa itu.

Karena merasa kalah, sang singa berlari kencang.

"Hanya segitu rupanya kemampuanmu. Singa terkutuk!"

Melihat tuanku berhasil mengalahkan singa itu, aku refleks berlari hingga meraih tubuhnya. Kudekap tuanku sendiri meski tetap merasa tidak pantas melakukannya.

"Tuan ...," lirihku.

Begitu nyaman berada di peluknya.

Kudengar napas Tuan Mahawira perlahan-lahan kembali normal.

"Tuan ... m-maaf."

Ketika akan melepaskan pelukan, pria itu mengangkat kedua lengannya dan kembali menekan tubuhku untuk tetap berada di pelukan hangatnya.

Aku cukup terkejut. Perasaanku berdebar tanpa bisa ditenangkan kembali.

"T-Tuan—"

"Tetaplah seperti ini kalau kau merasa aman dan nyaman," potongnya.

Kudongakkan kepala, melihat raut wajah Tuan Mahawira. Begitu datar, tetapi jelas terpancar ketulusan di bola mata birunya.

"Tak perlu sungkan. Meskipun kau pelayanku, kau tetaplah teman masa kecil yang selalu kuingat."

Jantungku terasa ingin keluar dari cangkangnya. Napasku menderu. Aku yakin Tuan Mahawira menyadarinya.

Kenapa juga kau melakukan hal seperti ini, Tuan? Kau telah salah, dan kini membuatku merasa aman dan nyaman.

--------------------

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Mimpi Buruk Paling Buruk

    Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Selamat Tinggal

    Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Desa Kaswari

    "Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Tipu Daya Camelia

    Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Menyelesaikan Masalah dengan Pertarungan

    Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Pertarungan Pedang

    "Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status