Share

Pelukan Hangat Tuanku

"Kenapa kau berteriak?"

Aku menjauh dari Tuan Mahawira, tak mampu diriku untuk menatap pria itu.

Apa yang sebenarnya kulakukan? Sekarang pasti pipiku memerah.

"Ap-apa yang Tuan lakukan padaku?"

Kuarahkan bola mata pada wajah Tuan Mahawira. Dahinya mengerut dan senyumnya miring.

"Apa yang aku lakukan? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan padaku?" Pria itu beranjak bangkit, lalu mengenakan mantelnya.

"Aku ... aku ... tidak tahu, Tuan."

"Aku tahu. Kau mungkin mengira aku ini bantal sehingga memelukku dengan erat."

"J-jangan katakan itu lagi, Tuan," lirihku sambil menolak tatapan Tuan Mahawira.

Aku malu sekali. Malu sekali! Mengapa bisa aku melakukan hal memalukan seperti memeluk tuanku sendiri? Kalau hal ini terjadi di istana, aku pasti sudah dihukum karena dianggap wanita penggoda.

Dasar! Bodohnya aku.

Tanpa berkata-kata, aku langsung pergi. Entah ke mana, yang penting hatiku tenang dulu dan perasaan malu ini hilang.

Sambil terus menelusuri hutan, aku mendengar sebuah suara.

"Suara apa itu?" gumamku sambil memfokuskan telinga dan memejamkan mata. "Itu pasti suara air terjun!"

Langsung kulangkahkan kaki dengan cepat untuk memastikan benar atau tidaknya tebakanku. Setelah melewati pohon besar terakhir, ternyata benar!

"Wah, indah sekali! Segar sekali!" gumamku sambil mengedarkan bola mata ke sekitar air terjun yang kira-kira tingginya mencapai dua puluh meter.

Air yang meluncur itu sangat jernih. Berada di tempat itu pun membuat tubuhku kedinginan. Kebetulan sekali tubuhku tidak pernah menyentuh air dari kemarin. Sekarang saatnya aku membasuh diri agar terlihat cantik kembali.

Haha, Tuan Mahawira pasti akan terpesona dengan kecantikanku!

Tunggu, tunggu, tunggu. Apa yang aku pikirkan? Tidak, tidak. Pikiran seperti itu harus aku hilangkan!

Aku pun segera membuka kain yang menutupi tubuh sambil menyentuhkan kaki di danau yang airnya berasal dari atas tebing. Air di danau cukup dalam sehingga melahap tubuhku hingga bahu. Kuusap-usap bagian tangan yang kotor agar terlihat bersih seperti semula.

Kulitku kembali tampak putih. Sesekali kubasahi rambut dengan mengambil air menggunakan kedua tangan, memupuknya sampai terlihat basah.

Aku penasaran ke mana air mengalir sehingga mencari alirannya. Aku berenang ke sana kemari.

"Aku ingin mandi di bawah terpaan airnya," gumamku, kemudian berenang ke tempat air menerpa.

Asyik, airnya begitu sejuk. Rambutku basah sepenuhnya. Kuusap-usap bagian wajah.

Tak berapa lama, aku berenang kembali dan berniat untuk menyudahi. Kuambil kimono, keluar dari danau. Untung saja terik mentari sampai di tempat ini sehingga mudah untuk mengeringkan rambut serta tubuhku.

Aku mengusap-usap dan memeras air yang tersisa di rambut.

Betapa senangnya diriku, bahkan sambil bersenandung ria. Kusandarkan punggung di sebuah pohon. Rasanya lelah sekali sehabis berenang. Kedua mataku terpejam menikmati terik yang bercampur semilir angin pelan.

Tak berselang lama, terdengar suara benda terjatuh ke danau. Aku terkesiap, langsung membuka mata.

Apa yang kulihat? Oh, sepertinya aku sedang berada di dalam mimpi. Tuan Mahawira?

Hmm, tuanku yang tampan. Tak mengenakan pakaian, otot-ototnya menyembul. Perutnya ... membuatku menelan saliva.

Tuan Mahawira mengibas-ngibaskan rambut panjangnya. Percikan air berhamburan ke mana-mana. Setitik mengenai wajahku. Dan barulah saat itu aku sadar kalau sebenarnya ... aku tidak sedang ada di dalam mimpi?!

Apa?!

Aku berdiri tegak sambil menepuk-nepuk kedua pipi. Degup jantungku berontak kala melihat pria tampan dengan otot-otot yang indah itu tampak di kedua mata.

Oh, Tuhan! Mimpi apa aku semalam?

Lama aku bergeming, tanpa sadar, Tuan Mahawira ternyata mengarahkan bola matanya padaku. Ups, aku ketahuan.

"Sedang apa kau di situ?" tanya Tuan Mahawira sedikit berteriak untuk menjangkau telingaku.

Lantas aku tercengir sambil tersenyum enggan. "T-Tuan ...."

Bola mataku berputar ke sana kemari. "Aku ... sedang .... Hmm, seharusnya aku yang bertanya padamu, Tuan! Sedang apa kau di sini?! Aku sudah lebih dulu di tempat ini."

Saat Tuan Mahawira keluar dari danau, aku langsung menoleh ke samping kanan sembari memejamkan mataku.

"T-Tuan! K-kenapa kau—"

"Tenang saja, aku mengenakan celana," katanya.

Kubuka sebelah mata untuk memastikan. Oh, ternyata benar. Pria itu mengenakan celana. Tapi ... tetap saja aku tidak fokus jika melihatnya dengan penampilan seperti itu. Basah kuyup, tak mengenakan pakaian, lalu otot-otot yang selalu berhasil membuatku menelan saliva.

"Mandilah. Airnya segar sekali," ucap Tuan Mahawira sambil berkacak pinggang dan menatapku.

Dasar pria! Apakah dia tidak bisa membedakan diriku yang belum atau sudah mandi?

"Aku ... sudah mandi, Tuan."

"Oh, begitu. Baiklah. Aku pikir kau belum mandi."

"Memangnya kenapa kalau aku belum mandi, Tuan?"

"Kalau kau belum mandi, kita bisa mandi bersama."

Apa?! Setelah mengajakku tidur bersama, sekarang dia malah mengajakku mandi bersama?! Keterlaluan! Memangnya aku gadis murahan? Memangnya aku wanita penggoda yang kerap kali disewa oleh para pengawal untuk menghiburnya? Huh!

"Kalau begitu, kau tunggu aku selesai. Di sini airnya begitu sejuk."

Tuan Mahawira kembali menceburkan diri, menikmati kesegaran air, berenang mengitari danau.

Aku sangat senang melihat tuanku itu bahkan sejak aku masih berusia delapan tahun. Tak terasa kami sudah beranjak dewasa, puluhan tahun sudah kami bersama di istana. Namun, saat Tuan Mahawira ditugaskan oleh ayahandanya, pria itu menjadi lelaki yang sangat sibuk.

Aku benci dengan kesibukannya. Padahal, dulu kami selalu bermain bersama-sama. Ayahanda Tuan Mahawira menugaskanku untuk selalu menemaninya, menjaga pria itu saat diganggu oleh pangeran-pangeran lain. Entahlah, apakah Tuan Mahawira masih ingat hari-hari ketika kami bersama.

"Hei! Apa yang kau tunggu?! Aku sudah selesai!" teriak pria itu seraya menutupi tubuhnya dengan mantel.

Aku mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan. Kuikuti saja langkah tuanku dari belakang. Aku tidak pantas berjalan beriringan dengannya. Aku lebih pantas berada di belakang untuk selalu mengawasinya.

"Nah, Cornelia. Aku ingat saat-saat dulu ketika kita bermain di hutan ini. Kita selalu bermain ke sini, tapi tidak pernah sejauh ini karena pengasuhku selalu marah jika mengetahuinya."

Aku tidak menjawab, lantas terus menatap langkah Tuan Mahawira yang beberapa meter ada di depanku.

"Nostalgia sekali rasanya. Kau dulu perempuan yang pemberani. Bahkan kau tidak takut dengan hewan-hewan buas di sini."

Selang beberapa saat, Tuan Mahawira menghentikan penuturan.

"Kenapa kau diam saja dari tadi? Apa kau bisu?! Bicaralah. Aku tidak suka diam saja."

"M-maaf, Tuan. Iya, aku ... mengingat semuanya. Karena ayahanda Tuan-lah aku bisa bertahan hidup sampai menjadi dewasa seperti ini."

"Aku tidak memintamu mengingat hal menyedihkan seperti itu. Bicarakan sesuatu yang bisa membuat suasana hatimu gembira."

Kembali kuembuskan napas panjang.

Sudah cukup jauh langkah kami mengayun. Tuan Mahawira semakin jauh berada di depan. Kakiku terasa pegal. Sehingga itu aku memelankan langkah.

Mendadak dari semak-semak di sepanjang perjalanan, keluar seekor singa dan menghadang.

Aku terdiam sambil menelan saliva. Aku rasa bisa mengatasinya, tapi singa jantan di hadapanku itu cukup besar.

"Hei, jangan mendekat!"

Singa mengaum sambil mengambil ancang-ancang.

"Jangan mendek—"

Hewan buas itu melompat ke arahku, lalu berhasil menindih tubuhku. Aku menahan kepala sang singa menggunakan tangan kanan.

"Tuan! Tolong aku, Tuan!" teriakku sekeras mungkin. "Hei, Singa! Jangan lakukan itu! Aku bukan orang jahat!"

Hewan itu berusaha keras untuk memakanku, tetapi kepalanya masih tertahan oleh tanganku.

"Tuan! Tolo—"

"Kau! Singa nakal!"

Kugunakan kaki kanan untuk menendang-nendang perut sang singa, tetapi tenaganya sangatlah besar dan sulit untuk mengalah.

Kaki singa terlepas dari tangan, lalu ia berhasil mencakar kimono yang kukenakan hingga sobek.

Setitik air mata bertengger di pelupuk. Aku sedih sekali. Kenapa aku harus berjauhan dengan Tuan Mahawira? Jika saja aku berada di sampingnya, ini pasti tidak akan terjadi.

"Hiyaaat! Singa terkutuk!"

Bariton itu menggema di telinga. Kubuka mata, ternyata pria tampan berotot itu kini sedang berhadapan dengan sang singa buas.

Dengan cepat aku berdiri dan menjauh dari pertarungan antara Tuan Mahawira dengan sang singa sambil merapikan kembali kimono-ku yang begitu berantakan. Sayangnya, di bagian bahu telah sobek dan mungkin tidak akan bisa diperbaiki.

"Kau mau jadi makan siangku?! Baiklah, lawan aku!"

Sambil bersembunyi di balik pohon, kulihat Tuan Mahawira bercucur keringat karena melawan sang singa hanya menggunakan satu pisau kecil. Namun, aku yakin sekali tuanku itu sangat pandai dalam ilmu bela diri. Apa pun senjatanya, ia bisa mengalahkan musuh bahkan binatang buas sekalipun.

Tuan Mahawira melompat sambil mengarahkan mata pisau ke bawah, lalu melayang hingga berhasil menggores wajah singa itu.

Karena merasa kalah, sang singa berlari kencang.

"Hanya segitu rupanya kemampuanmu. Singa terkutuk!"

Melihat tuanku berhasil mengalahkan singa itu, aku refleks berlari hingga meraih tubuhnya. Kudekap tuanku sendiri meski tetap merasa tidak pantas melakukannya.

"Tuan ...," lirihku.

Begitu nyaman berada di peluknya.

Kudengar napas Tuan Mahawira perlahan-lahan kembali normal.

"Tuan ... m-maaf."

Ketika akan melepaskan pelukan, pria itu mengangkat kedua lengannya dan kembali menekan tubuhku untuk tetap berada di pelukan hangatnya.

Aku cukup terkejut. Perasaanku berdebar tanpa bisa ditenangkan kembali.

"T-Tuan—"

"Tetaplah seperti ini kalau kau merasa aman dan nyaman," potongnya.

Kudongakkan kepala, melihat raut wajah Tuan Mahawira. Begitu datar, tetapi jelas terpancar ketulusan di bola mata birunya.

"Tak perlu sungkan. Meskipun kau pelayanku, kau tetaplah teman masa kecil yang selalu kuingat."

Jantungku terasa ingin keluar dari cangkangnya. Napasku menderu. Aku yakin Tuan Mahawira menyadarinya.

Kenapa juga kau melakukan hal seperti ini, Tuan? Kau telah salah, dan kini membuatku merasa aman dan nyaman.

--------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status