Beranda / Romansa / Tuan, Jangan Sakiti Aku! / Aku Butuh Tuan Tampanku

Share

Aku Butuh Tuan Tampanku

Penulis: Momoy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-04 07:55:29

Karena kimono milikku sobek di beberapa bagian, Tuan Mahawira dengan rela memberikan mantelnya untuk kugunakan, sementara ia hanya mengenakan kain tipis berwarna putih sebagai pakaian. Aku merasa tidak enak dengannya.

"Tuan ... yakin memberikan mantel ini untukku?"

"Hanya kuberi pinjam. Dan itu tidak g****s. Kau harus melakukan sesuatu untukku."

"Hah?! M-melakukan apa, Tuan?"

"Sudahlah, sekarang lebih baik kita lanjutkan perjalanan. Negeri Angin sudah dekat dari sini. Jika kita berhasil melewati satu perbukitan terakhir, Negeri Angin akan terlihat."

Aku mengangguk-anggukkan kepala sebagai respons.

"Tuan, bagaimana kalau ada yang mengenali Tuan? Bukankah Tuan orang yang terkenal di seluruh negeri aliansi dan—"

"Tidak satu pun kerajaan di Negeri Angin itu aliansi Kerajaan Rosalia. Ah, sudahlah. Kau tidak akan mengerti jika berbicara tentang kerajaan. Kau sebaiknya cukup ikuti saja aku."

Aku mengembuskan napas setelahnya.

Aku juga 'kan, mau tahu tentang kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri itu. Meskipun memang aku hanyalah seorang pelayan, tapi jika dalam keadaan seperti ini aku tidak punya pengetahuan tentang kerajaan sendiri dan kerajaan-kerajaan lainnya, banyak hal yang bisa terjadi.

"Ayo, kau berjalan di sampingku. Jika terjadi sesuatu lagi, aku tidak akan menolongmu."

Jahat sekali kau, Tuan!

Kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju Negeri Angin. Seperti yang dikatakan oleh Tuan Mahawira, jika berhasil melewati satu bukit lagi, maka Negeri Angin akan segera terlihat. Nyatanya, sampai malam tiba pun, kami belum juga melihat adanya perbukitan.

"Aku lelah. Kita istirahat sebentar," pungkas Tuan Mahawira sambil menyapu dahi dengan tangan, ia pun mengempaskan pantat di tanah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar.

Aku pun begitu, lelah sekali. Tenggorokanku kering.

"Ya, ampun. Aku lupa mengambil air minum dari air terjun itu. Sekarang pasti kita tidak akan menemukan sumber air di sekitar sini," ucapku.

"Dasar bodoh," lirih Tuan Mahawira.

Apa? Dia mengataiku bodoh? Enak saja! Kalau aku lupa, bukankah seharusnya dia mengingatkan? Atau paling tidak memerintahkan untuk mengambil air di sana. Membuatku kesal saja!

"M-maaf, Tuan. Aku ... benar-benar tidak terpikir untuk—"

"Sssst!"

Tiba-tiba Tuan Mahawira meletakkan jari telunjuk di depan bibirku. Seketika aku terdiam.

Tuan Mahawira sibuk mengedarkan bola mata ke sekeliling, seolah-olah ia sedang waspada akan suatu hal.

"A-ada apa, Tuan?" tanyaku dengan nada pelan.

Tuan Mahawira tidak menjawab, ia lantas memejamkan kedua matanya. Tak berselang lama, kembali matanya terbuka, tetapi setelahnya langsung berteriak keras, "LARI!"

Aku terkesiap ketika Tuan Mahawira meraih punggungku dan membawaku lari. Kulihat puluhan anak panah melesat cepat hampir mengenai wajahku.

"Kau bersembunyilah di sini!"

Tampak sangat jelas Tuan Mahawira begitu tegang.

"Kau mau ke mana, Tuan?" tanyaku karena Tuan Mahawira tidak ikut bersembunyi denganku di balik pohon.

"Aku akan mencari orang-orang terkutuk itu! Kau tetap di sini sampai aku kembali."

Saat Tuan Mahawira akan pergi, dengan cepat kuraih ujung pakaiannya sambil menunduk. "Kumohon, jangan tinggalkan aku di sini, Tuan."

Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan oleh pria itu karena sedang dalam posisi menunduk. Setelah kuangkat kepala, tiba-tiba saja Tuan Mahawira mendorongku dengan keras sehingga terperosot di sebuah jurang di balik pohon-pohon.

Tuan Mahawira menangkap satu anak panah. Aku masih bisa menyaksikannya, pria itu juga tergelincir hingga terjatuh. Setelah itu, aku tak tahu bagaimana nasib tuanku. Bahkan, nasibku sendiri pun aku tak tahu.

Aku menggelinding di jurang terjal. Tubuhku menabrak pohon dan semak-semak di sekitar, bahkan batu pun menghantam pinggangku hingga tak sadarkan diri. Seluruh tubuh kurasakan sakit, yang kulihat menggelap.

------------------------

"Tuan ... Tuan ... Tuan ...."

Aku menggeliat-liat karena merasakan tubuh nyeri dan pegal. Mata belum kubuka, tetapi rasanya ada banyak pasir dan kotoran yang menutupi wajah. Yang teringat saat itu hanya nama tuanku.

Mahawira Baladewa Balmatra Bangsawan. Seorang pria yang selalu berhasil membuatku terkagum dengan ketangkasannya. Dimulai semenjak usia lima belas tahun saat Tuan Mahawira mulai berlatih menggunakan pedang serta belajar bela diri.

Dulunya, tuanku orang yang penakut. Namun, saat ia melihatku menangis karena selalu dihina oleh pangeran-pangeran dari negeri seberang, ia memberanikan diri untuk melawan mereka tanpa kemampuan yang hebat.

"Jelek! Hitam! Kau tidak pantas ada di istana ini! Bahkan kau tidak pantas berada di negeri mana pun!" Begitulah cerca mereka—para pangeran yang tampan dan calon penerus raja.

Kututup telinga dan menjongkok, coba mengusir kata-kata mereka yang begitu menyakiti hatiku.

"Pergi kau dari sini! Kau tidak pantas bersama Pangeran Mahawira!"

"Hentikan!"

Mendengar teriakan yang menggema itu, aku lantas membuka mata, lalu melihat lelaki yang selalu bersamaku itu berdiri di depanku. Dibentangkannya kedua tangan, seolah menjadi tameng yang siap melindungi diriku.

"Ada apa? Apa yang kau lakukan, Pangeran?" tanya salah satu dari tiga bersaudara yang merupakan anak-anak dari kerajaan di negeri seberang.

"Kalian tidak semestinya mengatakan hal itu pada Cornelia! Kalian tidak tahu betapa baik hatinya!"

Mendengar teriakan dari sang pangeran, tiga bersaudara itu tertawa keras. "Apa yang kau katakan, Pangeran? Dia tidak sebanding dengan kita. Dia itu berada di bawah—"

"Terkutuk!"

Tuan Mahawira dengan cepat melesat ke arah mereka, lalu menghantam tiga bersaudara itu satu per satu. Tanpa sedikit pun kekhawatiran akan mendapatkan hukuman dari ayahandanya atas perlakuan itu, Tuan Mahawira membabi buta.

Aku tidak dapat melakukan apa pun. Bergeming diriku melihat ketangkasan tuanku. Aksinya itu seolah-olah dapat meredakan tangis dan kesedihan atas perlakuan tiga pangeran congkak.

Ketiga pangeran mampu dibuat terkapar oleh Tuan Mahawira. Namun, ekspresi di wajahnya semenjak saat itu jadi berubah. Dia tidak lagi lelaki seperti yang aku kenal; penakut, kaku, kurang komunikasi.

Ia selalu bersikap dingin dan berwajah datar.

"Kembalilah kau ke kamarmu!"

Aku mulai bangkit, gugup. Untuk pertama kalinya aku gugup karena lelaki itu. Semula akulah yang selalu melindunginya, bermain bersama Tuan Mahawira. Dan sekarang ... tidak lagi.

"T-terima—"

"KEMBALI!"

Justru teriakan pria itu membuatku semakin dirundung rasa takut. Jantung berontak, aku pun segera pergi dengan langkah gontai.

Aku pikir diriku bisa menjadi seseorang yang selalu melindungi dan melayani tuanku, tetapi nyatanya malah membawa sial.

Aku sadar dengan fisikku yang tidak seberuntung anak-anak gadis di istana. Kulit yang putih dan mulus, rambut yang lembut, bola mata yang indah, serta hidung yang lancip. Aku tidak memiliki semua itu. Aku hanya gadis buruk rupa yang dipungut sang ayahanda dari tuanku, lalu dipekerjakan serta dilatih menjadi seorang pelayan.

Aku tak tahu dari mana berasal dan siapa diriku yang sebenarnya.

---------------------------

Membuka sebelah mata, cerah yang kulihat. Kucoba bangkit dengan rasa sakit yang membalut beberapa bagian tubuh. Pasir-pasir yang mengotori wajah dan mantel Tuan Mahawira segera kubersihkan.

Tiba-tiba perutku berbunyi. Tidak heran, aku kehilangan banyak tenaga.

Segera kulangkahkan kaki meski agak terhuyung. Kusapukan pandangan, lalu menemukan pohon apel yang telah berbuah. Dengan cepat kudekati dan memetik apel begitu banyak. Kumakan dengan lahap. Satu apel belum habis, kumakan yang lainnya.

"Akan kuambilkan untuk Tuan—"

Aku terhenti seketika. Tuan Mahawira? Ke mana dia?

Mataku mulai menerawang. Mengingat kejadian kenapa aku bisa sampai ada di tempat ini membuatku berhenti memetik buah apel, lantas berjalan cepat untuk menemukan tuanku.

"Tuan Mahawira, di mana kau?" gumamku dalam hati. Tentu saja, aku berharap hal buruk tidak terjadi padanya.

Aku belum siap untuk kehilangan pria itu karena masih merasa begitu membutuhkannya. Kupikir ia tidak membutuhkanku, tetapi akulah yang butuh akan dirinya.

Kucari pria itu di semak-semak tanah terjal tempatku menggelinding. Namun, tak juga kutemukan. Hatiku mulai sedih.

Apel-apel yang kupetik percuma saja jika tuanku tidak bisa menikmatinya. Apa pun yang kutemukan tetap tidak berarti apa-apa.

Lututku serasa keropos hingga diriku bersimpuh. Apel-apel terjatuh dari genggaman, berserakan di sekitar.

"Apa yang kau lakukan di situ?"

Sebuah suara membuat leherku memutar ke kanan. Seorang pria tampan dengan dua anting terpasang di telinga, membuatku terkejut.

"Apa yang sudah terjadi denganmu, Gadis Cantik?"

Aku bergeming, napas menderu saat dia mendekat. Terlebih lagi ia membawa pedang panjang di genggaman.

------------------------

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Mimpi Buruk Paling Buruk

    Ini adalah sebuah cerita tentang pertemuan, perjuangan, pengorbanan, cinta yang sejati, dan ikatan kemanusiaan. Di sebuah kerajaan bernama Rosalia, pada abad pertengahan (1063 M) di belahan bumi selatan—Balmatra—hidup seorang raja dengan satu putra pangeran bernama Mahawira.Pangeran Mahawira dijodohkan dengan seorang putri dari kerajaan aliansi, yaitu Kerajaan Simaseba. Namun, Mahawira tidak menerima perjodohan yang diatur untuk kepentingan politik. Ia menolak keras permintaan sang ayah, lalu memilih seorang pelayan yang hidup sebatang kara dan selalu menemaninya sejak berusia 8 tahun.Mahawira mengajak pelayan bernama Cornelia melarikan diri dan dikejar-kejar prajurit istana saat hari pernikahannya dengan Camelia dari Istana Simaseba. Pelarian itu akhirnya membawa Cornelia dan Mahawira pada sebuah fakta yang tak terelakkan. Seiring berlalunya waktu dalam perjalanan menuju Negeri Angin, Mahawira jatuh cinta dengan Cornelia sehingga memutuskan untuk

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Selamat Tinggal

    Setelah mendapatkan serangan tak terduga dari musuh, aku memuntahkan darah yang cukup banyak. Saat terbaring lemah, terdengar pekikan dari Tuan Mahawira dan apa yang kulihat menjadi hitam pekat.Selama ini, aku tak pernah mendapatkan pukulan sekeras ini sampai-sampai membuatku memuntahkan darah. Pria mana yang tega menyakiti seorang perempuan sepertiku, tak berbelas kasihan bahkan tidak menahan kekuatan untuk dikeluarkan.Aku paham kami adalah musuh bagi mereka yang masing-masing punya alasan untuk bertarung."Cornelia! Cornelia! Bertahanlah! Cornelia!"Itu suara tuanku yang tampan. Di mana dia? Aku tak dapat melihat apa pun. Hanya gelap yang menyelimuti di sekeliling."T-Tuan ...." Napasku terasa berat. Degup jantung tak beraturan. Ini menandakan aku sudah menyentuh batas kemampuan. Aku tak akan bisa lagi untuk berdiri, lalu bertarung dan membantu teman-teman.Aku tak tahu bagaimana posisiku saat ini, yang jelas aku

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Desa Kaswari

    "Akhirnya, kita tiba di desa pertama setelah melewati hutan," ujar Aksa saat kami berhasil keluar dari hutan."Bukankah perkataanmu sangat aneh, Aksa. Benarkah ini sebuah desa?" tanyaku sambil mengernyit."Benar. Ini sebuah desa yang bernama Desa Kaswari. Namun, sayangnya pihak kerajaan sudah merenggut semuanya sehingga desa yang dulunya ramai ini menjadi desa yang sangat sepi."Mata kami mengedar ke sekeliling melihat keadaan desa yang porak-poranda."Putri Camelia sudah merenggut segalanya dari rakyat. Tempat tinggal kami, sumber daya kami, semuanya." Aksa tiba-tiba berwajah sedih."Mungkin kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Aku ingat yang kau bilang, Aksa. Semua wilayah di tanah ini sudah menjadi milik kerajaan, artinya prajurit kerajaan mengawasi setiap desa dan lahan-lahan bercocok tanam.""Ya, benar. Kita harus berhati-hati.""Ada yang datang!" ujar Pangeran Kalandra.Untung saja

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Tipu Daya Camelia

    Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa digunakan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala memandang musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api."Hiyaaaaattt!"Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Namun, perbedaan kekuatan telah terjadi.

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Menyelesaikan Masalah dengan Pertarungan

    Pedang milik Tuan Mahawira patah oleh tebasan pedang pria bertopeng yang baru saja datang entah dari mana. Kami bertiga membelalak, bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa pedang yang sudah ditunjang oleh energi artefak naga itu bisa patah.Tuan Mahawira segera menjauh dari dua pria bertopeng. Aku melihat kekesalan yang memuncak di wajah sang pangeran."Keparat."Waktunya sudah tiba. Aura di sekeliling tiba-tiba berubah drastis. Suhu udara yang semula dingin seketika menjadi panas. Ini adalah tanda-tanda saat kekuatan Tuan Mahawira akan mulai hilang kendali.Tak lama kemudian, api mengelilingi tubuh Tuan Mahawira. Tangannya mengepal keras. Tatapannya menajam tersirat sebuah makna ada dendam yang harus dibalas.Dua pria bertopeng menyadari suhu di sekeliling tiba-tiba panas. Mereka meningkatkan kewaspadaan dengan bersiap kembali menyerang.Akan tetapi, sebelum mereka mulai bergerak, Tuan Mahawira secepat kila

  • Tuan, Jangan Sakiti Aku!   Pertarungan Pedang

    "Sudah kuputuskan. Aku akan ikut dengan kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan."Kau serius?!" tanyaku memastikan."Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyum. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Tentu saja, kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan."Aku tidak percaya kalian adalah rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan."Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi."Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status