Walau Deva sedang menikmati lezatnya daging rendang buatan Uda Beni ditemani istri tercinta dan asisten pribadinya. Tapi, dalam hatinya dia tidak pernah berhenti bertanya, di mana sebenarnya mantan kekasih yang telah lancang mencuri liontin peninggalan Nadira.Melihat lahapnya Ratih juga mengunyah nasi rendang sambil sesekali menjilati jemarinya sendiri, hati Deva kembali merasa berbunga. Entahlah, melihat pemandangan sederhana seperti ini dapat menambah kadar cintanya kepada wanita yang dulu sangat kejam menolaknya mentah-mentah.“Aku, mau tambah sekalian mau ngajak Uda Beni ngobrol,” pamit Ratih sambil membawa piring yang tersisa jejak sisa bumbu rendang.“Iya, ajak saja ngobrol di bawa pohon mangga, biasanya Uda Beni suka ngopi di sana,” ucap Deva membiarkan istrinya itu beranjak dari kursi.Bibir Atmadeva kembali tersungging melihat Ratih membungkuk singkat dan menyapa Uda Beni. Kini tatapannya beralih pada asisten pribadinya yang sedang meneguk teh tawar hangat dengan penuh khidm
Sore itu kira-kira hampir habis jam kantor, beberapa tahanan jaksa baru saja tiba di rumah tahanan yang sama dengan rumah tahanan tempat Rangga diamankan. Seorang sipir bernama Beni keluar dan mulai mengabsen satu per satu nama tahanan baru.“Kalian sementara akan diisolasi dulu, setelah dua hari baru akan pindah blok!” tegas Pak Beni.Satu dari lima tahanan tersebu adalah anak buahnya Ikbal yang sengaja membuat keributan di salah satu café milik rekan kerjanya Ikbal. Bos Café yang sudah diatur oleh Ikbal tersebut dengan sengaja melaporkan si pembuat rusuh. Hingga polisi menjemput dan segera memproses berkas perkaranya.Kini tibalah seorang agen rahasia salah satu anak buahnya Ikbal di rumah tahanan tersebut dengan berkas lengkap atau telah dinyatakan P21. Terlihat Pak Beni mulai mengambi selembar kertas, ternyata itu adalah daftar nama tahanan baru beserta kasus pidana yang mengantarkannya ke hotel pordeo ini.Satu-satu nama tahanan itu dipanggil, hingga Pak Beni berteriak dua kali u
“Aku tidak akan berteriak seperti si sipir bodoh itu! Aku akan memperlakukanmu dengan manusiawi asal kau mau melakukan semua perintahku dan menolong semua kebutuhanku.” Jimin kembali membaca tulisan Rangga dan segera saja mengangkat dua jempol tangannya. “Bos, kalau begitu tidur aja sekarang, biar saya pijit. Nanti saya tidur di bawah, in ikan ada tikar,” kata Jimin siap melakukan tugas pertamanya. “Aku belum malam,” jawab Rangga, lalu kembali menepuk jidat, dia lupa kalo kacungnya ini tuli. Akhirnya Rangga kembali menulis dan Jimin tertawa kecil sambil ikutan duduk menunggu jatah makan malam dari tamping bagian dapur yang biasanya mengantarkan makanan ke tiap blok tahanan. Tamping adalah salah seorang tahanan yang berkelakuan paling baik diantara tahanan lainnya dan ditugaskan sebegai salah satu kepala dari tiap divisi bagian kerja yang ada di dalam sel tahanan. Ada tamping untuk binker, ada juga tamping perpustakaan, tamping kamtib dan tamping masjid. Jimin sebenarnya agak heran
Seorang pria dengan wajah yang asing tengah berdiri di depannya. “Permisi, apa Anda Nona Yeni Latifa?” Yeni melihat pria tersebut dari atas sampai ke bawah. Tampaknya ini bukan orang sembarangan, penampilannya terlihat neces, memakai kemeja rapi dengan dasi juga celana kain mahal dan sepatu mengkilat. Ia jadi penasaran, siapa gerangan pria berkitar kepala empat yang cukup tampan di hadapannya ini.“Benar sekali, saya adalah Yeni Latifa. Maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa dengan saya?” tanya Yeni masih belum mau mengijinkan pria tersebut untuk masuk bertamu ke rumahnya.“Saya adalah Parlin, asisten pribadinya Tuan Atmadeva Haidar Rahardjo. Bisakah kita berbicara berdua?” tanya Parlin sopan.Mendengar nama Deva, mata Yeni langsung membulat sempurna. Ia menatap Parlin dengan tatapan yang cukup sulit diartikan. Ada sinar binar kebahagiaan di mata Yeni tetapi ada juga sorot kekhawatiran.“A-ada apa? Apa Deva mencari saya?” Yeni masih anteng tetap berdiri di depan tanpa mempersilahkan
“Tugas, mengawasi mantanku,” kekeh Deva sengaja menggoda Ratih.Deva hanya ingin tau apakah Ratih memiliki rasa cemburu, bukan untuk mencari masalah. Tapi, hanya untuk menjawab rasa penasarannya saja.“Oh, kamu suruh Bang Parlin untuk mengawasi mantan pacarmu? Kamu bilang apa tadi? Bagus, okay, bagus, baiklah?! Itu kan yang tadi kamu bilang,” ucap Ratih seraya menirukan suara dan cara Deva berbicara.“Kalau perempuan itu lebih bagus, yah sudah pergi sana sama Parlin. Aku sendiri yang akan mengambil data list semua pegawai dan tenaga kerja lepas di perkebunan ayahku! Sudah, pergi sana!” usir Ratih lalu mendorong Deva dan hendak membuka sabuk pengamannya.Secepat kilat Deva menahan lengan istrinya, ia menatap geli wajah Ratih yang merengut. Dicubitnya cuping hidung Ratih dengan gemas. “Kalau ngambek ternyata bisa seram juga yah?” kekeh Atmadeva lalu mengecup singkat bibir Ratih.“GR! Aku tidak ngambek kok, sudah sa-“CUP!Sebuah kecupan kembali membungkam Ratih. “Sudahlah, jangan suka m
Darman membunyikan bel rumah tersebut beberapa kali, hingga seorang pelayan pun keluar. “Maaf ada perlu apa yah, Pak? Mau cari siapa?” tanya pelayan tersebut.“Bu, saya mau ketemu dengan Pak Susantio, apakah beliau ada di rumah?” tanya Darman.“Pak Susantio? Hem, itu … Pak Susantio sudah tidak pulang ke rumah selama empat hari, Pak. Tapi, kalau mau ketemu sama istrinya, silahkan masuk Pak. Saya bukakan pintunya dulu yah,” ucap pelayan tersebut sambil membungkuk hormat.Mendengar kalau Susantio tidak pulang selama seminggu, Ratih dan Deva saling berpandangan. Begitu juga dengan Darman dan Lusi. Mereka lalu masuk ke dalam rumah tersebut dan cukup takjub dengan bangunan di hadapan mereka.Bukan hanya takjub tapi berbagai tanda tanya berseliweran di kepala masing-masing. “Kalau boleh tau, bangunan ini sudah jadi sejak kapan, Bi?” tanya Lusi sedikit berbisik.Darman langsung menyenggol Lusi dengan siku tangannya. Untung saja pelayan tersebut tidak terlalu memperhatikan. Ia menjawab dengan
Seorang pria basah kuyup dengan tertatih berjalan menuju ke rumah sederhana di tengah hutan. Rumah yang biasa dijulukinya sebagai rumah pohon itu, kini menjadi tempat persembunyiannya. Ia membuka pintu rumah itu dan matanya terbelalak.“Buat apa kalian ada di sini? Bukankah sudah ku katakan, kalau aksi kita sudah endus oleh Tuan Rahardjo dan Tuan Hudaya. Aku tidak bisa lagi mengawal apalagi menukar bahan baku tersebut! Aku tidak mau mengambil resiko!” ucapnya sambil terengah.BUG! BUG!Sebuah pukulan mendarat di perut dan sebuah upper cut membuatnya tumbang seketika. “Sudah ku katakan, jangan lakukan hal-hal yang mencurigakan. Tapi, kau tetap melanggar peraturan yang sudah aku tetapkan. Sekarang, katakan kepadaku, di mana kau sembunyikan uang lima milyar itu?!” desis pria bertubuh padat dan penuh otot itu.“Aku, tidak mau mengatakannya. Aku tau, kalian akan membunuhku. Jika aku mengatakan di mana uang itu. Buatlah rekening baru, setelahnya aku akan mengirim bagianmu tapi, kalian tidak
Dua hari setelah Deva dan Ratih berkunjung ke rumahnya Susantio dan bertemu dengan Fitri, terjadi kabar yang cukup menghebohkan seantero kota tempat mereka tinggal. Ditemukan mayat seorang pria mengapung di danau petik wangi hari itu. Mayat yang ditemukan itu sudah dalam keadaan bengkak karena tubuh yang rasanya sudah lebih dari dua puluh empat jam di dalam air. Kabar yang diberitakan oleh seluruh stasiun televisi lokal langsung menyita perhatiannya Ratih saat sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya. “Deva! Sini cepat lihat!” panggil Ratih sembari memperbesar volume televisinya. Deva bergegas keluar dari kamar, hatinya langsung tidak enak saat mendengar berita tersebut. Ia dan Ratih saling berpandangan dalam diam, selama berita tersebut dibacakan oleh salah satu reporter televisi yang berada di lokasi kejadian perkara. “Kita harus ke sana, Ratih,” ajak Deva. “Tidak! Jangan ke mana-mana. Diamlah di sini, panggilah Parlin dan Pak Ratmin ke sini. Kita harus pergi ke rumahnya Pak Sus