Share

3. Jebakan sang Tuan Muda

Dengan tenaga yang sudah mulai terkuras habis, Ziana hanya bisa pasrah menghadapi tingkah tidak konsisten Zen. Sekarang apa lagi? Tubuh dan hatinya sudah meminta untuk istirahat. Tidak kah pria itu mengerti? Dia lelah. Jujur, lebih baik mengerjakan soal Matematika dibandingkan menghadapi sikap kekanakan seorang Zen Kusuma Diningrat.

“Apa lagi?” desah Ziana tidak bertenaga. Sesaat matanya bergerak tidak fokus dan terus mengusap bokongnya yang terasa ngilu. Sebelum kemudian fokus melawan rasa takutnya dan menatap Zen dengan raut kesal.

Alisnya mengerut tidak suka saat melihat pria itu tidak berhenti tertawa melihatnya mengerang kesakitan. Dasar pria brengsek! Keturunan darah biru seperti apa yang memiliki sifat seperti iblis? Bukannya darah biru, Zen lebih layak dipanggil tuan muda berdarah kotor.

“Gue mau Tanya sesuatu sama lo,”

“Tanya apa?” jawab Ziana cuek.

“Kenapa lo bisa masuk ke sekolah ini? Lo murid beasiswa? Dilihat dari tampilan lo yang super biasa. Pasti tebakan gue benar, lo cuma anak beasiswa di sini. Tapi gue nggak mau bahas tentang kemiskinan lo itu sekarang, ada waktunya nanti. Hm, murid beasiswa, ya? Berarti lo pintar dong? Boleh gue tanya sesuatu, Zian?” bisik Zen di telinga Ziana, setelah berhasil menghentikan tawanya saat melihat penderitaan gadis itu akibat ulahnya.

Ziana terbengong. Kemana suara besarnya pria itu pergi? Kenapa sekarang malah berbisik seakan tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.

Apa yang ada dipikiran pria ini sebenarnya? Apakah kewarasannya terganggu akibat kecelakaan super kecil seminggu yang lalu? Apakah itu juga alasan yang membuat tuan muda ini baru menemuinya setelah seminggu berlalu? Apakah pria itu sekarang juga meminta biaya untuk pengobatannya.

Jika jawabannya iya, Ziana bisa mati berdiri. Masalah yang satu belum selesai, sekarang di tambah dengan masalah baru. Apakah ini yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga?

Ditengah kekalutannya, Ziana yang memang ingin segera menyelesaikan masalah ini dengan cepat, langsung menganggukkan kepalanya tanda setuju untuk menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh Zen.

Berharap setelah ini dia dilepaskan dan si tuan muda tidak akan mempermainkannya lagi. 

“Zian… lo tau arti I love you, nggak?”

“HAH?”

Hanya itu reaksi yang bisa Ziana berikan atas pertanyaan bodoh yang diajukan oleh Zen. Rumput hijau yang tadinya sangat menarik bagi bagi gadis itu, kini dipalingkannya sejenak untuk melihat orang semacam apa yang tengah berada di depannya ini.

Pikirnya Zen akan kembali membahas tentang kerusakan mobil mewah yang akan membuat dirinya lemas. Tapi ternyata malah pertanyaan tidak masuk akal ini yang ingin ditanyakan. Apa pria ini tengah mempermainkannya?

 “Ck, bego! Gue nanya serius congek. Kemarin ada cewek yang bilang I love you sama gue. Karna malu gue nggak paham bahasa inggris, akhirnya gue pulang duluan dan ninggalin gebetan gue di bioskop. Gue beralasan ada urusan mendadak.”

Ada batu sebesar kepalan tangan yang terlihat di ujung sepatunya. Sekuat tenaga Ziana menahan diri untuk tidak mengambil batu itu dan melemparkannya ke kepala sang tuan muda. Setiap ucapan yang keluar dari bibir pria pria itu selalu mengandung racun yang siap membunuh siapa saja.

Jika dirinya tidak terlibat hutang, batu berwarna hitam di depannya ini sudah berpindah tempat dan dihiasi bercak merah darah pria itu. Tapi, tidak! Itu akan menjadi petaka baru, jika dirinya berani merealisasikan khayalannya.

Satu kata yang terlintas dipikiran Ziana saat ini, Zen itu... bodoh. Kata umum yang sering digunakan anak muda zaman sekarang untuk menunjukkan rasa cinta atau perasaan pura-pura cinta seperti itu saja Zen tidak tau.

Apakah selama ini Zen hidup di salah satu planet yang sudah tidak diakui keberadaannya? Planet Pluto?

Ziana masih terdiam, saat dilihatnya Zen berdiri sambil membersikan celana abu-abunya, takut ada daun kering atau tanah yang menempel di sana.

Setelah dipastikan semuanya bersih, Zen kembali berbisik saat netra tajam keemasannya melihat Ziana yang kini juga sudah berdiri di depannya. Hanya sebatas pundaknya. Pendek sekali.

“Bodoh! Gue akan minta pihak sekolah menyeleksi ulang siapa yang berhak dan tidak berhak untuk mendapatkan beasiswa di sekolah ini. Karna cewek beasiswa di depan gue yang satu ini sama sekali nggak bisa diandalkan. Ck, bego!” ujar Zen sambil berlalu pergi meninggalkan Ziana menuju ke arah koridor sekolah yang di sambut dengan tepukan ringan dipundak pria itu oleh tiga orang yang sama yang pernah dilihatnya seminggu yang lalu.

Teman-teman tuan muda itu juga bersorak da nada yang berkedip genit saat tatapan mereka bertemu. Sialan!

Kesal, muak, marah sudah menguasai Ziana si tengah siang yang terik ini. Dengan otak yang mendidih, muka merah padam dan alis yang berkerut dalam setelah mendengar kalimat hinaan dari bibir Zen.

Tiba-tiba tanpa di komando bibir Ziana reflek berteriak keras akan sebuah kalimat yang akan membuat pintu neraka di dunia terbuka untuk dirinya.

“AKU MENCINTAIMU… artinya aku mencintaimu,” pekik Ziana kesal.

Hening, semuanya aktivitas di sekitar mereka seakan terhenti setelah mendengar pekikan gadis itu. Wajah putih dengan pipi bulat dan sedikit chubby itu memerah dari leher sampai ke telinganya.

Astaga, apa yang baru saja dilakukannya? Bodoh! Pekik Ziana dalam hati merutuki tindakan gilanya.

Saat tengah sibuk merutuki kebodohannya, Ziana tidak menyadari ternyata Zen kembali berjalan ke arahnya dan sekarang sudah tepat berada di depan tubuh pendeknya.

Tangan dengan jari-jari panjang milik Zen mulai menyentuh rambut ikal menjuntai milik Ziana yang keluar dari dalam ikatan rambut berbentuk pita berwarna merah muda itu di atas kepalanya.

Merasakan ada sentuhan pada rambutnya, tentu saja si pemilik tubuh tersentak kaget. Dan yang lebih membuat Ziana melongo adalah satu kalimat tidak masuk akal, yang baru saja keluar dari bibir sang tuan muda. Astaga, pria itu pikir mereka sedang melakukan drama romantis? Ini gila!

“What…? Do you love me, Zian? And you wanna be my girlfriend? You fell in love with me at first sight? Yes, naturally. It’s hard to ignore me. But. I don’t like you. So, what should I do.. short girl? Hm, let’s make a deal. Starting today, we are dating. But, it’s not free. You have to pay by being my personal assistant, indefinitely.”

Aksen Inggris yang sangat kental menyeruak tajam ditelinga Ziana. A...Apa itu barusan? Rasanya Ziana baru saja berhadapan dengan seorang bule. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, kalimat itu keluar dari bibir tuan muda yang katanya tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Sadarlah Ziana akan semuanya. Lagi-lagi dirinya dipermainkan. Sialan! 

Lagi pula, bagaimana mungkin otaknya tidak berpikir jernih. Tidak mungkin bukan, seorang keturunan kaya raya seperti Zen tidak menguasai bahasa asing yang akan digunakan untuk berkomunikasi dengan setiap orang dari seluruh penjuru dunia itu?

Ck, bahkan mungkin sebelum dirinya pandai berbicara bahasa bayi dengan fasih, si tuan muda Zen sudah menguasai dua bahasa internasional.

“Kamu bisa bahasa Inggris? EH? A..PA? Aku tidak...”

“Dilarang protes. Dosa ngelawan pacar sendiri. Bye, sayang. Sampai ketemu lagi… pendek,” ucap Zen berlalu dengan santai, tanpa memperhatikan wajah merah dan mata melotot Ziana yang terbilang cukup angker.

Makian dan segala macam umpatan dengan nama hewan yang ada di kebun binatang hanya bisa sampai di ujung lidahnya saja. Karena Ziana tidak seberani itu untuk melawan Zen, dia masih belum bisa melepaskan banyang-bayang Bentley Bacalar yang di tabraknya dari belakang seminggu yang lalu.

Sebenarnya tidak hanya itu yang membuat Ziana terdiam kaku layaknya patung.

Faktor utama diamnya detik ini adalah pekikan protes dan tidak terima dari murid perempuan di sekitarnya, karena sebelum pergi… Zen sempat mencuri cium ringan di pipinya yang suci.

Ada debar samar yang mulai menyusup perlahan dihati salah satu antara mereka berdua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status