Brengsek! Dalam perspektif kalian, brengsek itu apa, sih? Jerk, devil, demon atau bajingan? Jika kalian bertanya kepada Ziana, apa itu brengsek? Maka, jawaban pertama yang terlintas di pikirannya hanya satu. Brengsek itu... Zen! Titik! Pria menyebalkan yang selalu berhasil membuat otaknya menggelegak panas hanya karena mendengar suara atau melihat wajah berandalnya. Memuakkan. Bagaimana tidak, pria yang dijuluki most wanted di SMA Garuda itu selalu membuat Ziana, seorang gadis yang menderita generalized anxiety disorder atau yang lebih dikenal dengan gangguan kecemasan akut itu selalu keluar dari zona nyamannya. Zen bahkan tidak akan pernah puas, sebelum benar-benar berhasil membuatnya kesal. Pokoknya bagi Ziana... pria yang bernama lengkap Zen Kusuma Diningrat itu adalah perwujudan nyata dari kata brengsek itu sendiri. Saran Ziana, jika ingin bersekolah dengan aman dan nyaman di SMA Garuda, kuncinya hanya satu. Jauhi Zen beserta kacungnya. Zen Kusuma Diningrat... Seorang pria keturunan bangsawan berdarah biru yang memiliki mata tajam cokelat keemasan dengan segala sikap arogansinya. Ingat pesan Ziana... jauhi Zen!
Lihat lebih banyakHari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagi seorang gadis kecil, bermata sipit dengan rambut ikal yang menggantung indah dipundaknya itu. Ya, gadis itu sedang kesal. Sangat!
Rambut berwarna hitam sekelam malam yang dikuncir kuda itu pun terus bergoyang ke sana kemari mengikuti ritme yang dibuat oleh tuannya.
Karena Ziana, sang pemilik tubuh mungil tersebut terus mondar-mandir tidak jelas di dalam kelasnya yang kini sudah mulai ramai, karena sebentar lagi bel akan berbunyi dengan nyaring seantero sekolah.
Ziana terus berdecak sebal. Bahkan lesung pipi yang biasa menghiasi wajah manisnya, belum terlihat sejak tadi. Gadis yang tengah menempuh jenjang pendidikan di kelas X1. MIPA1 di SMA Garuda itu terus menggerutu. Bahkan sejak dirinya bangun tadi pagi.
“Hari Senin lagi. Menjengkelkan!” gerutu Ziana yang entah untuk ke berapa kalinya sejak menginjakkan kaki diparkiran sekolah beberapa menit yang lalu. Hari ini merupakan hari yang selalu ingin Ziana hindari dalam hidupnya.
Hari yang akan menjadi saksi betapa sengsara hidupnya di SMA Garuda, tempatnya menuntut ilmu. Setiap kali mengingat ini adalah hari Senin, helaan napas panjang yang menguar panas dari mulutnya tidak dapat dihindarinya di cuaca yang cukup dingin pagi hari ini.
Sebenarnya ketika duduk di bangku SD dan SMP, hari Senin tidak pernah menjadi hari yang paling menakutkan bagi seorang Ziana Putri Prameshwari. Semua hari biasa saja baginya. Tidak ada yang istimewa. Akan tetapi semuanya berubah, tepat pada saat dia memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu bangku SMA.
Ya, semuanya berawal dari sana. Sejak dia melakukan kesalahan pada hari pertamanya di sekolah ini. Kejadian naas itu terjadi pada hari Senin saat sepeda motor Scoopy CBS-ISS keluaran tahun 2018 miliknya tidak sengaja menyerempet sekilas mobil mewah Bentley Mulliner Bacalar keluaran terbaru milik pria yang kini dipanggilnya dengan sebutan tuan muda.
Mobil mewah asal Inggris yang masuk ke dalam kategori barchetta, yakni mobil tanpa atap yang katanya hanya di produksi dua belas unit. Dan, sudah dapat dipastikan orang mampu membeli mobil ini untuk sekelas siswa SMA adalah seorang anak Milyarder yang hartanya pasti melimpah ruah.
Walaupun ekonomi keluarga Ziana hanya berada digolongan menengah, dirinya tau dengan sangat, berapa harga mobil mewah yang di tabrak dengan tidak manusiawi oleh motor Scoopy putih kesayangannya.
Tidak main-main, harga yang ditawarkan untuk satu unit Bentley Mulliner Bacalar bisa mencapai lebih $2 juta atau setara dengan 33,3 Milyar rupiah. Harga yang sangat fantastis hanya untuk satu unit mobil.
Bahkan jika dibandingkan, Bentley Mulliner Bacalar milik sang tuan muda dengan ratusan Scoopy putih miliknya hal itu juga tidak akan ada artinya.
Memikirkan itu saja sudah membuat Ziana ingin menangis histeris. Dia hanya berharap tidak akan kehabisan ogsigen pada saat menghadapi kemurkaan sang pemilik mobil. God, help me!
Yap, kalian benar… dari sanalah petaka Ziana dimulai.
Ziana masih ingat dengan jelas, bagaimana merah padamnya wajah mahkluk tinggi besar layaknya titan itu kepadanya pada hari itu. Tidak hanya mengumpat, kata-kata kasar yang tidak pernah disaring terlebih dahulu juga terus keluar dari bibir si tuan muda.
Bahkan pria yang kini Ziana ketahui bernama Zen Kusuma Diningrat itu tidak peduli saat dirinya sudah mulai menangis dan hampir kehilangan napas karena rasa cemas berlebihan yang dideritanya sejak kecil.
Beruntung, sebelum Ziana benar-benar hampir pingsan kehabisan napas, tuan muda berdarah biru itu menghentikan caciannya. Entah karena kasihan melihatnya yang seperti ikan koi yang baru saja dilempar ke tanah atau karena lelah terus mengomel.
Yang pasti pada saat itu Ziana sudah tidak peduli lagi, karena mengatur laju pernapasannya jauh lebih penting daripada memikirkan hal lain.
Tidak hanya sampai di sana, ternyata masih ada kalimat menakutkan lainnya yang diucapkan oleh pria itu. Kalimat yang akan lebih membuat Ziana merinding ngeri daripada sekedar bentakan kasar tadi.
“Siapa nama lo?” Tuan muda itu berjongkok duduk menyelarasikan tubuhnya di depan Ziana yang sudah terduduk jatuh sejak pertama kali diteriaki oleh Zen.
Gadis yang masih terisak pelan itu bergerak menjauh kebelakang. Terlalu dekat pikirnya. Bahkan deru napas memburu milik pria itu dapat dirasakannya menggelitik tipis leher sawo matang miliknya yang memang tengah memakai seragam olahraga hari ini. Karena setiap siswa dan siswi baru diwajibkan memakai baju olahraga selama masa orientasi siswa atau selama selama masa penyiksaan berlangsung.
“Selain ceroboh, cengeng dan punya penyakit asma, lo juga bisu, ya?” desis pria itu kesal melihat tingkah Ziana yang masih terlihat seperti kehilangan orientasinya.
“N…na...nama aku Zian...”
“Ok, Zian. Nama lo cowok banget, ya? Nggak cocok sama sekali sama tampang lo yang lembek. Tapi, masa bodoh. Bukan urusan gue juga. Ok, Zian... Karna lo nggak mampu bayar biaya perbaikan mobil gue. Jadi, mulai sekarang. Tepatnya pada hari Senin. Gue... Zen Kusuma Diningrat bersumpah akan membuat lo menyesal pernah masuk ke sekolah ini. Dan jangan harap lo bisa sekolah dengan damai di sini. Ingat itu baik-baik!”
Ziana gemetar hanya dengan mendengar suara pria itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mengganti perbaikan mobil itu? Jangan bercanda! Bisa bersekolah dan makan dengan baik saja Ziana sudah sangat bersyukur.
Dia tidak akan pernah sanggup membiayai perbaikannya. Tapi, hidup dibawah ancaman dan bayang-bayang pria itu juga bukan pilihan yang baik. Bisa dipastikan, dia akan langsung kehilangan nyawanya dalam waktu singkat.
Bahkan, daripada memperhatikan wajar pria di depannya, Ziana lebih tertarik melihat ke bawah. Tanah yang dihiasi rumput berwarna hijau itu jauh lebih menarik daripada wajah merah mahkluk tinggi besar di depannya ini. Menyeramkan sekali. Sekarang bagaimana? Apa yang harus dilakukannya?
“Ah, satu lagi Zian…”
“Ziana. Nama aku Ziana, bukan Zian,” sambar gadis itu cepat.
Salah pria itu sendiri memotong ucapannya yang belum selesai tadi. Tidak tahukah pria yang bernama Zen itu, jika dia sangat benci dipanggil dengan nama Zian? Kesannya tomboy. Padahal aslinya tidak. Tidak ada kesan seperti itu dalam dirinya. Dan Ziana tidak menyukai apa yang tidak sesuai dengan dirinya, baik itu dari segi apapun. Termasuk pria kaya yang ada di depannya saat ini. Dia sangat tidak menyukainya titik!
“Wow.. lo udah berani protes sama gue, Zian?” kekeh Zen tajam.
Matanya ikut melotot tajam mencari mata Ziana yang terus berusaha menghindari tatapannya dan terus menatap ke bawah sejak tadi. Apakah itu berarti wajah tampan miliknya sudah tidak menarik lagi? Shit! Tidak mungkin batin Zen.
“Kenapa diam?” tanya Zen cepat.
“Maaf, Zem...”
“A…APA? Coba ulang sekali lagi! Zem lo bilang, HA? Nama gue Zen... Zen Kusuma Diningrat salah satu keturunan bangsawan berdarah biru. Dan lo... Zian! Jangan seenaknya ganti nama gue! Paham lo?”
“I...iya. Maaf Zen,” cicit Ziana lirih.
“Bagus! Sekarang lo selamat karna gue masih ada urusan. Tapi lo jangan khawatir, gue akan ngunjungin lo lagi nanti. Jadi siapkan uang atau apa pun bayaran yang sesuai sama kerusakan mobil gue. Paham lo? ” ujar Zen dengan raut puas setelah melihat wajah pucat gadis di depannya sebelum kemudian melangkah menjauhi gadis itu. Sangat menghibur pikirnya.
Mata Ziana tidak berhenti mengikuti langkah tegap Zen yang kini berjalan menghampiri beberapa siswa di koridor sekolah. Mereka semua memakai baju putih abu-abu sama seperti Zen. Bukan baju olahraga sepertinya.
Seketika Ziana tersentak kaget. Dirinya baru sadar akan sesuatu. Apakah dia baru saja membuat masalah dengan kakak senior? Jika iya. Tamatlah riwayatnya.
Ziana ketakutan, sangat! Jika masalah ini di bawa ke jalur hukum, dia tidak tau siapa yang akan berada dipihaknya. Dia merasa sendirian. Meskipun terkadang ditampar kenyataan, jika dirinya masih berbagi atap yang sama dengan dua orang yang dipanggilnya dengan ayah dan ibu.
Banyak yang bilang ilalang akan tumbuh subur di padang rumput, tapi kenapa kali ini berbeda? Ilalang itu tumbuh meliar di padang pasir, sendirian, sebatang kara… melawan terik matahari yang membakar badannya setiap detik. Sampai pada masanya, si ilalang akan layu, kering dan mati seorang diri tanpa dipedulikan oleh oleh siapapun. Ilalang kecil tak berdaya itu Ziana. Gadis manis yang dipaksa mengerti, tanpa dimengerti.
Satu harapan gadis itu hari ini... Zen Kusuma Diningrat, pria kaya kerturunan bangsawan berdarah biru itu tidak datang mencarinya ke kelas, sama seperti hari sebelumya. Karena mereka belum bertemu lagi sejak kejadiaan naas itu terjadi.
"Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen
Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs
"Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu
Tring... Tring... Tring... Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini. Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing. Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a
Pagi ini cuaca bersinar terang. Nyanyian burung di pagi hari membuat bumi seakan bergembira menyambut sang surya. Namun tidak untuk gadis bermata sipit dengan rambut ikal menggantung itu. Ia tidak terlihat begitu semangat di pagi ini. Alasannya masih berpendar pada laki-laki berandalan yang sudah tidak pernah ditemuinya lagi dua hari belakangan. Ziana memutuskan untuk menjauh dari sisi pria itu. Ia takut kehadirannya dihadapan Zen akan membuat masalah baru yang pastinya hanya akan membuatnya ikut malu. Terlebih setelah kalimat menyakitkan yang pernah terlontar dari bibir merah itu. Ziana ragu ia akan tetap bertahan setelah kata penuh penghinaan itu meluncur dengan bebas. Ia sakit hati. Akan tetapi tidak jauh lebih sakit saat Zen pada akhirnya juga memilih untuk menjauh darinya. Tanpa berniat untuk meminta maaf, apalagi menjelaskan kejadian hari itu. Malahan hari demi hari Zen juga semakin dekat dengan gadis berhidung mancung bernama Aura itu. Zian
Ziana akhirnya berseru lega saat dilihatnya sosok Jeffry di depannya, bukan lagi anak-anak nakal menyebalkan tadi. Yang walaupun sudah membubarkan diri tetap saja menonton gerak-geriknya. Terutama Zen yang masih setia duduk di tempatnya tanpa berniat menolongnya sama sekali. Jika saja Jeffry tidak menolongnya dengan cepat, bisa saja saat ini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah alias pingsan. “Aku… mau ngasih ini sama Zen,” Ziana menunjukkan kotak bekal yang tadi disembunyikannya dibelakang tubuhnya ke depan wajah Jeffry yang membuat pria itu terkekeh gemas. Kenapa juga Ziana memperlihatkan apa yang dibawanya tepat di depan wajahnya. Bahkan hampir menyentuh hidung mancungnya. Dengan sisa kekehan yang masih bertahan di bibirnya, Jeff sedikit menjauhkan kotak bekal imut itu dari hidungnya. Melihat hal itu Ziana dengan cepat menarik kotak itu dan menjauhkannya dari wajah Jeff agar tidak menyakiti pria baik itu nanti. “Maaf,” “Zen ada Ziana nih, ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen