Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.
“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”
Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil.
“Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”
Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup.
Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah derita yang ia rasakan.
Air mata yang sudah berusaha ia tahan, akhirnya jatuh juga, mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Ia terjatuh di sofa, terisak tanpa suara.
Hatinya begitu hancur, seperti ada bagian dari dirinya yang patah dan tak bisa disambung kembali.
Daisy, anak yang begitu ia cintai, pergi terlalu cepat, tanpa kesempatan untuk dibela, tanpa kesempatan untuk merasakan kasih sayang ibunya lebih lama.
Anaknya, buah hatinya, satu-satunya alasan ia bertahan hidup, sudah hilang dalam kecelakaan yang tak bisa ia hindari.
Dan sekarang, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa bukan hanya Aiden yang tidak peduli, tetapi bahkan keluarga suaminya pun merasa ia tak pantas ada di dunia ini.
Semua pengorbanan, semua cinta yang ia berikan, ternyata tidak ada artinya. Semuanya sia-sia.
Ia memandang foto Daisy yang ada di meja dekatnya, wajah kecil yang tampak begitu ceria.
Hati Primrose terasa begitu nyeri. Semua yang ia miliki kini hanya kenangan. Namun, ia tak yakin kenangan itu bisa menghidupkannya.
Primrose merasakan kesendirian yang menyesakkan. Dunia terasa gelap, tanpa cahaya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua pintu seolah tertutup rapat.
Tanpa anak, tanpa suami, tanpa dukungan dari siapa pun. Ia merasa seolah terombang-ambing dalam lautan kesepian, tak tahu ke mana harus berenang.
**
Sepasang mata Primrose terpaku pada layar ponsel yang masih menyala.
Ia baru saja melihat unggahan Celine di media sosial—sebuah foto yang tampaknya diambil dengan sengaja untuk menunjukkan kebahagiaan yang ingin mereka tunjukkan kepada dunia.
Foto itu tidak memperlihatkan wajah, namun Primrose bisa mengenali sosok yang ada di dalamnya.
Seorang bocah laki-laki yang terlelap dalam dekapan seorang pria. Di bawah foto itu, Celine menuliskan keterangan dengan bangga: ‘Dua hal terbaik yang diberikan hidup kepadaku. Love you.’
Rasa sakit yang luar biasa menyusup ke dalam dada Primrose. Hatinya hancur, seolah terinjak-injak di bawah kaki.
Ia telah berduka seorang diri, memendam kesedihannya dalam sunyi, sementara Aiden—suaminya—bahagia dengan wanita lain, dengan anak yang lebih dia harapkan.
Dengan perasaan yang hampa, Primrose akhirnya memutuskan untuk menghubungi Aiden.
Satu panggilan, dua panggilan, tiga panggilan—semuanya nihil. Tidak ada jawaban dari Aiden.
Primrose merasa seperti terperosok ke jurang yang dalam. Ia merasa diperlakukan seperti orang yang tidak berarti—bahkan telepon pun diabaikan.
Namun, ia tidak bisa hanya berdiam diri dan terus dihancurkan oleh sikap Aiden. Ia harus bertemu dengannya.
Primrose akhirnya keluar dari rumah, menuju tempat yang sudah ia kenali dengan baik—rumah Celine.
Perasaan cemas dan marah bercampur aduk di dalam dada, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kejelasan.
Sesampainya di depan pintu rumah Celine, Primrose berdiri sejenak, menenangkan napas. Ia menekan bel pintu dengan tangan yang terasa kebas.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Celine muncul dengan senyum tipis, seolah sudah menantikan kedatangan Primrose.
Namun, sebelum Celine sempat mengatakan apa-apa, Aiden muncul dari dalam rumah. Matanya terbelalak saat melihat Primrose berdiri di depan pintu.
“Primrose…” Aiden berkata pelan, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik sikap dinginnya.
Primrose menatapnya tajam. “Aku ingin bicara denganmu, Aiden.”
Aiden berdiri diam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Celine yang berdiri di sampingnya. Celine menatap Primrose dengan tatapan sinis, jelas terlihat bahwa ia tidak senang dengan maksud kedatangan Primrose.
Aiden menghela napas. “Kita bisa bicara nanti, tidak di sini.”
Primrose tetap berdiri tegak, berusaha mengontrol suara yang hampir saja pecah.
“Tidak, aku ingin bicara sekarang,” katanya. Ia menatap Aiden lurus-lurus. “Aku ingin bercerai,” lanjutnya, suaranya lebih tegas dari yang ia kira.
Tidak hanya Aiden, Celine yang berdiri di sampingnya pun terkejut.
“Apa? Bercerai?” Aiden mengulang kata itu dengan nada yang hampir terdengar tak percaya.
Primrose mengangguk, matanya tajam menatap Aiden, berusaha menenangkan diri meski hatinya bergejolak.
“Ya. Mari kita akhiri ini. Bukankah ini yang kau nantikan?”
Tiba-tiba, Aiden mendekat. Wajahnya berubah, dari kebingungan menjadi kemarahan yang tercetak jelas.
Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tangan Primrose dan membawanya keluar rumah, mengabaikan Celine yang memanggilnya dengan suara cemas.
“Aiden, apa yang kau lakukan?” Primrose berusaha melepaskan tangannya, tetapi Aiden tetap menggenggamnya erat. “Lepaskan aku!”
Mereka keluar dari rumah Celine, dan Aiden menghentikan langkahnya begitu mereka berada di halaman.
“Apa kau sudah gila?!” sentak Aiden tajam, napasnya sedikit memburu. “Setelah enam tahun, sekarang kau tiba-tiba ingin bercerai?”
Primrose menelan ludah.
Enam tahun … sudah enam tahun ia bertahan karena dibutakan oleh rasa cintanya pada pria ini. Tapi kini, Primrose tak ingin dibodohi lagi.
“Aku tidak bisa terus seperti ini, Aiden. Aku tidak ingin hidup seperti ini lagi.”
Aiden terdiam sejenak, lalu tertawa pelan, namun ada kepahitan dalam tawanya.
“Kau sudah menjebakku ke dalam pernikahan ini, dan sekarang kau ingin pergi begitu saja? Kau pikir aku ini mainan yang bisa kau buang kapanpun kau mau?”
Kata-kata itu menusuk hati Primrose seperti pisau tajam. Ia ingin membalas, mengatakan bahwa Aidenlah yang membuat hidupnya menderita, yang membuatnya merasa tidak berharga selama ini.
Tapi saat matanya menatap Aiden, ia menyadari satu hal—Aiden tidak akan pernah mau mendengarkan.
Baginya, semua adalah salah Primrose.
Aiden melangkah maju, wajahnya semakin serius. “Kau yang membuat hidupku berantakan, Primrose!”
“Aku—”
“Setelah menghasut Kakekku dan mendapatkan banyak keuntungan, sekarang kau ingin kabur? Kenapa? Kau sudah tidak punya alat untuk menarik belas kasihan lagi?”
Primrose membeku. Alat untuk menarik belas kasihan?
“Alat? Apa maksudmu, Aiden?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Ya, alat! Kau menggunakan Daisy untuk bisa bertahan di rumah ini, bukan?”
Primrose nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Bagaimana bisa Aiden memiliki prasangka buruk seperti itu?
Tidak pernah terlintas sekali pun dalam benak Primrose untuk menjadikan anaknya sebagai alat untuk tujuan tertentu. Primrose menyayanginya dengan tulus.
“Aku akan menjeratmu dalam pernikahan ini. Kau tidak akan pergi ke manapun,” kata Aiden dengan nada mendesis. “Itu hukuman untukmu.”
Primrose menatap pria itu nanar. “Aiden—”
Tapi Aiden langsung berbalik.
Tanpa kata-kata, tanpa penyesalan, ia pergi meninggalkan Primrose sendirian di halaman.
Primrose berdiri terpaku di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya terasa kosong, dan tubuhnya seolah tidak mampu bergerak.
Aiden tidak pernah peduli. Ia adalah orang yang hanya peduli pada dirinya sendiri, dan kini, dia akan mengurung Primrose dalam pernikahan yang semakin terasa seperti neraka.[]
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Primrose tenggelam dalam lamunan. Mendengar Aiden pergi ke pameran pernikahan bersama Celine membuat hati wanita itu seolah teriris. Padahal itu bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, Aiden selalu menempatkan Celine dan Kenzie sebagai prioritas utama. Sangat berbanding terbalik dengan Primrose dan Daisy. Tapi tetap saja, hal itu ternyata masih menyakiti perasaan Primrose.Dulu, dengannya, bahkan tidak ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Aiden tidak pernah bertanya pendapatnya mengenai pernikahan mereka. Semuanya dilakukan serba tiba-tiba dan seadanya. Akan tetapi, dengan Celine, semuanya seperti direncanakan dengan matang. Aiden bahkan mengajak Celine untuk pergi melihat pameran di tengah kesibukannya.“Sudahlah … apa yang kuharapkan? Tidak ada gunanya memikirkan mereka,” gumamnya sedih.Wanita cantik itu lantas turun dari taksi begitu sudah sampai di pelataran gedung. Dengan sedikit repot, ia memeluk bahan-bahan yang dibelinya dan na
Primrose keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Keputusan perusahaan untuk tetap bekerja sama dengan Kings Hotel membuat perasaannya campur aduk. Primrose tahu, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Bagaimanapun, mereka sudah terlanjur kesal dengan pihak hotel yang terkesan mempermainkan mereka. Hanya saja, itu adalah tempat yang paling cocok dengan konsep yang sudah disusun. Ditambah lagi, semua persiapan sudah hampir rampung.“Hah … menyebalkan sekali!” gerutu Wendy di sebelahnya. “Kita jadi harus bolak-balik merapikan venue gara-gara pihak hotel yang labil!”Primrose tersenyum kecut. “Paling tidak, itu masih lebih baik daripada pindah tempat,” katanya.Wendy mengerucutkan bibir. “Tapi bagaimana dengan Hartington Hotel? Bukankah itu hotel milik kenalanmu yang kapan hari kita tidak sengaja bertemu?”“Dari mana kau tahu?” tanya Primrose balik.“Gosip menyebar dengan cepat di tempat ini, kau tahu?”Primrose tersenyum miris. “Benar juga,” katanya. “Kurasa Hartington ba
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”