Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!

Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!

last updateLast Updated : 2025-04-27
By:  SolanaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
32Chapters
1.0Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Bagi Primrose, pernikahan tak ubahnya penjara tanpa cinta. Aiden—suami yang tidak pernah menginginkannya, selalu memandangnya sebagai wanita licik yang hanya mengincar harta keluarganya. Satu-satunya cahaya dalam hidup Primrose adalah putri kecil mereka, Daisy—hingga kematian gadis kecil itu menghancurkan segalanya. Tidak hanya itu, Primrose dituduh sebagai penyebab kematian anaknya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dan dikelilingi orang-orang yang menginginkannya hancur, Primrose harus menemukan cara untuk bertahan… atau membalas semua luka yang telah mereka berikan padanya!

View More

Chapter 1

Bab 1. Kehilangan Buah Hati

Primrose duduk di ruang tamu seorang diri. 

Kesunyian yang melingkupi rumah besar itu terasa membekukan. Tidak ada lagi suara tawa atau celotehan ringan sang putri yang biasanya membuat rumah itu terasa hangat. 

Ditatapnya nanar bingkai foto mendiang Daisy yang cemberut saat pertama kali masuk TK.

Kala itu, suaminya tak hadir, sehingga Primrose terpaksa berbohong dan mengatakan pada putrinya jika sang ayah harus menyelamatkan banyak nyawa di perusahaannya.

“Mama, Papa tidak suka Daisy, ya?” tanya Daisy saat itu. Wajahnya tampak sedih, bahkan hampir menangis. Semua murid didampingi oleh ayah dan ibu mereka, kecuali Daisy. 

Sepasang matanya yang polos menatap seorang anak seumuran dirinya yang digendong dan tertawa bersama sang ayah.

Hati Primrose mencelos mendengar pertanyaan itu. 

“Bukan begitu, Sayang. Papa hanya sedang sibuk. Daisy tahu kan, Papa bekerja keras untuk kita?” 

“Jadi kapan Papa tidak sibuk, Mama? Daisy mau main sama Papa.”

Senyum getir terbit di wajah Primrose. “Sabar ya, Nak. Nanti Papa pasti ajak Daisy bermain kalau sudah tidak sibuk di kantor,” katanya sambil mengusap puncak kepala anaknya dengan lembut.

“Sungguh?” Mata gadis cilik itu berbinar penuh harapan.

Sekali lagi, Primrose memaksakan senyum dan melontarkan janji palsu yang tak akan pernah terwujud.

“Daisy… maafin Mama….” 

Tangis Primrose akhirnya pecah. Dadanya terasa sesak mengingat putrinya selalu percaya pada kebohongannya tentang Aiden.

Bahwa ayahnya itu sayang padanya. Bahwa ayahnya peduli padanya. Hanya saja, ia tak bisa selalu hadir di sisi Daisy karena kesibukannya.

Primrose tertawa getir. Sungguh, dosanya terlalu besar. 

Ia menatap tangan kurusnya yang gemetar, tangan yang digenggam Daisy di detik-detik terakhirnya. 

Beberapa hari yang lalu, putrinya mengalami kecelakaan di depan sekolah tepat saat Primrose hendak menjemputnya. Namun, setelah dibawa ke rumah sakit, nyawa Daisy tidak terselamatkan. Kondisinya sudah sangat rentan karena penyakit jantung bawaan yang diderita putrinya sejak lahir, dan kecelakaan itu menimbulkan cedera yang fatal.

Primrose ingat, dalam kondisi kritis sekalipun, gadis kecil itu masih sempat memikirkan ayahnya.

“Mama… Papa masih sibuk, ya?” 

“Mama… Daisy mau peluk Papa… sekali aja….”

“Mama… bilang pada Papa kalau Daisy sayang Papa dan Mama….”

Primrose tergugu sambil memukul dadanya yang terasa sesak hingga napasnya tersendat. 

Bahkan sampai kematiannya, ia masih berbohong tentang Aiden pada putrinya.

Primrose tidak tega menyakiti anaknya dengan kenyataan pahit bahwa Aiden tidak hadir karena memilih bersama anak dari cinta pertamanya.

Keluarga Aiden? Jangan tanyakan! Mertua dan iparnya sama sekali tidak peduli dan malah menyuruh Primrose sadar diri.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka. Primrose menegakkan kepala dan mengusap air matanya, sedikit berharap, meski ia tahu itu hanya harapan kosong. 

Aiden datang untuk menenangkannya? Mustahil. 

Yang datang hanya Celine Fillmore, dengan senyum lebar dan langkah penuh percaya diri.

“Prims, kau baik-baik saja?” 

Celine berbicara dengan nada yang terdengar lebih seperti ejekan daripada perhatian. Ia mengenakan gaun yang membalut tubuhnya dengan sempurna.

Celine tahu persis bagaimana cara mempertahankan statusnya di mata keluarga Aiden, dan kini, ia tampil lebih percaya diri.

“Di mana Aiden?” Primrose bertanya dengan suara serak, mencoba tetap tenang meski getaran dalam suaranya tak bisa disembunyikan.

Celine terkikik kecil, duduk di seberang Primrose dengan sikap yang begitu santai, seolah ia tengah berada di rumah sendiri.

“Oh, Prims Sayang, rupanya kau menunggu Aiden?” 

Primrose mengabaikan keramahan palsu itu. 

“Aiden sedang di rumah,” katanya. “Maksudku, rumah kami,” Celine menekankan kata terakhir dengan sengaja. 

“Dia lebih memilih menemani aku dan anak kami. Maafkan aku, aku tahu ini pasti berat untukmu. Tapi, aku rasa Aiden memang harus fokus pada keluarga kecil kami sekarang.”

Primrose merasa seolah ada pisau yang ditancapkan ke dalam hatinya.

“Jadi, itu yang kau harapkan? Aiden memilihmu dan meninggalkan aku begitu saja?” Primrose berdiri, menatap Celine dengan tatapan tajam yang penuh amarah. “Kau merasa ini adalah kemenanganmu?”

Celine hanya tersenyum, seolah kemenangan yang dimaksud tidak lebih dari sekadar permainan.

“Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, Prims. Sejak awal, Aiden hanya mencintaiku, dan sekarang dia memilih aku. Kau hanya seorang penghalang. Tidak lebih.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Celine semakin mengeratkan rasa sakit di dada. Primrose berusaha mengatur napas, menahan desakan air mata yang ingin kembali keluar. 

Tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Tidak di depan Celine. Tidak di depan orang-orang yang sudah menganggapnya sebagai orang tak berguna.

“Aku bukan penghalang. Aku adalah istri sahnya, Celine.” Primrose berkata dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya hampir hancur.

Celine kembali tertawa, mengedikkan bahunya dengan santai. “Istri sah? Lihatlah dirimu, Prims,” katanya sambil mengarahkan pandangan pada penampilan Primrose yang jauh dari kata layak.

“Aiden sudah membuat pilihan. Dan kau tidak termasuk di dalamnya. Sekali pun tidak pernah.”

Primrose merasa marah, sangat marah. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ingin menghancurkan semuanya.

Namun, ia bahkan tidak mampu membalas ucapan wanita di hadapannya itu. 

Celine berdiri dan menghampiri Primrose dengan langkah gemulai. 

“Kalau kau berencana melakukan sesuatu,” katanya sambil mengusap rambut Primrose dengan lembut. “Sebaiknya simpan tenagamu. Kau tak perlu repot-repot. Kita berdua tahu siapa pemenangnya sejak awal.”

**

Malam itu, Aiden akhirnya kembali setelah seminggu menghilang tanpa kabar. 

Primrose sedang duduk di tepi ranjang saat pria itu masuk ke dalam kamar. Ia seolah tidak melihat Primrose, ia hanya melewatinya begitu saja, dan berjalan menuju lemari pakaian mereka. 

Seperti tidak ada yang berubah. Seperti tidak ada tragedi yang baru saja menimpa keluarga mereka. Seperti tidak ada kehilangan besar yang terjadi.

“Aku cuma mau ambil beberapa pakaian,” kata Aiden dengan suara datar. “Aku akan pergi ke rumah Celine setelah ini.”

Primrose merasa darahnya mendidih mendengar nama Celine disebut. Itulah wanita yang selama ini merebut perhatian suaminya, wanita yang membuatnya merasa terbuang dan tidak dihargai. 

“Jadi, kau kembali hanya untuk itu?” Primrose berkata dengan suara bergetar, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Hanya untuk mengambil pakaianmu dan pergi ke rumah Celine—oh, rumah kalian?”

Aiden berhenti sejenak, menoleh ke arah Primrose dengan ekspresi bingung. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya.

Primrose bangkit dari tempat duduknya, tangannya gemetar karena marah. “Masalah? Apa kau tidak tahu apa yang terjadi, Aiden?!” suaranya semakin tinggi, hampir tak terkendali. “Daisy sudah meninggal! Anakmu! Anakku!”

Aiden membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang didengar. “Apa maksudmu, Prims?” tanyanya, tampak terkejut.

Primrose nyaris tak bisa menahan air matanya. “Dia meninggal karena kecelakaan, Aiden! Tapi kau... kau tidak ada! Kau bahkan tidak datang ke pemakamannya! Kau hanya sibuk dengan Celine!” suaranya pecah, amarahnya begitu meledak hingga mengguncang seluruh tubuhnya.

Aiden tampak kehilangan kata-kata. Dia menelan ludah susah payah.

Daisy … meninggal?

Dua kata itu terdengar begitu jauh, begitu asing.

Namun, Aiden hanya berdiri diam. Ekspresinya begitu sulit dibaca. Sepasang matanya tampak penuh perhitungan, seolah tengah mencerna informasi yang baru saja ia dengar.  

“Apa kau tahu apa yang dikatakan Daisy di saat terakhirnya?” Suara Primrose terdengar parau. “Meski kau tidak pernah menganggapnya ada, dia bilang dia sayang padamu. Dia ingin sekali saja bisa memelukmu. Tapi kau ….”

Aiden masih bergeming.

“Apakah... apakah kau tidak merasa kehilangan sama sekali, Aiden?” Primrose bertanya dengan suara penuh isak, matanya menatap nanar ke arah suaminya. “Anakmu, anak kita … dia sudah tiada. Apa kau tidak merasa apa-apa? Apa kau tidak merasa sedikit pun kesedihan karena dia meninggal—”

“Dia… bukan anakku.”[]

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
32 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status