Primrose tertegun. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar ucapan pria di hadapannya itu.
Aiden menatap Primrose lekat. Semburat sedih yang sekilas mewarnai wajahnya sesaat lalu telah lenyap, menyisakan tatapan tajam dan ekspresi dingin yang membuat Primrose membeku.
“Daisy bukan anakku.”
“Apa maksudmu, Aiden?”
Primrose akhirnya menemukan suaranya yang sempat hilang.
“Kau tahu apa maksudku,” sahut Aiden dingin, seolah ia tidak baru saja melukainya dengan tega.
Primrose tahu selama ini Aiden tidak pernah peduli pada Daisy, tapi ia tidak menyangka bahwa pria itu benar-benar tidak menganggap Daisy sebagai anaknya. Darah dagingnya.
“Kau—”
Ucapan Primrose terhenti karena ponsel Aiden berdering. Pria itu segera mengangkatnya.
“Ya?” suara Aiden terdengar dingin dan jauh. “Aku akan segera datang,” lanjutnya.
Primrose merasa seluruh tubuhnya kebas. Hatinya pedih mendengar suara Celine di ujung telepon itu. Celine—wanita yang Aiden prioritaskan di atas segalanya, termasuk anak mereka yang baru saja meninggal.
Aiden menutup telepon dengan satu gerakan cepat. Ia mengalihkan pandangannya ke Primrose, kemudian berkata dengan tenang, “Aku harus pergi. Celine dan Kenzie sedang membutuhkanku.”
Kata-kata itu bagaikan cambuk yang menyayat hati Primrose. Sebuah kehancuran baru yang semakin parah. Sakitnya tak terkira, dan untuk pertama kalinya, Primrose merasa begitu kosong, seakan tak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya selain kebencian yang mendalam terhadap suaminya.
“Aku... aku sudah berjuang begitu keras, Aiden. Aku… aku sangat menyayanginya. Aku berjuang demi Daisy, demi kita... Tapi kau? Kau hanya pergi ke sana, ke tempat wanita itu, seperti semua yang terjadi padaku tidak ada artinya!”
Aiden tetap diam, wajahnya datar, seakan tidak mendengarkan. Tangan Primrose mengepal erat, tubuhnya bergetar karena amarah dan rasa sakit yang menyatu.
“Kau benar-benar keterlaluan. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Hati apa yang kau miliki hingga bisa sekejam ini?”
Ekspresi Aiden tidak berubah. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Prims. Dan kau tahu itu,” katanya, suaranya tajam dan dingin. “Aku tidak pernah meminta untuk dijodohkan denganmu. Kau dan Kakek yang menjebak aku ke dalam pernikahan ini.”
Primrose terdiam, terlalu terkejut dan terluka mendengar kata-kata Aiden.
Aiden menatapnya lama sebelum berkata, “Kalau saja kau tidak datang, mungkin semuanya akan berbeda.”
Primrose merasa dunia seakan runtuh di depannya.
Ia selalu tahu bahwa Aiden tidak pernah mencintainya, tetapi mendengar kata-kata itu secara langsung membuat hatinya terasa seperti diremukkan.
“Jadi, semua yang terjadi ini salahku? Aku yang salah karena kau terpaksa menikahiku atas tuntutan kakekmu?”
Aiden tidak menjawab, hanya menatapnya tanpa ekspresi. Ia mengambil jaketnya dan melangkah menuju pintu, meninggalkan wanita yang telah memberinya segalanya dan kini hancur dalam kesendirian.
**
Hari-hari setelah kepergian Daisy berlalu dengan penuh kesunyian yang mencekam. Tak ada lagi yang memberikan warna dalam hidupnya.
Setiap pagi, Primrose bangun dengan perasaan kosong, hanya bertahan untuk menghadapinya, meskipun tubuhnya terasa lelah dan hatinya hancur.
Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada putrinya—Daisy yang tak akan pernah kembali.
Hari itu, ketika Primrose sedang duduk di ruang tamu, matanya kosong memandang keluar jendela, lalu ia mendengar pintu rumah terbuka.
Primrose menoleh dan melihat sosok ibu mertuanya.
Amber berdiri di ambang pintu dengan wajah yang datar, matanya menyipit menilai Primrose yang tampak kurus dan kusut.
“Prims,” kata Amber dengan nada mencibir. “Ya ampun, kenapa kau masih terlihat begitu? Belum bisa bangkit setelah kepergian Daisy? Bukankah anak itu sudah lama tak berarti bagi Aiden? Setidaknya kau bisa lebih tegar.”
Primrose menatapnya dengan tatapan hampa, tubuhnya terasa semakin lemah mendengar kata-kata ibu mertuanya.
Setiap kata Amber adalah sembilu yang menambah luka di hatinya.
Bagaimana bisa seorang ibu, yang seharusnya memberikan dukungan, malah berkata seperti itu?
“Kepergian Daisy bukan alasan untuk terus-terusan terpuruk seperti ini, Primrose,” lanjut Amber tanpa empati. “Aiden sudah melanjutkan hidupnya. Dia sudah memilih Celine dan Kenzie, artinya mereka lebih penting daripada kau dan Daisy. Kau harus sadar, kau tidak punya apa-apa yang bisa membuat Aiden peduli.”
Primrose mencoba mengontrol napasnya, meskipun hatinya ingin meledak. “Apa yang Ibu inginkan dariku?” Suaranya parau, seperti tertahan di tenggorokan. “Ibu ingin melihatku lebih menderita?”
Amber terkekeh, seolah apa yang Primrose rasakan adalah hal yang tidak penting. “Kau hanya bisa menyalahkan dirimu sendiri, Prims,” katanya dengan nada tajam. “Siapa yang menyuruhmu menjadi istri Aiden? Siapa yang menyuruhmu menikah dengan anakku, yang sudah jelas lebih memilih wanita dari keluarga terpandang seperti Celine? Kau hanya seorang anak yatim piatu yang berasal dari panti asuhan, sedangkan Celine... dia datang dari keluarga yang terhormat. Sudah jelas siapa yang lebih pantas untuk Aiden.”
Setiap kata yang keluar dari mulut Amber membuat dada Primrose terasa sesak. Celine selalu menjadi ukuran segala sesuatu yang diinginkan ibu mertuanya.
Amber selalu membandingkannya dengan Celine, selalu menghina latar belakangnya, dan menganggap dirinya lebih rendah dibandingkan wanita itu.
Bahkan setelah semua yang terjadi, Amber masih saja tidak bisa melihat Primrose sebagai manusia yang layak dihormati.
“Apa Ibu belum puas menghinaku? Kenapa Ibu selalu melihat aku lebih rendah dibandingkan Celine? Aku adalah menantu Ibu.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahan air mata. “Ibu bahkan tidak peduli kalau aku baru saja kehilangan anakku.”
Amber mendengus tak habis pikir. “Aku tak pernah menginginkanmu menjadi menantuku,” sahutnya dengan nada jijik. “Kalau bukan karena tua bangka itu mengancam akan mengalihkan warisan ke tangan orang lain, Aiden tak akan pernah menikahimu!”
Primrose terdiam. Dia tahu soal itu. Kakek Aiden—Tuan Anthon Reeves—menjodohkan mereka sebagai syarat untuk Aiden menjadi ahli waris keluarga Reeves.
Itu terdengar absurd bagi semua orang. Primrose hanyalah anak yatim piatu yang mendapat bantuan penuh dari yayasan panti asuhan yang dikelola oleh keluarga Reeves. Bagaimana mungkin, ia menjadi menantu keluarga terhormat itu?
Namun, Tuan Anthon hanya memberi dua pilihan untuk cucu sulungnya itu, menikah dengan Primrose Avery atau warisan akan diturunkan kepada cucu kedua, sepupu Aiden.
Mau tak mau, Aiden memilih opsi pertama, meski saat itu ia diam-diam sudah bertunangan Celine.
“Kalau saja kau tidak pernah ada, dari dulu Aiden dan Celine sudah hidup bahagia bersama. Semua yang terjadi ini karena kau. Kau yang menghalangi jalan mereka, wanita miskin tidak tahu diri!” lanjut Amber emosi.
Hati Primrose terhempas. Kata-kata ibu mertuanya terasa seperti duri yang menusuk dalam-dalam.
Selama ini ia selalu berjuang untuk pernikahannya, untuk anaknya, tetapi semua itu tampaknya tak berarti bagi Aiden maupun Amber.
“Jadi, menurut ibu aku harus menyerah?” Primrose dengan wajah memerah karena marah dan kesakitan. “Aku harus pergi dan membiarkan Aiden dan Celine hidup bahagia, begitu?”
Amber hanya tertawa kecil, hampir seperti mengejek. “Apa lagi yang ingin kau perjuangkan, Prims? Semuanya sudah selesai. Aiden sudah punya hidup baru. Sementara kau? Kau sudah tidak punya apa-apa lagi. Kembalilah ke panti asuhan, kalau perlu. Mungkin di sana kau akan lebih tahu bagaimana cara untuk merendahkan diri.”[]
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Primrose tenggelam dalam lamunan. Mendengar Aiden pergi ke pameran pernikahan bersama Celine membuat hati wanita itu seolah teriris. Padahal itu bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, Aiden selalu menempatkan Celine dan Kenzie sebagai prioritas utama. Sangat berbanding terbalik dengan Primrose dan Daisy. Tapi tetap saja, hal itu ternyata masih menyakiti perasaan Primrose.Dulu, dengannya, bahkan tidak ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Aiden tidak pernah bertanya pendapatnya mengenai pernikahan mereka. Semuanya dilakukan serba tiba-tiba dan seadanya. Akan tetapi, dengan Celine, semuanya seperti direncanakan dengan matang. Aiden bahkan mengajak Celine untuk pergi melihat pameran di tengah kesibukannya.“Sudahlah … apa yang kuharapkan? Tidak ada gunanya memikirkan mereka,” gumamnya sedih.Wanita cantik itu lantas turun dari taksi begitu sudah sampai di pelataran gedung. Dengan sedikit repot, ia memeluk bahan-bahan yang dibelinya dan na
Primrose keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Keputusan perusahaan untuk tetap bekerja sama dengan Kings Hotel membuat perasaannya campur aduk. Primrose tahu, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Bagaimanapun, mereka sudah terlanjur kesal dengan pihak hotel yang terkesan mempermainkan mereka. Hanya saja, itu adalah tempat yang paling cocok dengan konsep yang sudah disusun. Ditambah lagi, semua persiapan sudah hampir rampung.“Hah … menyebalkan sekali!” gerutu Wendy di sebelahnya. “Kita jadi harus bolak-balik merapikan venue gara-gara pihak hotel yang labil!”Primrose tersenyum kecut. “Paling tidak, itu masih lebih baik daripada pindah tempat,” katanya.Wendy mengerucutkan bibir. “Tapi bagaimana dengan Hartington Hotel? Bukankah itu hotel milik kenalanmu yang kapan hari kita tidak sengaja bertemu?”“Dari mana kau tahu?” tanya Primrose balik.“Gosip menyebar dengan cepat di tempat ini, kau tahu?”Primrose tersenyum miris. “Benar juga,” katanya. “Kurasa Hartington ba
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada