Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat.
“Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.
Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”
Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”
Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan.
“Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”
“Oh…”
Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan.
Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin.
Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.
“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.
Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”
Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke arah Primrose.
Wanita itu sontak menggeleng cepat. “Tidak perlu, aku—”
“Jangan menolak,” potong Matthias dengan nada lembut namun tegas. “Aku tidak bisa membiarkanmu kedinginan seperti ini.”
Primrose membuka mulut untuk menolak lagi, tetapi napasnya yang memburu dan tubuhnya yang menggigil semakin parah membuatnya tak punya pilihan.
Dengan enggan, ia menerima jas itu dan membungkus tubuhnya di dalam kehangatan kain tebalnya.
Matthias menghela napas. “Apa yang kau lakukan di sini, Primrose? Kau sakit?”
Primrose menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi di wajahnya. “Seharusnya aku yang bertanya,” katanya, berusaha mengalihkan. “Kenapa kau ada di sini?”
Matthias menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Aku baru saja menemui seorang teman yang bekerja di rumah sakit ini.”
Lalu, seolah baru teringat sesuatu, pria itu tampak ragu. Ia menelan ludah sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, “Aku turut berduka… atas kepergian Daisy.”
Seketika itu juga, dunia Primrose terasa berhenti. Ia mengeratkan genggamannya pada jas Matthias. Hanya mendengar nama itu saja sudah cukup untuk mengguncang pertahanannya.
Namun, ia berusaha tersenyum. Senyum yang tidak benar-benar sampai ke matanya.
“Terima kasih…,” katanya lemah, suaranya hampir tak terdengar.
Matthias hanya mengamati Primrose dengan saksama, tidak bertanya di mana Aiden, atau kenapa Primrose sendirian di sini.
“Kau ingin aku mengantarmu pulang?” tawarnya.
Primrose menegang.
Pulang? Apa dia ingin pulang ke tempat itu? Ke rumah yang hanya dipenuhi kesedihan, rumah di mana tidak ada seorang pun yang menginginkannya?
Melihat keraguan di mata Primrose, Matthias lalu menambahkan, “Atau kau ingin pergi ke suatu tempat?”
Primrose menolak halus. “Tidak. Aku—”
Ucapannya terhenti saat bunyi memalukan dari perutnya terdengar nyaring.
Matthias tersenyum. “Ayo, kita cari sesuatu untuk dimakan,” katanya.
Primrose menggigit bibir bawahnya, benar-benar malu.
“Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengambil mobilku,” kata Matthias sebelum meninggalkan Primrose.
Beberapa menit kemudian, Matthias turun dari mobil dengan payung di tangannya. Ia membukakan payung dan berjalan mendekati Primrose.
Dengan sigap, ia memayungi Primrose, memastikan wanita itu tidak basah oleh rintik hujan.
“Masuklah,” katanya lembut sambil membimbing Primrose ke dalam mobil.
Perhatian kecil itu membuat dadanya terasa aneh—hangat, tapi juga asing. Tidak ada yang pernah memperlakukannya seperti ini sebelumnya.
Di dalam mobil, Primrose duduk di kursi penumpang. Matthias mulai menjalankan mobil, mengendarainya dengan tenang di bawah hujan.
Sepanjang perjalanan, Primrose sesekali melirik ke arahnya. Matthias tampak begitu fokus menyetir, sorot matanya serius, tapi tetap ada ketenangan dalam ekspresinya.
“Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja,” ucap Matthias tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. “Jangan hanya menatapku seperti itu.”
Primrose terkejut. Ia tidak sadar bahwa dirinya sudah terlalu lama memandang Matthias.
“Aku tidak menatapmu,” elaknya pelan.
Matthias tertawa kecil, suaranya renyah. “Tentu saja tidak.”
Primrose melirik ke arahnya dengan ekspresi jengkel, tapi Matthias masih saja tertawa, seolah menikmati reaksinya.
Pria ini sangat berbeda dari Aiden. Tidak dingin, tidak menusuk dengan kata-kata tajam. Bersama Matthias, Primrose tidak merasa tegang. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia merasa… lega.
Matthias menoleh sekilas. “Apa kau masih kedinginan?”
“Aku baik-baik saja.”
Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat sebelum akhirnya Primrose kembali membuka suara.
“Terima kasih.”
Matthias meliriknya. “Untuk apa?”
Primrose menggeleng pelan. Ia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Matthias hadir di saat yang tepat, di saat ia tidak tahu harus bagaimana. Tapi ia tidak mengatakan itu.
Matthias tidak bertanya lebih lanjut. Seolah ia mengerti tanpa perlu mendengar banyak penjelasan.
**
Setelah selesai makan malam, Matthias akhirnya mengantar Primrose pulang.
Perjalanan pulang terasa begitu singkat bagi Primrose. Entah karena pikirannya terlalu penuh atau karena kehadiran Matthias di sisinya yang membuat waktu berlalu lebih cepat.
Sesampainya di halaman rumah, Matthias mematikan mesin mobil, tapi Primrose tetap diam.
Matthias menoleh, menatapnya dengan tatapan geli. “Apa aku harus membukakan pintu untukmu?” tanyanya, nada suaranya penuh canda.
Primrose tersentak. Ia buru-buru menggeleng dan tergagap, “Ti-tidak perlu! Aku bisa sendiri.”
Matthias tertawa kecil, terlihat menikmati reaksinya.
Dengan cepat, Primrose melepas seatbelt dan mengalihkan pandangannya. Rasanya ia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.
Primrose menghela napas dan memberanikan diri untuk menatap Matthias.
“Terima kasih, Matthias. Dan... maaf sudah merepotkanmu malam-malam begini.”
Matthias mengangkat bahu, seolah itu bukan masalah besar. “Aku senang bisa membantu.”
Mereka lantas turun dari mobil. Hujan sudah lama berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyelimuti udara malam.
Matthias memasukkan tangannya ke dalam saku celana, menatap Primrose dengan sorot mata serius.
“Kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa datang kepadaku.”
Primrose menatapnya dengan mata yang sedikit melebar.
Kata-kata itu, sesederhana apapun, terasa begitu menusuk. Sudah lama sekali tidak ada yang mengatakan hal seperti itu padanya.
Primrose menunduk, menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata pelan, “Terima kasih, Matthias. Aku sangat menghargainya.”
Ia tidak tahu apakah suatu hari nanti ia benar-benar akan datang pada Matthias, tapi setidaknya, ucapan pria itu memberinya sedikit kehangatan.
Tepat saat ia hendak melangkah masuk ke dalam rumah, suara deru mesin mobil yang familiar memenuhi telinganya.
Mobil hitam itu melaju perlahan memasuki pekarangan. Hatinya mencelos saat melihat siapa yang turun dari dalam mobil.
Aiden.
Pria itu berdiri di sana, tubuh tegapnya dibingkai oleh cahaya lampu depan mobilnya. Tatapannya tajam, dingin, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.
Tapi yang paling mencolok adalah caranya memandang Primrose. Lebih tepatnya, caranya menatap jas kebesaran yang melingkupi tubuhnya.
Aiden tidak mengatakan apapun.
Namun, hanya dengan tatapan itu saja, tubuh Primrose seketika gemetar. Ia merasa pijakan kakinya mulai goyah, seolah tenaganya baru saja terhisap dan ia tidak bisa berdiri dengan tenang.
“Kau juga di sini.”
Suara tenang Matthias memecah keheningan yang memerangkap Aiden dan Primrose, membuat Aiden kini menoleh ke arahnya.
Lalu, dengan penuh ketenangan, Matthias maju selangkah sembari melemparkan sebuah senyum simpul pada Aiden.
“Apa kabar, Sepupu?”[]
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Primrose tenggelam dalam lamunan. Mendengar Aiden pergi ke pameran pernikahan bersama Celine membuat hati wanita itu seolah teriris. Padahal itu bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, Aiden selalu menempatkan Celine dan Kenzie sebagai prioritas utama. Sangat berbanding terbalik dengan Primrose dan Daisy. Tapi tetap saja, hal itu ternyata masih menyakiti perasaan Primrose.Dulu, dengannya, bahkan tidak ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Aiden tidak pernah bertanya pendapatnya mengenai pernikahan mereka. Semuanya dilakukan serba tiba-tiba dan seadanya. Akan tetapi, dengan Celine, semuanya seperti direncanakan dengan matang. Aiden bahkan mengajak Celine untuk pergi melihat pameran di tengah kesibukannya.“Sudahlah … apa yang kuharapkan? Tidak ada gunanya memikirkan mereka,” gumamnya sedih.Wanita cantik itu lantas turun dari taksi begitu sudah sampai di pelataran gedung. Dengan sedikit repot, ia memeluk bahan-bahan yang dibelinya dan na
Primrose keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Keputusan perusahaan untuk tetap bekerja sama dengan Kings Hotel membuat perasaannya campur aduk. Primrose tahu, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Bagaimanapun, mereka sudah terlanjur kesal dengan pihak hotel yang terkesan mempermainkan mereka. Hanya saja, itu adalah tempat yang paling cocok dengan konsep yang sudah disusun. Ditambah lagi, semua persiapan sudah hampir rampung.“Hah … menyebalkan sekali!” gerutu Wendy di sebelahnya. “Kita jadi harus bolak-balik merapikan venue gara-gara pihak hotel yang labil!”Primrose tersenyum kecut. “Paling tidak, itu masih lebih baik daripada pindah tempat,” katanya.Wendy mengerucutkan bibir. “Tapi bagaimana dengan Hartington Hotel? Bukankah itu hotel milik kenalanmu yang kapan hari kita tidak sengaja bertemu?”“Dari mana kau tahu?” tanya Primrose balik.“Gosip menyebar dengan cepat di tempat ini, kau tahu?”Primrose tersenyum miris. “Benar juga,” katanya. “Kurasa Hartington ba
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada