Share

Bab 6: Awal Berdarah

Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.

Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.

Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.

Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.

Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak, memberi alasan masuk akal atas apa yang sedang terjadi di situ, kepada anaknya.

Sayangnya Guruh bukan orang bodoh. Ia jelas paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi setelah melihat fenomena aura sayap itu.

Suara Kemala yang terengah-engah membuyarkan suasana canggung nan tragis yang sedang terjadi.

Pak Bahja menghampiri Kemala dengan terburu-buru bak orang kesetanan, lalu ia meraih pakaian Safiah yang ada di dekatnya, meremasnya hingga berukuran kecil dan menyumpalkannya ke mulut Kemala agar tidak bisa bicara.

Guruh segera bertindak. Ia menerjang ayahnya dengan kekuatan penuh, menghempaskan tubuh mereka berdua ke arah kabinet dapur hingga menggoncangkan benda-benda yang ada di dalamnya. Suara ribut tersebar ke segala arah. Perkelahian terjadi.

Heningnya malam terpecah akibat keributan itu.

“Dasar berengsek!!!” Suara Guruh memaki, sambil memukul wajah ayahnya, tubuhnya bergetar hebat karena perasaan terguncang.

Pak Bahja hanya bergeming menerima pukulan dan makian itu. Tapi pandangannya tidak tersirat rasa penyesalan sama sekali. Seperti lelaki bejat lainnya. Ia sudah paham resiko.

Sambil meludahkan air liurnya yang disertai darah akibat pukulan Guruh, Pak Bahja tersenyum kecut. Ia kemudian bicara ngelantur.

“Pantas saja Ruh, gimana bisa tahan sama perempuan-perempuan ini!” Suara Pak Bahja menyeringai, semakin membuat Guruh jijik dengannya.

Tak bisa dipungkiri, situasi di sana cukup membingungkan. Entah bagaimana caranya, mereka harus bisa membereskan situasi itu sebelum Asih dan saudarinya yang lain datang.

*

Di tempat lain, Asih dan saudari termudanya, Nafika, memang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah mereka berdua datang ke rumah Abah Karsa dan mendapati bahwa katanya Guruh baru saja pulang, namun sepertinya mereka berdua mengambil jalan yang berbeda untuk dilewati, sehingga tidak saling berpapasan.

Abah Karsa menawarkan diri untuk ikut mengantarkan mereka berdua, walaupun Asih sudah menolak dengan halus, tetap saja tidak membuat Abah Karsa serta merta menurutinya. Mereka bertiga akhirnya berjalan bersama, menuju ke arah kediaman Guruh.

Dalam perjalanan yang canggung itu, Asih merasa santai-santai saja berdampingan dengan Abah Karsa. Berbeda dengan saudarinya, Nafika, ia tampak setegang besi, kewaspadaannya meningkat drastis. Meskipun ini bukan pertama kalinya mereka bertemu, tapi kali ini suasananya terasa berbeda.

Insting Nafika memang lebih tajam jika dibandingkan dengan Asih atau saudari lainnya, sepertinya jika memang ia sedang mewaspadai sesuatu, berarti memang ada sesuatu yang perlu diwaspadai.

Singkat cerita, rombongan Asih sudah sampai di rumah. Cahaya redup terpancar dari tempat singgah itu. Tak ada hal janggal yang disadari oleh mereka bertiga.

Asih dan Nafika segera masuk ke dalam rumah, sedangkan Abah Karsa masih terdiam di depan pintu, menunggu izin empunya rumah.

Asih mempersilakan Abah Karsa untuk masuk ke dalam rumah, menawarkan kopi, dan langsung menuju ke dapur.

Suasana dapur tidak begitu berbeda, masih seperti saat ia meninggalkannya. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang mencurigakan.

Kekacauan yang terjadi sebelumnya masih belum disadari oleh Asih dan lainnya yang baru datang.

Berbeda dengan Nafika, sepertinya ada yang aneh dengan rumah ini, ia segera mengelilingi rumah untuk menemukan keanehan itu.

Abah Karsa pun memperhatikan gelagat tidak biasa Nafika, walaupun Abah Karsa kurang mengenal Nafika, tapi ia bisa tahu tentang perilaku aneh seseorang.

Nafika mulai berkonsentrasi, mengosongkan pikirannya, memusatkan kewaspadaan diri dan juga melepas sebagian kecil Aura Dewi miliknya untuk menelusuri tiap sudut rumah.

Abah Karsa nampak tercengang dengan kejadian itu, ia mengalihkan perhatiannya bolak-balik ke arah Nafika dan juga Asih, menelaah situasi apakah dirinya sedang berada dalam bahaya.

Asih masih sibuk membuat kopi, Abah Karsa langsung saja berjalan menyusul ke mana Nafika pergi.

Dari sudut pandang Nafika, Aura Dewi miliknya tertarik cepat ke suatu arah, menjauh dari rumah Guruh, secepat itu pula Nafika langsung mengejar Aura Dewinya tanpa pikir panjang.

Abah Karsa pun ikut mengejar Nafika dengan hati-hati tanpa menimbulkan keributan, agar Asih tidak merasakan kepergiannya.

Aura Dewi milik Nafika membawanya ke sebuah ladang rerumputan tak jauh dari tempat tinggal Guruh. Suasana gelap menyelimuti tempat itu, sesekali terdengar suara gesekan rumput terbawa angin.

Warna Aura Dewi milik Nafika mampu memberikan sedikit cahaya melewati kegelapan itu, dari sudut pandang Nafika, begitulah yang terlihat. Seiring waktu, Nafika berjalan semakin jauh. Tanpa menyadari bahwa Abah Karsa mengikutinya dari belakang.

Nafika semakin waspada terhadap fenomena itu, energi Aura Dewi tersebut serasa diserap oleh sesuatu di kejauhan. Nafika berjalan menuju ke rerumputan yang semakin tinggi, ia menyibak-nyibakkan rerumputan itu demi mengikuti Aura Dewi miliknya.

Saat Nafika menyibakkan rumput tinggi di depannya, terlihatlah sesosok lelaki yang tak ia sadari keberadaannya, Aura Dewi itu juga masuk ke dalam tubuh lelaki itu.

Seketika itu juga, Nafika terkejut bukan main, ia langsung melemparkan pandangannya ke atas, demi mengetahui wajah lelaki itu, namun, sebuah tamparan keras mendarat ke wajahnya, Nafika langsung terjerembab ke samping, di atas rerumputan tinggi yang mengeluarkan aroma dedaunan yang tergesek.

Nafika merintih kesakitan sambil memegangi wajahnya, dari balik rerumputan tinggi itu, keluarlah Pak Bahja, kini sosok itu sudah terlihat dengan jelas. Pak Bahja segera menghampiri Nafika yang masih terguncang.

Abah Karsa melihat kejadian itu dari jarak cukup jauh, kemudian ia melangkah menghampiri keduanya.

Lengan Pak Bahja langsung membekap mulut Nafika agar tidak berteriak minta tolong, kemudian ia menyeretnya ke arah rerumputan yang tinggi, di mana akhirnya Nafika melihat dua kakaknya yang lain, beserta dengan Guruh, tak sadarkan diri. Ketiganya terkapar berdampingan, kondisi Safiah membuat Nafika semakin takut akan keadaan itu.

Abah Karsa mengikuti Pak Bahja ke rerumputan yang tinggi tersebut, ia kaget saat melihat keadaan yang ada di balik rerumputan itu.

Abah Karsa memaki, “Edan kamu, Ja!! Edan!”

“Halah!! Diam!” Pak Bahja balik membentak Abah Karsa, dengan disertai suara yang terengah-engah kelelahan.

“Kau ini mikir apa toh?? Mau diapakan mereka? Guruh itu anakmu!” Abah Karsa berusaha menembus sisi nurani Pak Bahja yang sedang kesetanan itu, tapi tidak ada gunanya.

Sesaat, Abah Karsa bingung dengan situasi yang sedang dihadapi. Ini sudah di luar kendalinya. Ia merasa tidak enak dengan Asih, dan juga seluruh keluarga itu.

Sayangnya, Pak Bahja seperti sudah dibutakan oleh sesuatu. Ia terus saja berusaha menutupi kekejiannya.

Di balik rerumputan itu, Pak Bahja menghabisi ketiga saudari Asih dengan caranya sendiri, bahkan Pak Bahja hendak membunuh Guruh sekalian, namun insting seorang ayah masih tersisa dalam sanubarinya.

Guruh sempat tersadar sebentar sebelum mengetahui kalau ayahnya hendak membunuhnya, rasa takutnya tak sengaja melepaskan sebagian kecil Aura Dewi yang selama ini ia serap dari istrinya itu.

Aura Dewi tersebut kembali ke pemiliknya, yaitu Asih, bersamaan dengan memori berdarah malam ini yang terkandung di dalamnya.

Sementara itu di dapur, Asih kembali mendapatkan sejumlah kecil Aura Dewi miliknya, pikirannya diperlihatkan oleh kejadian naas yang dialami oleh Guruh dan ketiga saudarinya.

Sembari memegang gelas kopi yang telah dibuatnya untuk Abah Karsa, tangannya bergetar, suara gelas di atas nampan berderak tak menentu. Air matanya mengalir. Beserta dengan dendam yang tumbuh dengan cepat dan tiba-tiba, kepada mertua dan suaminya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status