Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali.
Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh.
Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang.
Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dilakukannya barusan.
Terhipnotis, antara sadar dan tidak, mental Guruh mulai goyah, ia memang sempat mengincar saudari Asih selama ini. Namun, ia tak segila itu, konflik batin mulai menguasainya.
Sementara itu, Kemala yang masih setengah sadar mulai putus asa dengan gerak-gerik kedua orang di hadapannya itu. Kepercayaannya terhadap Guruh, lenyap begitu saja saat melihat Guruh perlahan mulai mendekati tubuh Safiah.
Untungnya, selangkah lagi saat Guruh hendak melakukan kesalahan besar seperti ayahnya, kekuatan Aura Dewi yang berada dalam tubuh Guruh memberikan efek yang mampu menyelamatkannya. Kesadaran Guruh mulai pulih, lepas dari pengaruh buruk Pusaka Iblis milik Pak Bahja yang hendak menguasainya.
Melihat Guruh berhasil berpaling dari pengaruh itu, Pak Bahja menyerang Guruh, memukulnya dari belakang sekeras mungkin hingga pingsan.
Merasa tanggung, Pak Bahja melakukan hal yang sama pada Kemala, kini sudah ada tiga tubuh tergeletak di dapur yang kacau itu.
Pak Bahja bukan orang yang suka bersih-bersih, tapi kali ini ia harus melakukan itu, demi menyembunyikan perbuatannya.
Sambil memaki dalam hati karena kelakuan Guruh yang tidak sepemikiran dengannya, Pak Bahja mengangkat satu per satu tubuh orang-orang yang pingsan itu ke rerumputan yang tak jauh dari tempatnya.
Ia menemukan lokasi strategis untuk menyembunyikan badan Guruh dan kedua dewi yang salah satunya sudah disetubuhi olehnya.
Setelah ketiganya berhasil disembunyikan, Pak Bahja mulai membereskan dapur dengan hati-hati, membayangkan apa yang dilakukan oleh istri-istrinya jika situasi tersebut terjadi di kediamannya, lalu perlahan ia mulai bergerak sesuai dengan insting tersebut.
Walaupun terasa aneh, akhirnya kekacauan itu berhasil dibereskan. Walaupun tidak sepenuhnya beebas dari bukti-bukti, Pak Bahja percaya diri kalau usahanya sudah cukup, ia melenggang keluar dari dapur, menuju rerumputan tinggi di mana ketiga korbannya tergeletak.
*
Dari sudut pandang Asih yang melihat ingatan Guruh lewat Aura Dewi yang kembali padanya, ia melihat kelakuan suaminya luar dalam, tak ada yang disembunyikan, termasuk rasa cinta Guruh yang telah pudar, ditambah lagi, Guruh tertarik pada hampir seluruh saudarinya.
Dibakar cemburu dan amarah, kekecewaan Asih semakin memuncak, hanya saja ia masih berpikir jernih, bagaimanapun Guruh adalah suaminya sendiri. Apalagi, Asih hendak memberikan kabar pada suaminya itu bahwa ia sedang mengandung beberapa bulan.
Guruh akan punya anak.
Asih merasa telat memberitahu Guruh atas kabar baik itu, kekecewaan dan perasaan negatif lainnya ia abaikan. Secepat kilat, Asih berlari ke arah di mana Guruh memerlukan bantuannya, di padang rerumputan yang sudah sangat ia kenali, tangannya dengan cepat meraih lampu senter berdebu yang tergantung dekat pintu keluar saat melewatinya.
Gelapnya malam tak menghalangi Asih menerobos rerumputan yang menggelitik kakinya, angin sesekali berhembus, menusuk tulang, sesekali ia arahkan senternya ke beberapa arah yang ia yakini menyembunyikan sesuatu.
Masih nihil, Asih menyibakkan rerumputan tinggi di depannya secara serampangan saking paniknya. Ia merasakan bahwa suaminya itu perlahan meninggalkannya.
Helai demi helai rumput di depannya ia singkirkan sampai akhirnya Asih berhadapan dengan sepetak tanah yang membuatnya curiga.
Terlihatlah gundukan tanah yang sepertinya masih hangat, jelas saja Asih panik tak menentu. Dengan kekalutan di luar nalar, ia mulai menggaruk-garuk tanah di bawahnya secepat mungkin. Berusaha untuk mencari tahu apakah kekhawatirannya itu nyata atau tidak.
Senter yang ia pegang tergeletak begitu saja, menyinari gundukan tanah yang ada di depan. Tentu saja Asih tidak berhenti menggali tanah dengan tangannya yang gemetaran itu.
Cahaya menerangi satu gundukan tanah yang secara tiba-tiba muncul segenggam tangan dari dalamnya, pelan tapi pasti, tangan itu berusaha meraih-raih sesuatu agar bisa menarik badannya keluar.
Tanah merekah seraya mengeluarkan seonggok jasad yang kotor, beberapa luka terlihat di sekujur jasad tersebut, darah bercampur dengan tanah yang menimbun luka-luka itu.
Sambil mengeluarkan teriakan yang memekik, jasad itu berteriak: “Kurang ajaaar!!”
Asih sontak saja kaget mendengar teriakan itu, kepalanya menoleh ke arah jasad yang baru saja bangkit, remang cahaya masih cukup menerangi Nafika yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah.
Terlihatlah dari sudut pandang Asih, luka-luka yang ada pada tubuh Nafika perlahan mulai pulih, menyembuhkan dirinya sendiri.
Nafika masih kepayahan dengan tubuhnya yang baru saja dikubur oleh Pak Bahja, menyesuaikan diri, melakukan peregangan biasa namun justru menimbulkan suara gemertak hebat yang membuat Asih bergidik mendengarnya.
“Na… Nafika?” Gumam Asih dengan nada bergetar.
Nafika menolehkan pandangannya ke arah suara Asih yang sepertinya sedang ketakutan. Asih tidak melihat keberadaan Nafika di dalam kenangan Guruh yang disampaikan bersamaan dengan Aura Dewi miliknya.
Tatapan nanar Nafika terasa penuh dengan amarah, tentu saja ia berhak sakit hati akan hal itu. Sesekali ia melemparkan pandangannya ke arah perut Asih. Merasa kasihan dengan jabang bayi yang akan lahir di tengah-tengah keluarga problematik itu.
Seketika itu juga, Asih berteriak histeris sambil memeluk tubuh Nafika, rasa kehilangannya itu sedikit terobati melihat saudarinya bangkit dari kematian.
*
Sementara itu…
Di rumah Abah Karsa, Pak Bahja sedang sibuk membersihkan tangannya yang ia gunakan untuk menggali tanah. Rasa penyesalan perlahan terlihat di raut wajahnya yang sudah semakin terlihat menua itu.
Dengan perasaan tak menentu, Pak Bahja mulai merasa khawatir dengan perbuatannya. Ia tak mendengarkan ocehan Abah Karsa yang sedari tadi mengiringi kesibukannya.
“Sudah, saya tak bisa menolongmu lagi sekarang, tidak ikut-ikutan!” Abah Karsa masih mengomel.
Pak Bahja hanya terpaku, belum mengatakan apa pun sejak ia mengubur jasad Guruh, anaknya sendiri.
“I.. ini sepertinya pengaruh pusaka itu, Bah…” ucap Pak Bahja, lalu ia melanjutkan “…semenjak punya pusaka yang Abah berikan, saya melihat banyak hal aneh.”
Abah Karsa berusaha memahami perkataan Pak Bahja lebih mendalam, “Oh ya? Lalu mana pusaka itu sekarang? Kembalikan saja jika itu memberatkanmu.”
Pak Bahja terheran sejenak melihat Abah Karsa menodongkan tangannya hendak meminta sesuatu.
Pusaka yang dimaksud adalah sebuah Pusaka Iblis, memiliki kekuatan magis berbahaya yang bisa merugikan siapa pun yang berhubungan dengannya. Pusaka itu didapatkan oleh Abah Karsa sebagai warisan dari leluhurnya. Abah Karsa percaya bahwa pusaka-pusaka itu mampu berguna di kehidupan sehari-hari bagi siapa pun yang memegangnya dengan cara yang misterius
Dan Pak Bahja adalah salah satu pemegang pusaka itu, hal magis sudah menarik perhatiannya sejak lama. Ia mendapatkan pusaka itu awalnya demi memperlancar urusan rumah tangganya pada saat itu, di mana ia tidak percaya diri dengan kemampuannya sebagai suami.
Abah Karsa memberikan pusaka tersebut hanya sebagai sugesti, ia memberikan beberapa bulir mutiara yang dimasukkan ke kantung kecil dan selalu dibawa ke mana pun.
Kini Abah Karsa menagih pusaka tersebut, setelah sekian lama, urusan rumah tangga Pak Bahja bukan lagi masalah, harusnya pusaka itu sudah dikembalikannya sejak dulu.
Pak Bahja hanya menggeleng. Melangkah mundur ke belakang, sembari memegangi selangkangannya tiba-tiba.
Ada rasa sakit yang hebat sedang dirasakan oleh Pak Bahja pada daerah kemaluannya, Abah Karsa merasa khawatir dengan kondisi aneh Pak Bahja yang mendadak.
“Jangan!!!” Teriak Pak Bahja, “Jangan ambil! Ini sudah jadi milikku!”
Keheranan Abah Karsa semakin menjadi.
Situasi berubah ke arah tak terduga, Pak Bahja masih terus memegangi selangkangannya dengan gelagat panik yang sulit dijelaskan, ia terjerembab ke lantai sambil berteriak semakin keras.
“Aaaargh!” Pak Bahja merasakan sakitnya di bagian selangkangan sangat tak tertahankan, semakin menjadi-jadi.
Secepat kilat, Abah Karsa menghampiri Pak Bahja, “Ada apa ini, Ja!?”
Pak Bahja hanya mampu berteriak, beberapa saat kemudian, melesatlah keluar suatu benda kecil dari dalam selangkangan Pak Bahja. Celana tebalnya tak mampu menahan kekuatan benda itu, bahkan benda kecil misterius itu menembus tangan Pak Bahja yang masih memegangi selangkangannya itu. Darah mulai merembes dari dalam celana, membuat Abah Karsa semakin prihatin.
Abah Karsa terkejut. Fenomena aneh itu terjadi beberapa kali, teriakan Pak Bahja mengiringi tiap kali benda kecil itu mencelat keluar, sepertinya berasal dari kejantanannya yang terus saja ia pegangi.
Terkuaklah misteri baru, Abah Karsa menarik kesimpulan bahwa pusakanya itu justru disalahgunakan, Pak Bahja nekat menanamkan mutiara yang diberikannya di bagian tubuh paling rentan seorang lelaki.
Darah yang tercecer membuat Abah Karsa bergidik, ia memalingkan mukanya, memerhatikan mutiara-mutiara itu mencelat tak tentu kesana-kemari.
Isak tangis Asih terdengar hilang perlahan-lahan, kepanikannya sudah sedikit mereda. Walaupun begitu, ia masih tetap berusaha mencerna kejadian itu dengan susah payah.“Aku akan membalas lelaki jahat itu, sampai akhir hayatnya tiba.” Suara Nafika bergetar penuh kemarahan.Asih melepaskan tubuh Nafika dari dekapannya, ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa lagi mengelak atas kesalahan mertuanya. Bahkan kalau perlu, suaminya pun pantas dihukum juga. Dari sudut pandangnya, Guruh pun memiliki itikad yang sama buruk dengan Pak Bahja. Lewat Aura Dewi yang kembali kepada Asih, semuanya terlihat bak memori yang tak akan bisa dihapus.Nafika terbangun dari posisi duduknya, memulihkan diri dari setiap goresan lukanya yang tersisa, lalu ia menjulurkan tangannya ke arah gundukan-gundukan tanah yang ada di hadapannya.Seketika itu juga tanah merekah, terbuka lebar, jasad yang ada di dalamnya terbangun. Safiah dan Kemala terlihat bangkit dari dalam tanah
Sakti baru saja membaca beberapa bagian isi buku harian milik ayahnya, sesekali ia bertanya pada Abah Karsa tentang kejadian yang menurutnya di luar nalar tersebut.Terutama di bagian saat kakek yang ia kenal ternyata tidak seperti yang diduganya. Pertanyaan lainnya yang dilontarkan oleh Sakti adalah kenapa rahasia besar seperti ini tidak ada yang cerita.Walaupun Sakti tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tapi ia sangat prihatin dengan keadaan kakeknya yang juga menderita karena penyakit tertentu. Apalagi saat di mana istri-istri kakek mulai meninggalkannya dengan menggasak harta benda yang jumlahnya tak sedikit. Kecuali istri pertamanya yang senantiasa menemani.Sudah jatuh tertimpa tangga pula.Pada saat itu, Abah Karsa sering mendatangi kediaman kakeknya Sakti, yaitu Pak Bahja, untuk memberikan pengobatan tertentu. Sampai akhirnya Pak Bahja tidak tertolong lagi, ia meninggal saat Sakti berusia lima tahun. Dalam kondisi yang membuat siapa pun ber
Berubahnya suasana yang dialami Rosa terjadi begitu cepat, walaupun Rosa tahu bahwa ia sedang berada dalam ilusi saudarinya, tapi suasana di sekitarnya begitu terasa sangat nyata, seolah benar terjadi.Cahaya matahari memancar ke arah mata Rosa, silau, matanya tak bisa ia biarkan lama-lama menatap langit.Jiwa Rosa sedang terjebak di dalam dewi yang hendak dihukum mati.Di depannya, algojo sedang menunggu perintah. Sepertinya orang tampan di sebelahnya itulah yang memegang kendali.“Oh..,” gumam lelaki tampan itu. “…katanya kau perlu bicara sesuatu?” Lanjutnya lagi. Pandangan lelaki itu seolah sedang menunggu Rosa bicara.“Bukan a…” belum selesai Rosa bicara, lelaki itu menyelanya.“Baiklah, hukum dia!” Ucap lelaki itu, diikuti dengan algojo yang seketika itu juga bersiap mengayunkan pedang.Suasana penonton semakin riuh, “Hukum! Hukum! Hukum dia!”&ldquo
Rosa masih belum tersadar dari ilusi yang diberikan oleh saudarinya, yaitu Malea. Saudari Rosa yang lain, Anggi, mulai sedikit khawatir.Bahkan, Malea sendiri tidak menduga kalau Rosa tetap tak sadarkan diri, padahal kekuatannya sudah ia hentikan beberapa saat lalu.“Kenapa belum sadar juga?” Anggi bertanya.Dengan wajah khawatir, Malea sedikit gelagapan, “Ti, tidak tahu, terawanganku hanya sampai para dewi kembali ke Suarga. Ha, harusnya Rosa sudah sadar.”Anggi menghampiri tubuh Rosa yang masih belum terbangun, ia menepuk-nepuk pipi Rosa perlahan. “Rosa! Rosa! Sadarlah!”Rosa masih tetap tak sadarkan diri.Para saudari Rosa hanya bisa saling menatap, apakah mereka sudah melakukan hal buruk? Gumam masing-masing dari mereka dalam hati.Mungkin saja pertanyaan itu ada benarnya. Karena dalam bawah sadar Rosa yang masih merasuki tubuh Anggana, dan juga pengaruh ilusi milik Malea, menghasilkan kombinasi
Tiga saudari Rosa, yaitu Anggi, Rubi dan Ramona pergi menuju lokasi yang diberikan oleh Sakti. Mereka bergegas sembari terus mengingat wajah Sakti yang mereka lihat di ponsel Rosa. Sesekali Anggi menatap layar ponsel itu untuk memastikan seberapa jauh lagi jarak yang harus mereka tempuh. Anggi berharap agar Sakti tiba di tempat perjanjian terlebih dahulu, karena jika mereka yang lebih dulu sampai, bisa jadi Sakti akan menghindari pertemuan itu karena bukan Rosa yang datang. Ketika hampir sampai di tempat pertemuan, Anggi memerintahkan kedua saudarinya untuk berjaga-jaga dari jarak yang tidak terlalu jauh. Akhirnya Ramona dan Rubi menunggu di sebuah halte bus, berbaur bersama calon penumpang yang sedang menunggu. Lain halnya dengan Anggi, ia menunggu dengan sabar akan kehadiran Sakti. Mereka berjanji akan bertemu di sebuah minimarket yang menyediakan sebagian kecil areanya untuk bersantai dan menyesap kopi. Anggi belum bisa duduk-duduk di tempat pertemuan itu, ia menunggu Sakti yang
Suara mesin mobil menderu semakin cepat, membuat Sakti cukup yakin kalau dirinya dalam bahaya, walaupun ia tidak bisa melihat keadaan sekitar akibat rok yang menutup kepalanya. Ia mencoba berontak, menendangkan kakinya sembarangan ke berbagai arah, badannya ia guncang-guncangkan agar bisa lepas dari cengkeraman wanita-wanita gila itu.Semerbak aroma pengharum mobil menyeruak karena terjatuh akibat tendangan Sakti, aroma jeruk murahan sontak membuat siapa pun yang ada di dalamnya merasa mual.Rubi, yang sedang menyetir, akhirnya membuka kaca jendela mobil agar aroma pengharum tersebut tidak terlalu mengganggu.Ramona dan Anggi masih terus berusaha menjegal Sakti, Ramona kini setengah telanjang karena roknya ia lepaskan demi menutup paksa wajah Sakti.“Gila kamu, ya!” Bentak Anggi kepada Ramona yang setengah telanjang itu.“Ya, liat di tv emang begini caranya biar dia enggak tahu ke mana kita pergi.” Ucap Ramona sambil terengah-engah karena kewalahan menjegal Sakti yang terus berontak.
Rosa sedang menanti hukuman yang dijanjikan ayahnya, jiwanya yang terjebak di dalam tubuh Anggana terus saja merasakan hubungan antara jiwanya dan tubuh Anggana kian menyatu, ditambah lagi, ia bisa merasakan kalau jiwa milik Anggana juga masih ada bersamanya. Terkadang tubuh Anggana dengan leluasa dikendalikan Rosa, namun beberapa saat kemudian Anggana akan mengambil alih.Fenomena langka itu membuat Rosa tidak yakin bahwa ia sedang mengalami hal yang nyata atau sekedar ilusi.Ketujuh dewi dikumpulkan di dalam sebuah kamar luas penuh warna, dekorasinya yang mewah, aroma wewangian semerbak disertai dengan cahaya lembut yang menembus jendela kamar itu.Beberapa saat kemudian, seseorang memasuki kamar itu, ia mendorong meja beroda yang di atasnya tersedia banyak makanan dan buah. Sepertinya ia adalah pelayan di kerajaan ini, mungkinkah Rosa sedang berada di sebuah kerajaan? Rosa membatin.“Ya, ini adalah kerajaan, di Suarga ini ada beberapa kerajaan yang hebat.” Anggana mengucap dalam ha
Abah Karsa tertegun mendengar cerita Sakti, baginya terdengar bagaikan dongeng versi dewasa. Merasa sudah tak aneh lagi jikalau perilaku Sakti mirip seperti kedua pendahulunya.“Anggap saja sebagai balas budi, harusnya mereka sudah mati kalau tidak ditolong.” Sakti menganggap apa yang dilakukannya pada Ramona sebagai timbal balik atas keselamatan para wanita yang menculiknya.Abah Karsa hanya mengangguk saja, berusaha tak peduli, walaupun di lubuk hatinya sangat penasaran apakah dugaannya itu benar.Ini mengenai orang-orang yang ditemui oleh Sakti, Abah Karsa mengira bahwa bisa saja ada hubungannya dengan apa yang dialaminya terdahulu. Dan juga hubungannya dengan penyakit Pak Guruh yang mirip betul dengan ayahnya di masa lalu.Untuk mengetahui hal itu, Abah Karsa harus mengenakan salah satu Pusaka Iblis Pemikat miliknya, namun saat ini benda itu tertinggal di rumahnya karena terburu-buru saat dijemput oleh Sakti.Lima buah Pusaka Iblis