Sudah hampir seminggu sejak Sakti menghilang, ia ditolong oleh seorang wanita yang tinggal di sebuah hutan yang secara kebetulan menemukan jasad Sakti tersangkut di sungai.
Wanita itu melihat perubahan tubuh Sakti yang semakin memburuk, seolah sedang membusuk perlahan.
“Ayo kamu pasti bisa, Nak! Bisa!” Wanita itu komat-kamit tidak jelas, di depan jasad Sakti yang terlihat tak lagi segar, sepertinya ia sedang melakukan sesuatu terhadap jasad Sakti yang tak bernyawa.
Sorot mata wanita itu menunjukan kekecewaan, “Hm sepertinya memang harus dikubur dulu, ya.”
Akhirnya wanita itu membawa sebuah balok kayu tajam, kemudian ia menggali tanah tak jauh dari tempat jasad Sakti terbaring menggunakan balok kayu itu.
Sambil menggerutu tak jelas, wanita itu terus saja menggali dan menggali, sedikit demi sedikit tanahnya berhasil dikeruk balok kayu itu. Entah sampai sedalam apa wanita itu akan menggali, semuanya dilakukan tanpa diketahui ol
Sakti berlari kencang menerobos dedaunan dan rumput liar ke dalam hutan sambil menggendong Nafika, kakinya bergerak cepat namun tak tentu arah.Nafika setengah panik, tak menyangka kalau ia akan dibawa kabur oleh Sakti. Karena situasi genting dan tak terduga, Nafika berusaha untuk menahan diri serta tetap tenang karena tidak ada pilihan lain lagi.Saat dirasa sudah cukup aman, Nafika menepuk-nepuk pundak Sakti, memberi isyarat agar berhenti berlari.Sakti akhirnya menghentikan pelariannya, ia menurunkan Nafika ke tanah, sambil melihat kesana-kemari memastikan situasi benar-benar aman.Sakti terlihat kebingungan, ia berusaha untuk mengucapkan kata-kata namun yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan tak lazim. Sepertinya ia melupakan banyak hal setelah bangkit dari kematiannya.Nafika tentu paham dengan keadaan tersebut, Sakti sudah tiada pada saat itu, kondisi ini membuat Sakti butuh waktu untuk kembali beradaptasi dengan kehidupan yang dijalaninya.Nafika segera memberikan penyembuha
Sakti terkejut saat menyadari bahwa ia hampir saja tertidur, tergugah merasakan tubuhnya terhempas ke sandaran kursi secara tiba-tiba, rasa kantuknya itu sungguh tak tertahankan.Terlihat jam dinding menunjukan pukul tiga sore, sudah hampir sejam Sakti menunggu ayahnya keluar dari kamar. Mengetuk pintu tidak akan mengusik ayahnya karena beliau tuli serta bisu akibat dari suatu penyakit yang sulit didiagnosa.Hampir lima tahun sudah, Sakti merawat ayahnya yang penyakitan dengan sepenuh hati. Keadaan tersebut sungguh membuatnya terguncang, entah apa penyebab penyakit aneh tersebut, yang jelas semua itu tidak menghalanginya untuk berbakti pada ayahnya.Sakti merogoh saku celananya, dari dalam saku itu ia meraih banyak sobekan kertas berisi tulisan tangan ayahnya. Sobekan kertas tersebut berisi tulisan atas ucapan ayahnya sendiri.Begitulah cara mereka berdua berkomunikasi semenjak ayahnya kehilangan kemampuan bicara, dan beberapa lama kemudian pendengarannya pun ikut hilang. Sang ayah ak
Sakti baru selesai merebus air untuk membuat teh pesanan Abah Karsa. Setelah selesai membuat teh itu, ia berjalan ke ruang tamu dan melihat Abah Karsa sudah selesai melakukan ritual rutinnya."Tumben cepet ya, Bah." Ujar Sakti seraya meletakkan cangkir ke permukaan meja, nada bicaranya penuh selidik.Abah Karsa mengangguk pelan, ia meraih cangkir teh tersebut untuk memeriksanya, "Makasih ya, Cah."Sakti langsung menanyakan perkembangan ritual penyembuhan ayahnya, "Perkembangan Bapak gimana, Bah?"Sambil bangkit dari tempat duduknya, Abah Karsa kembali menuju kamar Pak Guruh sambil membawa teh panas yang telah dibuat oleh Sakti."Bapakmu belum bisa sembuh, jujur saja." Ucap Abah Karsa singkat.Mendengar hal itu, Sakti hanya menghela napas pendek. Barusaha agar kejengahannya itu tidak terdengar. Saat melihat Abah Karsa kembali ke kamar ayahnya, Sakti langsung menduduki kursi di hadapannya, menunggu ritual penyembuhan sang ayah selesai.Abah Karsa tidak terlalu menggubris kekhawatiran Sa
Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pak Guruh terjaga sesaat dalam lelap tidurnya setelah ia merasakan sekelilingnya bergetar pelan, kelopak matanya terangkat seketika.Getaran itu mampu ia rasakan akibat suara azan yang menggema di mana-mana dari segala penjuru walaupun pendengarannya tidak berfungsi. Nampaknya Tuhan masih menyayanginya.Suasana hari menjelang petang mampu merasuk ke dalam relung jiwanya, sepi dan misterius, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi, perasaan itu membuat hatinya campur aduk. Namun, kini ada hal aneh dan baru kali ini dirasakannya.Pengelihatannya gelap seolah tak ada cahaya apa pun yang bisa ditangkap matanya, jikalau memang mati lampu, harusnya ia masih bisa melihat cahaya dari luar kamar tidurnya. Tapi hal itu tidak terjadi, pandangannya benar-benar gelap.Lisannya berusaha memanggil-manggil sang anak, Sakti. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan karena kemampuannya untuk bicara pun sudah hilang.Air mata perlahan menetes dari sudut mata Pak G
Pak Karsa sedang sibuk mencari-cari buku yang dibawa dari rumah Pak Guruh, ia bahkan kelupaan bahwa buku itu sebenarnya justru tertinggal."Ditaruh di mana ya, asem tenan!" Gerutunya tanpa henti.Sementara tangannya masih bergerak sibuk untuk memeriksa keberadaan buku tersebut, suara pintu terdengar diketuk dari luar."Abah, punten...!" Abah Karsa terkejut mendengar suara yang sudah ia kenal, yaitu Sakti."Ada apa gelap-gelap begini, Cah, apa bapak kumat?" Teriak Abah Karsa dari dalam rumah.Tak ada jawaban, namun suara ketukan pintu semakin keras.Abah Karsa merasakan kepanikan terdengar dari suara ketukan pintu itu, sepertinya memang terjadi sesuatu hingga membutuhkan dirinya saat ini. Ia segera cepat-cepat menuju ke arah pintu lalu membukanya.Terlihat wajah Sakti menghitam terkena bayangan cahaya lampu, Sakti menyodorkan sebuah buku yang selama ini sedang dicari Abah Karsa."Asem!" Jerit Abah Karsa dalam hati, ternyata buku itu sudah ada di tangan Sakti."Ini apa toh, Bah!?" Suara
Rasa penasaran Guruh terhadap para saudari istrinya semakin menjadi, ia merasakan dorongan itu semakin kuat dan sulit sekali ditahan-tahan lagi. Entah kenapa perasaan terhadap istrinya, Asih, malah kian hambar.Dimulailah akal-akalan Guruh demi mendekati salah satu saudari sang istri yang paling disukainya, yaitu Safiah. Dengan meletakkan sejumlah uang yang diikat lalu dimasukkan ke dalam tas milik Safiah, Guruh mengaku kalau ia kehilangan uang itu.Seisi rumah gempar dengan berita hilangnya uang yang dimaksud, apalagi jumlahnya tidaklah kecil. Guruh membujuk Asih untuk menggeledah setiap barang bawaan para saudarinya itu.Merasa tersinggung, Asih merasa perlu untuk membela para saudarinya. Ia hendak mengganti setiap lembar uang yang hilang itu."Beraninya! Biar kuganti uangmu!" Ucap Asih sambil menahan emosi.Walaupun Guruh merasa tak lagi cinta dengan istrinya, tapi kemarahan Asih membuatnya khawatir. Untungnya para saudari Asih mengerti situasi itu dan mengizinkan Guruh untuk mengg
Guruh menyaksikan kegilaan yang sedang terjadi di dapur, ayahnya sedang melakukan hal kotor terhadap Safiah. Sesaat tatapannya membeku.Terlihatlah aura sayap misterius yang berada di belakang Safiah, mulai tersedot ke arah Pak Bahja. Jelaslah Guruh paham dengan situasi yang terjadi.Guruh memalingkan wajahnya kepada sosok lain yang tersandar lemah di pojokan, Kemala, ia terlihat rapuh, pelan-pelan wajahnya berpaling ke arah di mana Guruh sedang terpaku menatapnya, matanya berkedip perlahan, sebagai ganti permintaan tolong yang tak bisa terucapkan.Reaksi wajah Pak Bahja yang kaget melihat Guruh memergokinya, justru tetap bergerak santai seolah tak terjadi apa pun. Tapi matanya menggambarkan kekhawatiran yang sangat. Menelisik respon anaknya dengan hati-hati.Ia pikir, untunglah hasratnya telah tersalurkan. Ia merelakan tubuh Safiah dan membiarkannya tergeletak begitu saja, walaupun sebenarnya hasrat terlarangnya masih ingin ia lampiaskan lagi, tapi kini ada urusan yang lebih mendesak
Suasana di dapur masih berantakan, Guruh tidak mampu menghentikan Pak Bahja. Kini ia sudah terkapar tak sadarkan diri. Perkelahian keduanya berakhir dengan keleluasaan Pak Bahja untuk mengatasi keadaan dapur sebelum Asih kembali. Keterampilan Pak Bahja dalam urusan mempertahankan diri dan menyakiti orang lain berada di atas Guruh, ditambah lagi, Pak Bahja pemegang salah satu Pusaka Iblis yang ia dapat dari Abah Karsa. Guruh juga memegang pusaka sejenis, bedanya adalah, Pak Bahja sudah lebih dulu menyadari potensi pusaka tersebut daripada Guruh. Di sela-sela perkelahian sebelum Guruh pingsan, Pusaka Iblis milik Pak Bahja bereaksi karena di sana ada kekuatan beberapa dewi, setelah Guruh datang, reaksi pusaka tersebut semakin tidak menentu karena ada dua Pusaka Iblis yang bersitegang. Energi dari pusaka itu mampu mempengaruhi isi kepala orang-orang di sekitarnya, terutama Pak Bahja, kekuatan manipulasi merasuk dalam benaknya, menghasut Guruh untuk sama-sama melakukan kebejatan yang dil