"Kepercayaan dirimu terlalu tinggi, Nyonya Luce." Jenar memberanikan dirinya untuk menyahut.Jenar tersenyum seringai. "Kepercayaan yang seperti itulah, yang nantinya malah menjadi bumerang untukmu sendiri."Luce tertawa ringan melihat perubahan ekspresi wajah Jenar. Luce bisa memaklumi jika jurnal tidak suka dirinya ada di depannya. Kata Jasmine, Jenar hanya sok kuat saja."Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu, Jenar." Luce mendekatinya lagi. Dia mengusap pundak Jenar yang hanya setinggi telinganya saja.Orang lain yang memandang mereka, mungkin sepintas mengira mereka adalah ibu dan anak. Penampilan Luce mencerminkan wanita yang dewasa, sedangkan Jenar terlihat begitu muda dan segar.
Jasmine duduk di depan Julio. Ini seperti momen langka mengingat mereka sudah jarang sekali duduk bersama. Bukan tanpa alasan Julio mengajak Jenar kemari setelah menjemputnya pulang sekolah. Alasannya hanya ingin mampir untuk makan. "Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Jasmine." Julio menyela aktivitas Jasmine. "Ini tentang Papa dan Mama.""Mama yang mana?" Jasmine menyunggingkan senyum bersama dengan kalimatnya. "Kita punya dua mama jangan lupa itu."Julio terdiam sejenak. Jasmine benar, tetapi dia bersikap aneh kali ini. "Mama Luce," sambung Julio. "Ada satu pertanyaan yang mengganjal di kepalaku sejak tadi. Sebenarnya aku ingin menanyakannya langsung pada Mama Luce, tetapi aku rasa dia tidak akan menjawab dengan jujur."Jasmine menghentikan makannya. Fokus pandangan menatap ke arah Julio. "Emangnya apa yang ingin kamu tanyakan?""Kamu tahu sesuatu tentang mereka?" tanya Julio hati-hati. Jasmine terdiam sejenak. Dia berusaha memahami pertanyaan dari kakak tirinya itu. Ingin me
"Pak Julian, ada yang ingin menemui Bapak." Julian mempersilahkan tamunya masuk ke dalam ruang kerjanya, meskipun hari menjelang sore. Seharusnya tidak ada tamu lagi yang datang untuk menemui dirinya.Luce adalah tamunya sore ini. "Luce?" Julian menyambutnya dengan senyuman. "Ada apa datang kemari?" tanya Julian. Dia tidak jadi bergegas pergi, Julian kembali meletakkan jasnya di atas meja. Luce duduk di atas sofa sambil merapikan posisinya. "Memangnya aku tidak boleh datang ke sini?" tanyanya. "Aku kira hubungan kita jauh lebih akrab setelah apa yang kita lalui beberapa hari belakangan."Julian manggut-manggut. "Tentu saja. Aku sedang mencoba akrab denganmu, Luce." Luce tersenyum padanya. "Aku kebetulan lewat sini. Dan aku membelikan kopi untukmu. Aku pikir kamu lembur hari ini, jadi aku membawanya ke sini," kata Luce. Dia mendorong cup kopi yang ada di atas meja.Julian berjalan mendekat dan duduk di depannya. Aroma Torabika menari-nari di dalam lubang hidungnya, Luce masih ingat
Setelah berhasil menidurkan Jean, Jenar keluar dari ruang kamar. Matanya melirik jam dinding yang hampir menunjuk ke angka sebelas malam. Namun, tidak ada satupun orang yang diharapkan datang pulang ke rumah. "Ke mana mereka pergi?" gumam Jenar. Dia merogoh ponsel dalam jaket yang dikenakannya. Orang pertama yang ingin dia hubungi adalah suaminya. Julian tidak memberi kabar pada dirinya, jika memang ingin lembur di kantor. Dia juga tidak pernah pulang terlambat selarut ini sebelumnya. Kekhawatiran menumpuk di dalam hatinya.Baru saja Jenar ingin menyambungkan panggilan, suara pintu dibuka mengambil fokus Jenar. Jasmine datang menatap dirinya dengan terkejut. "Ke--kenapa?" gumam Jenar sembari menutup pintu. "Kamu mengejutkan diriku dengan berdiri di tengah kegelapan begitu."Jasmine mendekati Jenar begitu juga dengan sebaliknya. Mereka bertemu di tengah-tengah. "Kamu mau mengadukan aku sama Papa kalau aku baru pulang?" tanya Jasmine. "Kak Julio juga akan kena marah," ucapnya. "Dia
"Mereka pasti sedang bersama di suatu tempat, dan kita sama-sama tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan." Jasmine tersenyum puas setelah mengatakannya. Kata demi kata yang terlontar benar-benar mau jadi senjata luar biasa untuk menyakiti hati Jenar malam ini.Jasmine mendekatinya. "Jadi lebih baik kamu tidur. Menunggu Papa pulang hari ini, sepertinya akan sia-sia saja.""Kamu yang seharusnya tidur dan berhenti untuk melantur." Jenar kokoh ingin membohongi dirinya sendiri. Tidak mau percaya apapun yang dikatakan oleh Jasmine."Cuci kakimu dan tanganmu. Jangan lupa menggosok gigi lalu pergi tidur jangan melakukan apapun lagi. Sebentar lagi tengah malam dan besok kamu harus bangun pagi."Jenar pergi setelah me
Julio tertawa kecil setelah melihat perubahan ekspresi wajah Jenar ditambah dengan nada bicaranya yang terdengar begitu sedih.Jenar langsung menoleh ke arahnya. "Kamu menertawai aku?" tanya Jenar sembari menunjuk dirinya sendiri."Aku rasa tidak ada yang lucu di sini, kenapa kamu malah tertawa?" tanyanya lagi. "Ada yang salah padaku?" Jenar mengimbuhkan.Julio menghela nafas. Tawanya tidak bertahan lama. "Hanya lucu saja melihat kamu duduk di sini dengan kekhawatiran.""Apanya yang lucu?" Jenar memprotes Julio. "Bagimu adalah hal yang lucu ketika seorang istri khawatir saat suaminya belum pulang dan tanpa kabar seperti ini?"Julio manggut-mangg
Jenar terdiam di tempatnya. Julio masuk ke dalam rumah tanpa kata-kata dan memutuskan pembicaraan mereka begitu saja. Mungkin dia mulai jengkel dan muak dengan keras kepalanya seorang Jenar."Coklat panas?" Tiba-tiba saja Julio kembali menghampirinya dengan cangkir coklat panas yang ada dalam genggamannya.Jenar tersentak tidak percaya ini. "Aku kira kamu masuk untuk tidur dan beristirahat, kenapa malah keluar lagi?" tanya Jenar.Julio mengabaikan kalimat Jenar. Dia menyodorkan secangkir coklat panas untuk Jenar. "Ambil dulu, aku tidak kuat menahan dua gelas panas."Jenar manggut-manggut. "Terimakasih.""Aku terbiasa begadang. Apalagi kala
Jenar tiba-tiba saja merasakan pelukan hangat pada tubuhnya. Saat dia melirik, tangan Julian sudah melingkar di atas pinggangnya. Sepertinya dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan kekecewaan yang dirasakan oleh Jenar pagi ini. "Aku minta maaf, Jenar." Julian berbisik di sisi telinga Jenar. "Aku tahu kalau aku salah, seharusnya aku mengabari kamu."Jenar sampai tidak bisa berkata-kata. Dia hanya terdiam seribu bahasa. Kekecewaan dan kemarahan menahan ribuan umpatan yang ada di dalam benaknya. Sebelum kepulangan Julian subuh ini, dia sudah menyiapkan ribuan pertanyaan. Dia bahkan menyiapkan umpatan demi umpatan yang akan dia berikan pada suaminya nanti, tetapi sayangnya itu semua tertahan saat melihat Julian pulang. "Kamu boleh marah padaku, asal jangan mendiamkan aku." Julian memohon. Julian menggelengkan kepalanya. "Jujur kalau aku tidak bisa didiamkan, Jenar. Aku tidak tahan jika diabaikan."Jenar tersenyum tipis. Perlahan-lahan dia melepaskan pelukan Julian. "Mas ...." Je