“Sayang, anak yang tadi itu kayanya dekat banget sama sayang.” Sakha tak tahan dengan rasa penasarannya. Didekatinya Andira yang sedang mencuci beberapa piring kotor bekas makan mereka berdua tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Acara pengajian tujuh bulanan Andira sudah selesai dari tadi siang. Semua tamu dan kerabat sudah pulang. Bahkan ibu Marwiah tadi ikut pulang dengan Rasyid. Hanya Sakha yang belum mau pulang bahkan tak ingin pulang rasanya. “Ia namanya Irina.” Jawab Andira singkat. Tangannya masih sibuk membilas piring yang sudah disabuni. “Koq yang datang ayahnya?, mas nggak liat dia sama ibunya tadi.” “Ibunya sudah meninggal.” jawab Indira pelan. Sakha tertegun sesaat, rasa was-was menghampiri benaknya Andira yang melihatnya, merasa hera., namun tak memperdulikan. “Kamu kenapa nggak pulang mas?” Andira bertanya sambil mengeringkan tangannya pada lap bersih yang di gantung Andira dekat tempat cucian piring. Sakha mendekati Andira, memeluk sebentar. “Ma
Sakha dan bu Marwiah masuk ke ruang perawatan setelah mengucap salam. Bu Marwiah langsung memeluk menantunya itu dan mengucap maaf sambil mencium pipi kiri kanan Andira. “Maafkan ibu nak, Sakha terlambat menjemput ibu.” Lalu diciuminya pipi menantunya itu. “Tak apa, bu.” jawab Andira, lemah Bu Marwiah berbinar bahagia melihat rupa cucunya. Cucu pertama yang dinanti – nanti beliau selama tujuh tahun pernikahan putranya. “Mukanya papa banget ini waktu kecil.” Ucap bu Marwiah sambil menggendong cucunya yang terpejam. Diciumi pipi mungil itu. Bu Marwiah lalu berbincang dengan bu juriah dan bu Norma. Beliau mengucap terima kasih banyak atas bantuan kedua ibu ini yang sudah membantu menantunya, sigap membawa Andira tadi ke puskesmas. “Terima kasih banyak, bu. Sudah membantu menantu saya.” Ucap bu Marwiah tulus. “Sudah tugas kami bu, lagian nak Andira sudah kami anggap anak sendiri.” Ucap bu Juriah juga penuh tulus. Lalu bu Juriah dan bu Norma pamit keluar. Mereka memberikan kesemp
“Maafin mas, kalau sayang merasa tak nyaman tadi atas kedatangan mereka.” Sakha mendekat ke Andira yang sudah siap berbaring. “Siapa mas, pak Derry atau kekasihmu? kalau kekasihmu jangan khawatir, aku nggak menyentuhnya sedikit pun. Bahkan aku yang mengalah kan?” “Ra, mas khawatirin kamu, bukan dia!” “Baru sekarang, mas khawatirin aku, dulu – dulu tak memikirkan perasaanku sedikit pun.” Kata – kata Andira sungguh menohok perasaan Sakha. “Ra, maafin mas!” Sakha berusaha meraih Andira kedalam pelukannya. Namun wanita ini menolak. “Simpan maafmu mas, aku ngantuk!” Lalu Andira berbaring memberi punggung pada sang suami. Sakha hanya bisa menghela nafas. Mungkin butuh waktu tujuh tahun juga agar Andira bisa memafkan dirinya. -- Andira melempar isi kado kedua yang di buka! kado berukuran kecil yang dibawa tamu – tamunya tadi. Kado yang diletakkan wanita itu tadi di sofa dengan senyum di bibir. Kado pertama berisi baju dan perlengkapan bayi. Namun kado yang kedua ini, mampu membakar
Irina tampak bersemanga tadi memasukkan cemilan kentang ke dalam keranjang minimarket berwarna biru, dengan semangat dan penuh antusias. Sementara Zafian yang mengekorinya, tampak malu-malu bila tanya, ingin cemilan apa oleh Irina maupun pak Mirwan. Sementara di lorong sebelah, Andira yang telah selesai mengambil barang – barang yang dia butuhkan, kembali meletakkan keranjang dekat kasir. Tadi dirinya kaget juga saat melihat Zafian datang bersama Irina dan ayahnya di minimarket itu. Andira sudah tahu kalau pak Mirwan dan Irina sering membawa Zafian ke minimarket ini dan membelikan bermacam jajajanan, namun baru kali ini melihat sendiri saat mereka berserempak tadi. Ada yang lain di hatinya, pun sama dengan Zafian. Si kecil Zafian seolah ingin rasakan jalan bersama mama dan papanya seperti tadi, namun bukan dengan pak Mirwan. “Bayar dengan punya bunda Andira, sekalian!” ucap Mirwan saat mereka sudah di kasir tadi. “Eh, tidak usah, pak, biar saya bayar sendiri.” Andira berusaha menola
Pov RistiaMalam itu di sebuah minimarket, kulihat lagi dirinya. Pria yang rupa dan namanya masih bertahta di hatiku dengan kokoh. Bertemu lagi setelah tiga tahun lamanya, tanpa kabar dan berita. Namun debaran yang kurasa masih tetap sama.Sakha Abimanyu. Pria pertama yang membuatku jatuh cinta, sejak di bangku kuliah. Namun keadaan ekonomi orang tuaku yang tak stabil, membuatku harus rela di jodohkan dengan seorang duda, yang usianya hampir sepantaran dengan Bapak.Meski telah menikah dengan pria lain, namun hatiku tak mampu menggeser rasa cinta yang ada untuk mas Sakha. Aku sangat mencintainya sejak dulu hingga kini. Dia pria pertama yang bertahta di hatiku. Aku pun dulu menjadi wanita pertama di hatinya. Namun kisah cinta kami begitu rumit.Bahkan pertemuan cinta kedua kami bukanlah hal yang patut ditiru. Aku bahkan merendahkan harga diriku, menjadi perempuan binal di hadapanny. Sebisa mungkin kubuat dirinya lelah di ranjang hotel tempat kami memadu kasih. Bahkan setelah Fardi, adi
“Mas...kamu...”Ristia kaget saat melihat Sakha menahan motornya. Tak menyangka Sakha menghampiri dirinya. Berusaha ditahannya kegugupan yang melanda. Gugup dan berdebar “Boleh bicara sebentar?” Sakha bertanya sambil berusaha menyentuh lengan Ristia yang memegang kemudi motor. “Maaf Mas, jangan sentuh!” pinta Ristia sambil menarik pergelangannnya. Sakha terhenyak sesaat. Dia seperti bertemu Ristia yang dulu, lalu rasa bersalah menghinggapi hatinya sesaat. Bukankah dulu wanita ini sangat tertutup, lalu cinta remaja di antara mereka telah mengubah sosok Ristia menjadi liar, sebab nafsu kadang tak mampu mereka kendalikan. Tiga tahun barulah berjumpa kembali, tentu banyak hal yang telah terjadi dalam hidup mereka, banyak hal membawa mereka kearah jalan hidup entah yang lebih baik ataupun yang lebih buruk. Namun begitu, Ristia masih saja deg – degan bila berdekatan dengan Sakha. Sedalam itu perasaan wanita ini terhadap cinta lamanya. “Kamu apa kabar?” Sakha mengajak Ristia duduk di kur
Mirwan langsung memboyong Andira ke rumah miliknya yang ada di kota. Tak banyak yang tahu bila pak guru ini punya rumah di salah satu perumahan yang ada di kota ini. Di kompleks Villa Mutiara Mas. Perumahan tipe 45 dengan satu kamar di atas dan dua kamar dibawah. Rumah ini tak besar bahkan jauh dari kata mewah seperti yang ditempati Andira dulu saat bersama Sakha. Ini pun hanya rumah bekas yang dibeli Mirwan secara cash, lalu merenovasi sedikit. Namun, meski demikian, rasa bahagia tetap disyukuri oleh pasangan ini. Sebesar atau semwah apapun rumah, bila tidak ada kebahagiaan didalamnnya, tetaplah rasa sukar di hati.Disinilah tempat mereka bermulan madu. Bukan di rumah mewah, bukan pula di luar kota atau di hotel berbintang. Cukup di rumah sendiri, menciptakan kebahagiaan dan hal romantis lainnya.Tadinya Mirwan hendak mengajak anak – anak mereka. Irina dan Zafian. Namun ibunya melarang. Bu Juriah dan bu Norma yang menemani Irina dan Zafian. Kedua orang tua itu mengerti dengan kondisi
Angin pagi berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di setiap tangkai pohon ketapang yang tumbuh di pinggir perumahan itu. Dingin menyusup kedalam kulit, menandakan musim kemarau sudah akan datang. Sebab pagi akan terasa sangat dingin, namun ketikan siang, maka dinginnya angin akan berganti dengan teriknya mentari. Panas yang membawa angin, menerbangkan dedaunan yang gugur semalam. Suasana romantis dan intim selama tiga hari ini dinikmati dengan rasa puas oleh pasangan pengantin baru. Andira dan Mirwan. Meski rasa canggung masih ada, namun Mirwan yang selalu berinisiatif untuk mendekati, menyentuh ataupun memeluk Andira. Berusaha menghilangkan rasa canggung diantara mereka. “Sayang, mau sarapan apa?” Mirwan yang menanyai Andira, sebab istrinya itu belum tahu tempat – tempat makan yang ada disini. Tiga hari ini nyaris tak pernah keluar rumah. Hanya dua kali, Mirwan membawa Andira ke minimarket di depan kompleks perumahan itu untuk membeli beberapa keperluan mandi mereka. Selebihnya mer