Langit biru membentang di atas pegunungan tempat bendungan raksasa itu berdiri, seolah turut merayakan keberhasilan bangsa. Ratusan orang berkumpul, mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat biasa, menyambut peresmian bendungan yang digadang-gadang akan menjadi tulang punggung irigasi dan listrik wilayah Timur.Di tengah-tengah panggung megah yang berdiri kokoh dengan tirai merah dan bendera berkibar, seorang pria berdiri gagah: Insinyur Budi Dharmawan, ST, pemborong utama proyek ini.Tubuhnya dilapisi rompi anti peluru yang nyaris tak tampak di balik jas abu-abu formalnya. Di sekelilingnya, lima bodyguard berkaca mata hitam berdiri tegap, mengawasi segala arah tanpa mengedip dengan alat komunikasi di telinga mereka.Di belakangnya, dua pasukan Paspampres turut berjaga, karena di acara ini, Presiden sendiri akan memotong pita peresmian.Namun, di antara lautan manusia dan keramaian yang tampak meriah, satu sosok berdiri tenang, tak terlihat mencolok. Wajahnya tersembunyi di balik kacama
Langit di kota itu tak pernah benar-benar cerah. Seolah mendung abadi menggantung, menekan dada orang-orang yang tinggal di bawahnya. Di balik gedung megah milik perusahaan pak Anton, seorang pria duduk di ruang kerja mewahnya.Ghenadie menatap bayangannya sendiri. Mata itu… tidak lagi memancarkan cahaya seorang pemuda biasa. Kini, ada nyala api dingin yang menyala di sana.Di tangannya tergenggam sebuah buku catatan kulit usang. Di halaman pertamanya tertulis satu kalimat dalam huruf tebal dan mencolok: DAFTAR YANG HARUS DIHAPUS.“Aku harus melakukannya, Pak Arif,” kata Ghenadie, saat mereka dalam perjalanan bersama pak Anton ke kantor pagi itu. Mobil hitam mereka meluncur pelan menyusuri Jalan Sudirman.Pak Arif, pria paruh baya yang telah menjadi pengawal sekaligus penasihat bayangan pak Anton selama ini, melirik ke arah kaca spion. Sorot matanya penuh khawatir.“Anak muda… kau bicara soal membunuh. Ini bukan main-main.”“Aku tak main-main,” jawab Ghenadie pelan tapi tegas. “In
Malam itu sunyi. Angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang luruh. Rumah Pak Anton berdiri kaku di tengah pekarangan yang luas, temaram oleh lampu beranda yang sudah mulai redup.Kamera CCTV di sudut atas pagar rumah sesekali berkelip, menandakan aktivitasnya masih menyala. Tak ada suara, hanya desiran rumput yang bergesekan pelan, seperti menyembunyikan sesuatu.Dari arah kiri, seorang pria bertubuh tegap dengan jaket lusuh menyelinap di balik semak-semak. Matanya tajam memperhatikan gerakan di sekitar rumah. Itu Joko, dan dia tengah memburu seseorang, Pak Anton.Sementara dari sisi berlawanan, seorang pria lain dengan hoodie hitam, wajahnya sebagian tertutup masker, mengendap pelan. Namanya Reza. Dia sedang mencari Desy, dan dia punya alasan kuat percaya bahwa gadis itu pasti berada di dalam rumah Pak Anton.Tanpa mereka sadari, jalur pengintaian mereka bersilangan. Dan…"BRAK!"Dua tubuh saling bertabrakan di balik pohon mangga tua yang rimbun. Joko segera menc
Panas mentari siang menyengat jalanan ibukota, namun ketegangan yang merayap di dada Reza dan Joko membuat suhu udara tak lagi terasa. Mereka melangkah cepat ke kantor polisi sektor tengah, ke tempat sahabat akrab mereka, Kompol Wirya, yang sedang bertugas.Wajah Reza penuh ketegasan, sedangkan Joko berkeringat meski ruangan ber-AC."Ada yang harus kau dengar, Wirya," ucap Reza tanpa basa-basi.Kompol Wirya menoleh, membuang senyum formalitas, lalu bangkit dari kursinya. “Masuklah. Tutup pintunya.”Begitu pintu ditutup, Joko membuka map dari dalam tasnya dan menghamparkan beberapa lembar bukti foto.“Pak Anton dan anaknya, Ghenadie, menyembunyikan seorang wanita bernama Desy. Kami yakin, dia tidak tinggal di sana atas kemauannya sendiri,” tegas Joko.Kompol Wirya menatap foto-foto itu, lalu mencondongkan tubuhnya. “Kalian sadar ini tuduhan berat?”“Desy mantan pacar ku. Tapi setelah hubungan mereka putus, dia menghilang. Kami curiga dia disekap,” jawab Reza.Diam sesaat. Lalu sesuatu
Hujan turun tipis di atas atap rumah itu. Suara rintiknya mengalun pelan, mengiringi detak jam dinding yang seolah melambat. Ghenadie duduk di ruang tengah dengan pandangan tajam menatap layar laptopnya.Pencarian terakhirnya nihil. Tak ada jejak, tak ada alamat. Joko dan Reza seperti lenyap ditelan bumi.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Api amarah di dadanya makin menyala. “Mereka harus dilenyapkan,” bisiknya lirih, tapi penuh tekad. “Mereka adalah duri dalam daging. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menghalangi pernikahanku dengan Desy.”Desy... Gadis itu kini berada di dalam rumahnya. Sudah lama ia dilindungi dari dunia luar, terutama dari Reza, lelaki keji yang dulu hampir merenggut kehormatannya.Sekarang Reza malah bekerja sama dengan Joko. Joko, pengkhianat berhati licik, yang dulu menguasai perusahaan Pak Anton, ayah Ghenadie, dengan cara-cara kotor. “Satu mencoba memperkosa kekasihku,” gumamnya pelan. “Yang satu mencuri perusahaan keluargaku. Mereka berdua p
Malam itu hujan turun perlahan, seperti tetes-tetes luka yang tak kunjung sembuh di hati Desy. Ia duduk di ruang tamu rumah mereka Ghenadie, sebuah tempat yang terasa terlalu sunyi untuk menampung begitu banyak rahasia.Aroma kayu manis dari lilin aroma terapi melayang samar di udara, tak cukup kuat untuk mengusir hawa dingin yang merayap dari dalam dada mereka masing-masing.Di layar ponsel Desy, berita kematian Reza dan Joko menyebar cepat. Dua pria itu ditemukan di tempat yang sama, pasar malam tempat nongkrong, dengan kondisi jantung mereka seolah pecah dari dalam, tanpa bekas luka luar sedikit pun.Desy menatap layar dengan tangan gemetar, lalu mengangkat wajahnya menatap pria di depannya. Ghenadie duduk tenang, seolah berita itu hanya angin lalu. Tapi Desy tahu, ia tahu betul siapa Ghenadie sebenarnya.“Kamu… kamu membunuh mereka?” tanya Desy dengan suara nyaris berbisik.Matanya tak berkedip, jantungnya berdetak cepat, tak jauh berbeda dari korban yang kini terbujur kaku di dal
Hening. Putih. Bau obat-obatan. Suara detak mesin monitor.Ghenadie membuka mata perlahan. Cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Tenggorokannya kering, lidahnya terasa pahit. Saat mencoba menggerakkan tangan, hanya gemetar kecil yang ia rasakan.“Ghenadie?” suara berat dan hangat itu terdengar, samar, seperti gema dari masa lalu.Ia menoleh perlahan. Sosok berjubah putih berdiri di samping ranjang, memegang tangan kirinya dengan mata berkaca-kaca.“Pak… Anton… Ayah?” gumam Ghenadie pelan.Pria itu, ayah kandungnya, mengangguk, tersenyum lega. “Kau akhirnya bangun, Nak. Hampir setahun kau koma.”“Setahun?”Hati Ghenadie seperti diremukkan oleh kenyataan. Ingatannya berloncatan liar: ledakan, darah, Desy menangis, mantra gaib, Joko terlempar dari atap, Reza menjerit, Pak Budi terbakar hidup-hidup.Namun, semua itu kini terasa… jauh. Seperti mimpi.“Perusahaan kita… sudah kita rebut lagi, ya, Pak? Joko sudah mati, kan? Dan Desy… dia selamat? Kita… kita mau menikah waktu itu…”Pak Anton
Sudah tiga bulan sejak Ghenadie keluar dari rumah sakit. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi pikirannya justru terasa lebih hidup dari sebelumnya.Ia menulis setiap hari tentang mimpinya, tentang dunia penuh darah, sihir, dan pengkhianatan yang ia alami selama koma. Tapi seiring tulisan itu berkembang, sesuatu yang aneh mulai terjadi.Pagi itu, Ghenadie duduk di ruang kerjanya, menyeduh kopi sembari membuka laporan internal perusahaan yang dikirimkan secara rutin oleh sekretaris ayahnya. Di halaman ketujuh, matanya terpaku pada sebuah angka. Ada selisih besar dalam laporan pengeluaran biaya promosi."Ini... tidak masuk akal," gumamnya.Ia membuka kembali catatan mimpi yang ia tulis beberapa minggu lalu. Dalam dunia bawah sadarnya, ia pernah ‘mengadili’ Pak Budi karena terbukti menggelapkan dana perusahaan bersama keponakannya, Joko.Kini, angka itu seperti bukti nyata bahwa cerita itu bukan hanya mimpi. Seakan garis tipis antara dunia tidur dan bangun mulai pudar.Malam itu, Ghenadi
Langit senja di atas kota menguning kusam, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak sanggup diungkapkan. Ghenadie berdiri di jendela ruang kerjanya, memandangi gedung-gedung tinggi yang bagai benteng menahan badai. Ia baru saja mengambil keputusan besar—mendirikan perusahaan baru, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, tempat di mana ia berharap Dinda bisa memulai segalanya dari awal. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa tekanan.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar kosong.“Saatnya kau punya panggungmu sendiri, Dinda,” bisiknya.Di sisi lain kota, Dinda menatap Didik yang kini berdiri di depannya dengan mata merah dan rahang mengeras. Udara di antara mereka terasa sesak, seolah marah bisa meledak kapan saja.“Jadi begitu ya, Din?” Didik mendesis. “Kau pikir kau bisa semudah itu mutusin gue?”Dinda mengangkat dagunya, matanya tidak gentar. “Ini bukan soal mudah atau sulit, Didik. Ini soal sadar. Aku sadar siapa dirimu sebenarnya dan tidak pernah lupa tentang apa yg kamu lakukan.”“Apa? Ka
Pagi itu, mereka berdua mendatangi kantor polisi. Dinda melaporkan kasusnya dengan suara gemetar tapi mantap. Dokter dari rumah sakit sudah menyerahkan hasil visum, dan Ghenadie mengumpulkan saksi serta bukti rekaman lokasi.Kabar laporan Dinda menyebar cepat. Media mulai menyorot kasus pelecehan yang melibatkan nama keluarga pejabat. Didik mencoba menghubungi Dinda, tapi semua pesannya tak dibalas. Bahkan nomor ponselnya sudah diblokir.Di ruang kerja Pak Santo, suasana memanas."Dia sudah lapor polisi?" bentak Pak Santo.Didik mengangguk. "Dan media mulai mencium. Mereka tulis aku pelaku percobaan pemerkosaan.""Kita harus redam ini! Suruh orang-orang di dewan direksi, cari cara. Jangan sampai hubungan keluarga kita dengan PT Rekarsa kebongkar gara-gara kamu!"Sementara itu, Dinda kembali ke rumah dan mengemasi semua barang-barang yang mengingatkannya pada Didik. Foto, boneka hadiah, surat, semuanya masuk ke dalam kotak besar yang langsung ia buang."Aku nggak percaya pernah mencint
Pagi itu, Ghenadie belum sempat menyesap kopinya ketika Panji muncul dengan wajah muram."Aku butuh bantuanmu, Nad," katanya lirih. "Tanahku... yang di timur laut taman bermain... ada yang klaim."Ghenadie menyandarkan tubuhnya di kursi. "Klaim bagaimana maksudmu?""Katanya itu sudah dijual. Padahal aku, bahkan ayahku, nggak pernah jual. Aku punya dokumen lengkap, termasuk surat dari tahun 1960. Diketahui kepala kampung dan Wedana."Mata Ghenadie menyipit. "Mereka pakai nama siapa buat klaim itu?""PT Rekarsa."Nama itu lagi.Mata Ghenadie langsung menangkap pola. Perusahaan cangkang itu disebut-sebut dalam laporan Panama. Didaftarkan atas nama samaran, digerakkan oleh bayangan-bayangan di balik politik dan properti."Aku harus lihat sendiri," katanya tegas.Dua jam kemudian, mereka sudah berdiri di depan pagar kawat berduri yang baru dipasang. Di baliknya, bangunan kecil mulai berdiri. Di tanah milik Panji."Siapa yang membangun ini?" tanya Panji pada pria tua yang berjaga."Ini proy
Tiga minggu setelah konferensi pers yang mengguncang media, Ghenadie mulai mencoba menjalani hidup normal. Tapi "normal" adalah ilusi yang rapuh.Pagi itu, ia sedang membaca laporan pemulihan keuangan perusahaan ketika sekretaris barunya mengetuk pintu."Pak, ada tamu bernama Panji. Katanya penting."Ghenadie mengerutkan kening. "Panji... suruh masuk."Seorang pria bertubuh sedang, wajahnya lelah tapi matanya masih tajam, masuk dan menjabat tangannya erat."Maaf datang tiba-tiba, Nad. Tapi aku tidak tahu harus ke siapa lagi.""Silakan duduk. Ada apa sebenarnya?"Panji menarik napas panjang. "Taman bermainku... kamu tahu yang di pinggir kota itu, seluas seratus hektar...""Yang kamu bangun dari nol itu? Apa kabar tempat itu?"Panji tersenyum pahit. "Itu dia masalahnya. Aku nggak sanggup lagi. Biaya operasional gila-gilaan. Investor mundur setelah dengar kasus Hendro. Padahal nggak ada hubungannya."Ghenadie menatapnya dalam. "Dan kamu datang ke sini karena...""Aku ingin menjualnya. Ke
Tiga minggu setelah Hendro ditangkap, Ghenadie menerima surat tak bertanda. Isinya hanya satu kalimat yang diketik rapi:“Mereka belum selesai denganmu.”Ia duduk diam di ruangannya, mengamati secarik kertas itu sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Surat ini tidak datang dari polisi. Tidak dari media. Tidak dari siapa pun yang bisa dia tebak.Seseorang memperingatkannya. Tapi siapa? Dan kenapa?Ketukan ringan di pintu membuyarkan pikirannya."Masuk."Dinda melangkah masuk, mengenakan blus putih dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir, wajahnya tegas, tapi ada keraguan di matanya."Pak, saya tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat... tapi saya mau bicara soal Didik."Ghenadie mengangguk. "Duduklah."Dinda menarik napas, lalu berkata, "Saya sudah memutuskan untuk tidak kembali padanya. Dia... bukan orang yang saya pikir."Ghenadie tak langsung menjawab. Ia hanya memandangnya, mencoba membaca sesuatu di balik sorot mata itu."Kenapa kamu yakin sekarang?"Dinda menunduk. "Karena sa
Dua hari kemudian, Ghenadie duduk sendirian di sebuah restoran tenang di bilangan Menteng. Ia baru saja selesai rapat internal. Lehernya pegal, pikirannya kusut.Dia butuh ruang.Pesanannya datang—steak medium rare dan jus lemon. Baru saja ia menyendokkan suapan pertama—“Wah, wah, wah... bos besar makan sendirian nih!”Ghenadie menoleh.Empat pria kekar berdiri di hadapannya. Salah satunya memakai hoodie hitam dengan lambang tengkorak. Tatapan mereka menantang.“Maaf, saya tidak kenal kalian,” kata Ghenadie tenang.“Kenalin, kami temannya Didik. Pacarnya Dinda,” kata pria berambut cepak. “Dan kamu... ngapain deket-deket cewek orang?”Ghenadie mengangkat alis. “Saya bosnya. Kami bekerja bersama. Itu saja.”“Kerja? Atau modus?”Tawa kasar mereka menggema. Pelayan mulai gelisah, tapi belum berani campur tangan.“Sudah. Kalau tidak ada urusan, silakan pergi.”Sebuah tamparan mendarat di wajah Ghenadie.Brak!“Jangan sok suci, lo!”Seketika meja terjungkal. Piring pecah. Ghenadie didorong
Langit sore berwarna merah saga saat kerumunan berkumpul di lapangan utama perusahaan. Seekor ayam raksasa—hasil dari proyek genetik para insinyur gila itu—berdiri menjulang setinggi rumah, mengeluarkan suara rendah yang menggetarkan dada.Dan lalu, dengan dentuman besar, telur raksasa jatuh ke tanah, membuat tanah bergetar seperti gempa kecil."Ya ampun...," bisik Dinda, karyawan muda yang berdiri di samping Ghenadie.Ghenadie hanya menggelengkan kepala, matanya gelap menatap kekacauan yang baru saja dimulai."Ini gila," gumamnya. "Siapa yang menyetujui eksperimen ini tanpa sepengetahuan direksi?"Dinda menunduk, wajahnya pucat. "Sepertinya... para kepala divisi riset, Pak. Mereka... mereka dibujuk pihak ketiga. Ada banyak uang terlibat."Ghenadie mendesah dalam, menahan gejolak amarah."Aku ingin semua data riset, laporan keuangan, dan nama-nama yang terlibat. Sekarang juga."Dinda mengangguk cepat. "Baik, Pak."Malam itu, di ruang rapat utama, berkas-berkas menumpuk di atas meja pa
Malam itu, Ghenadie duduk di ruangannya, lampu temaram menyinari meja yang penuh berkas. Di sudut ruangan, Dinda menunggu sambil memegang laptop, ekspresinya gelisah."Ada perkembangan baru," kata Dinda perlahan.Ghenadie mengangguk, matanya menatap kosong ke layar komputer."Surya mengadakan pertemuan rahasia malam ini," lanjut Dinda. "Lokasinya di Gudang 7."Ghenadie mengangkat kepala. "Gudang 7? Bukankah itu sudah tidak aktif?""Itu yang kita pikir," gumam Dinda. "Tapi belakangan, ada pergerakan barang yang aneh. Saya dapat rekamannya dari CCTV."Ia memutar video di laptop. Di layar, terlihat sekelompok pria berpakaian kasual masuk ke gudang kosong sambil membawa tas besar."Surya ada di sana?" tanya Ghenadie cepat.Dinda mengangguk."Kurasa ini lebih besar dari sekadar korupsi kecil," kata Ghenadie perlahan, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Mereka menyelundupkan sesuatu.""Kalau begitu, kita harus bertindak," ujar Dinda, matanya menyala semangat.Ghenadie berdiri, menarik jaketn
Suasana sore di PT. Surya Timur Logistics begitu tenang. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di balik deretan gudang besar. Ghenadie berdiri di balkon kecil di lantai dua, memandangi halaman yang mulai sepi.Sejak reformasi yang ia lakukan tiga bulan lalu, perusahaan ini memang berubah drastis. Tapi ketenangan yang ia rasakan hari itu terasa... ganjil.Ada sesuatu yang tidak beres.Pikirannya terus kembali ke laporan kecil yang diterima pagi tadi, sebuah memo anonim, hanya satu kalimat:"Hati-hati pada orang yang kau pikir sekutu."Ghenadie menggenggam kertas itu di sakunya.Langkah kaki mendekat. Dinda muncul, membawa map berisi laporan keuangan terbaru."Pak Ghenadie," sapanya dengan suara lembut. "Laporan triwulan sudah dirangkum. Mau saya review sekarang?"Ghenadie berbalik, tersenyum tipis."Boleh. Tapi sebelum itu..." Ia menatap Dinda dalam-dalam. "Kamu percaya semua orang di manajemen ini bersih?"Dinda tampak terkejut, tapi cepat menguasai diri."Saya