Asap tebal mengepul dari reruntuhan Fasilitas Bawah Tanah Libtar. Ledakan yang mengguncang bumi hanya menyisakan puing-puing logam hangus dan gemuruh api yang belum padam.Di balik kehancuran itu, sesuatu yang jauh lebih besar mulai bergerak, sebuah pesan, suara dari masa lalu, mulai menjalar melalui gelombang siaran global, menembus batas negara, bahkan langit-langit stasiun luar angkasa.Fail-safe ciptaan Arix, kini aktif.Seluruh dunia terdiam.Layar-layar besar di kota-kota megapolitan berkedip. Stasiun televisi terganggu. Ponsel-ponsel berdering sendiri, menampilkan wajah seorang pria dengan rambut perak dan mata yang bersinar lembut, namun menyimpan luka.Arix, melalui siaran radio dan televisi serta android juga media lainnya. "Jika kalian menonton ini... maka fasilitas Libtar telah hancur. Aku tahu waktu ini akan datang. Aku hanya tak tahu secepat ini. Tapi, itu berarti kalian siap mendengar apa yang selama ini kusembunyikan dari dunia." Orang Asing di jalanan Tokyo:
Tembok-tembok ruang bawah tanah bergetar pelan. Di layar holografik pusat komando, Ghenadie menyaksikan tayangan rekaman yang tak pernah ia harapkan.Wajah pria itu muncul jelas. Bram, pemrogram jaringan internal, salah satu orang kepercayaan Ghenadie sejak pembentukan Unit Cahaya. Tapi kini, dalam tayangan itu, Bram sedang menyerahkan data terakhir tentang Arix kepada simbol merah legam: Trinity.“Dinda,” suara Ghenadie parau, “putar ulang sektor 7-G. Fokus pada tangan kirinya.”Dinda mengangguk, jemarinya menari cepat di atas antarmuka transparan. Zoom. Detil. Satu kilatan cahaya dari saku Bram, chip kristal oranye. Itu adalah salinan lokasi sel-sel empati cadangan Arix.“Dia menyalin semuanya,” desis Ghenadie. “Bahkan kami tak punya back-up segitu lengkap.”Dinda menatap Ghenadie. “Jadi… yang mencuri bukan Arix?”Ghenadie berdiri dari kursi perunggunya. Wajahnya tertutup bayangan. “Arix hanya peringatan awal. Yang sesungguhnya berbahaya… adalah manusia yang ingin menjadi Arix.”Sem
Langit Antartika tetap kelabu, menyelimuti daratan es dengan kesunyian yang mencurigakan, seolah menyimpan rahasia yang enggan terungkap. Di bawah permukaan tanah beku, sebuah markas rahasia berdiri tersembunyi, menyamar sebagai pusat penelitian ilmiah. Di dalamnya, pertemuan penting baru saja dimulai, bukan sekadar pertemuan biasa, tetapi forum genting yang dipenuhi ketegangan. Suasana ruangan lebih panas dari suhu di luar, karena konspirasi besar yang selama ini disembunyikan mulai menguak dirinya secara perlahan namun pasti.Letnan Kolonel Arman, perwakilan Indonesia yang sebelumnya hanya bertindak sebagai pengamat pasif, kini berdiri di tengah ruangan dengan sorot mata tegas. Ia telah membobol komunikasi internal dari TRINITY, aliansi rahasia Korea Selatan, Jepang, dan Israel dan membawa bukti keterlibatan mereka dalam pembobolan fasilitas peternakan Genetika G-9 di Kalimantan. Di depan meja oval besar tempat para perwakilan negara-negara adidaya duduk, ia akhirnya berbicara.“
Hujan tidak pernah terasa seasing ini.Di langit muram yang menggantung rendah di atas kota pusat penelitian Arix, petir menyambar seperti peringatan ilahi, sementara air membasahi bulu emas pucat di tubuh seekor makhluk yang berdiri dengan tatapan sendu namun teguh.NaraAnak ayam mutan, generasi ke-7 dari program rekayasa biologis Arix, kini berdiri di ambang keputusan yang bisa mengubah dunia. Ia bukan ayam biasa. Vokalnya, yang dihasilkan dari penyilangan genetik dan integrasi mikroresonator di pita suaranya, mampu berinteraksi langsung dengan sistem digital. Ia tidak hanya bisa membuka jaringan terkunci. Ia bisa menjungkirbalikkan sistem keamanan global.Dan ia tahu... dunia belum siap."Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, Nara?" suara parau menyapa dari balik bayang bangunan roboh. Suara itu milik Revan, seekor gagak modifikasi yang dulu menjadi mentor dan pengawasnya di bawah Proyek Arix.Nara menoleh pelan. Matanya yang bersinar biru menyala dalam kegelapan. "Kau
Malam itu, langit Kota Nova gelap tanpa bintang. Hujan gerimis turun pelan-pelan, seolah menangisi keputusan yang diumumkan dunia hari itu.PBB mengeluarkan mandat global:"Semua makhluk bio-mutan harus dikendalikan atau dieliminasi. Risiko terhadap kestabilan internasional tidak lagi dapat ditoleransi. Tidak akan ada pengecualian."Satu nama muncul di peringkat tertinggi daftar ancaman global: CLARIA.Di ruang bawah tanah markas rahasia Ghenadie, lampu-lampu neon berkelip temaram. Di antara deretan layar holografik dan server berdengung, suasana mencekam. "Mereka menempatkan Claria sebagai ancaman level tinggi... setara senjata nuklir," ujar Dinda, matanya masih terpaku pada layar. Ghenadie berdiri kaku. "Padahal Claria satu-satunya yang masih... sadar. Yang masih punya rasa. Mereka tak tahu apa-apa." Dinda menoleh, suaranya gemetar, "Mereka akan memburunya, Ghen. Bukan hanya itu. Mereka akan mengirim pemburu—satuan elit. Sudah ada tim dari Amerika dan Uni Eropa yang mend
Angin senja berhembus lembut di atas bukit-bukit hijau Sanctuary Gallius. Burung-burung berkicau rendah, dan suara air mengalir dari sungai jernih di lembah seolah menyanyikan lagu kedamaian.Di sinilah ayam-ayam mutan muda—makhluk hasil eksperimen genetika yang gagal namun justru menemukan harmoni dalam keberadaan mereka—menjalani kehidupan damai, jauh dari hiruk-pikuk dunia manusia.Namun, kedamaian itu mulai retak.Malam itu, cahaya bintang tertutup oleh awan pekat. Di balik bayangan reruntuhan menara observatorium tua, dua sosok berkamuflase menyelinap perlahan, menyatu dengan semak dan dedaunan."Alpha, posisi aman. Tidak terdeteksi," bisik agen Jepang, Haruto, melalui komunikasi internal."Konfirmasi. Koordinat zona 3. Target: Area Reproduksi dan Komando Ayam Mutan," jawab agen Mossad, Arkix, dari sisi lain hutan.Di belakang mereka, dua tim elit—campuran pasukan intelijen Jepang dan Israel—bergerak cepat, menyusuri jalur hutan lebat menuju jantung Sanctuary Gallius.Namun apa y