Home / Urban / Tukang Bakso Jadi Miliarder / 80-Jejak yang Menghilang

Share

80-Jejak yang Menghilang

last update Last Updated: 2025-04-12 07:45:20

Hujan turun tipis di atas atap rumah itu. Suara rintiknya mengalun pelan, mengiringi detak jam dinding yang seolah melambat. Ghenadie duduk di ruang tengah dengan pandangan tajam menatap layar laptopnya.

Pencarian terakhirnya nihil. Tak ada jejak, tak ada alamat. Joko dan Reza seperti lenyap ditelan bumi.

Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Api amarah di dadanya makin menyala.

“Mereka harus dilenyapkan,” bisiknya lirih, tapi penuh tekad. “Mereka adalah duri dalam daging. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menghalangi pernikahanku dengan Desy.”

Desy... Gadis itu kini berada di dalam rumahnya. Sudah lama ia dilindungi dari dunia luar, terutama dari Reza, lelaki keji yang dulu hampir merenggut kehormatannya.

Sekarang Reza malah bekerja sama dengan Joko. Joko, pengkhianat berhati licik, yang dulu menguasai perusahaan Pak Anton, ayah Ghenadie, dengan cara-cara kotor.

“Satu mencoba memperkosa kekasihku,” gumamnya pelan. “Yang satu mencuri perusahaan keluargaku. Mereka berdua p
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   81-Duri Dalam Daging

    Malam itu hujan turun perlahan, seperti tetes-tetes luka yang tak kunjung sembuh di hati Desy. Ia duduk di ruang tamu rumah mereka Ghenadie, sebuah tempat yang terasa terlalu sunyi untuk menampung begitu banyak rahasia.Aroma kayu manis dari lilin aroma terapi melayang samar di udara, tak cukup kuat untuk mengusir hawa dingin yang merayap dari dalam dada mereka masing-masing.Di layar ponsel Desy, berita kematian Reza dan Joko menyebar cepat. Dua pria itu ditemukan di tempat yang sama, pasar malam tempat nongkrong, dengan kondisi jantung mereka seolah pecah dari dalam, tanpa bekas luka luar sedikit pun.Desy menatap layar dengan tangan gemetar, lalu mengangkat wajahnya menatap pria di depannya. Ghenadie duduk tenang, seolah berita itu hanya angin lalu. Tapi Desy tahu, ia tahu betul siapa Ghenadie sebenarnya.“Kamu… kamu membunuh mereka?” tanya Desy dengan suara nyaris berbisik.Matanya tak berkedip, jantungnya berdetak cepat, tak jauh berbeda dari korban yang kini terbujur kaku di dal

    Last Updated : 2025-04-13
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   82-Setelah Kegelapan Itu

    Hening. Putih. Bau obat-obatan. Suara detak mesin monitor.Ghenadie membuka mata perlahan. Cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Tenggorokannya kering, lidahnya terasa pahit. Saat mencoba menggerakkan tangan, hanya gemetar kecil yang ia rasakan.“Ghenadie?” suara berat dan hangat itu terdengar, samar, seperti gema dari masa lalu.Ia menoleh perlahan. Sosok berjubah putih berdiri di samping ranjang, memegang tangan kirinya dengan mata berkaca-kaca.“Pak… Anton… Ayah?” gumam Ghenadie pelan.Pria itu, ayah kandungnya, mengangguk, tersenyum lega. “Kau akhirnya bangun, Nak. Hampir setahun kau koma.”“Setahun?”Hati Ghenadie seperti diremukkan oleh kenyataan. Ingatannya berloncatan liar: ledakan, darah, Desy menangis, mantra gaib, Joko terlempar dari atap, Reza menjerit, Pak Budi terbakar hidup-hidup.Namun, semua itu kini terasa… jauh. Seperti mimpi.“Perusahaan kita… sudah kita rebut lagi, ya, Pak? Joko sudah mati, kan? Dan Desy… dia selamat? Kita… kita mau menikah waktu itu…”Pak Anton

    Last Updated : 2025-04-13
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   83-Mimpi Itu Bukan Sekadar Mimpi

    Sudah tiga bulan sejak Ghenadie keluar dari rumah sakit. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi pikirannya justru terasa lebih hidup dari sebelumnya.Ia menulis setiap hari tentang mimpinya, tentang dunia penuh darah, sihir, dan pengkhianatan yang ia alami selama koma. Tapi seiring tulisan itu berkembang, sesuatu yang aneh mulai terjadi.Pagi itu, Ghenadie duduk di ruang kerjanya, menyeduh kopi sembari membuka laporan internal perusahaan yang dikirimkan secara rutin oleh sekretaris ayahnya. Di halaman ketujuh, matanya terpaku pada sebuah angka. Ada selisih besar dalam laporan pengeluaran biaya promosi."Ini... tidak masuk akal," gumamnya.Ia membuka kembali catatan mimpi yang ia tulis beberapa minggu lalu. Dalam dunia bawah sadarnya, ia pernah ‘mengadili’ Pak Budi karena terbukti menggelapkan dana perusahaan bersama keponakannya, Joko.Kini, angka itu seperti bukti nyata bahwa cerita itu bukan hanya mimpi. Seakan garis tipis antara dunia tidur dan bangun mulai pudar.Malam itu, Ghenadi

    Last Updated : 2025-04-14
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   84-Lambatnya Keadilan

    Sudah sebulan sejak rapat darurat itu. Pak Budi dan Joko telah dinonaktifkan dari perusahaan, seluruh akses mereka ke sistem internal dicabut, dan semua berkas serta rekaman suara sudah diserahkan ke pihak berwajib.Ghenadie menyangka proses hukum akan berjalan cepat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Cuma sekarang dia punya kawan, karena Hana sekaarang di rekrut jadi pegawainya.Setiap kali Ghenadie menghubungi penyidik, jawabannya selalu sama, “Kami masih dalam tahap verifikasi,” atau “Kami butuh waktu karena ini melibatkan audit keuangan lintas tahun.”Bahkan ada satu panggilan dari kantor polisi yang berakhir dengan nada bicara menggantung.Hana menutup telepon dengan geram. “Ini sudah keterlaluan. Bukti lengkap, saksi ada, tapi mereka terus menunda.”Ghenadie menatap jendela ruang kerjanya. Hujan turun deras siang itu. Udara dingin, tapi bukan karena cuaca. Tapi karena firasat buruk yang terus menghantuinya.“Dalam mimpiku... keadilan juga lambat. Bahkan tak pernah datang. Kar

    Last Updated : 2025-04-15
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   85-Bayang-Bayang di Balik Hukum

    Ghenadie menatap layar laptopnya yang menampilkan salinan laporan resmi yang ia serahkan dua bulan lalu. Semua bukti sudah ia lampirkan. Video rekaman, dokumen transaksi gelap, bahkan kesaksian karyawan internal yang bersedia menjadi whistleblower.Namun semuanya... lenyap. Tidak ada tindak lanjut. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada kabar.Selembar surat dari kejaksaan yang hanya berisi satu kalimat pengembalian dokumen membuat dadanya terasa sesak.“Laporan Anda tidak memenuhi unsur pidana.” Singkat, dingin, seakan tak pernah terjadi apa-apa.Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan ke jendela ruang kerjanya. Kota terlihat damai dari lantai delapan kantor pusat perusahaannya.Tapi ia tahu, di balik gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk itu, para pemangku hukum sedang mempermainkan segalanya. “Sia-sia...” gumamnya lirih. “Semua jalur hukum ini... sia-sia.”Ia menekan nomor ayahnya. Panggilan tersambung. “Ayah, kita harus bicara lagi. Segera.”Suara dari seberang terdengar ber

    Last Updated : 2025-04-16
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   86-Pernikahan yang Tertunda

    Dua minggu kemudian, persiapan keberangkatan pun dilakukan. Tapi Ghenadie menyimpan satu rencana terakhir. Ia ingin menikah sebelum pergi.Perempuan cerdas yang ditemukan Ghenadie beberapa bulan ini. Mereka bertemu dalam sebuah forum diskusi yang membahas tentang etika hukum dan bisnis.Ghenadie datang karena rasa ingin tahunya tentang sistem hukum yang kerap dimanipulasi. Hana hadir sebagai salah satu panelis muda, mewakili kelompok advokat HAM independen.Sejak itu, mereka sering bertemu lagi, kadang dalam forum debat, kadang dalam diskusi-diskusi kecil di kafe kampus, dan kadang karena Ghenadie butuh teman bicara.Hana jadi tempat Ghenadie mencurahkan keresahan, tentang bisnis keluarganya, tentang pengkhianatan pak budi dan keponakannya Joko, tentang ketakutannya akan menjadi bagian dari sistem yang ia benci.Awalnya semua berjalan biasa. Hana mendengarkan dengan kepala dingin, kadang menyela dengan kritik tajam, kadang menantangnya dengan pertanyaan filosofis yang membuat Ghenadie

    Last Updated : 2025-04-16
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   87-Perjalanan yang Tak Terduga

    Pesawat berbadan besar itu perlahan mengangkat tubuhnya dari landasan, menembus langit biru menuju benua jauh di selatan. Di balik jendela kecil kelas satu, Ghenadie duduk dengan pandangan kosong menatap awan yang menggumpal seperti kapas.Australia, benua yang ia pilih bukan tanpa alasan. Luas, sunyi, dan baginya, penuh kemungkinan. Ia sudah terlalu lama hidup dalam keramaian penuh kepalsuan.Dunia bisnis yang keras, hubungan kekeluargaan antara karyawan yang penuh tekanan, dan kota yang tak pernah tidur. Ia ingin menghilang atau lebih tepatnya, menemukan dirinya kembali.Namun perjalanannya bukan semata-mata pelarian. Ada sesuatu yang menuntunnya ke sana, entah mimpi, entah takdir. Ia hanya tahu, ia harus pergi.Baru saja ia hendak memejamkan mata, sebuah keributan kecil terdengar dari lorong pesawat tak jauh dari tempat duduknya."Waduh, pak …! Apa tidak bisa lihat? Barang Bapak kan terlalu besar! Ini mengganggu orang lain!"Ghenadie menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan berwaja

    Last Updated : 2025-04-17
  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   88-Langkah Awal

    Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap

    Last Updated : 2025-04-18

Latest chapter

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   102-Taman Bermain yang Mati

    Tiga minggu setelah konferensi pers yang mengguncang media, Ghenadie mulai mencoba menjalani hidup normal. Tapi "normal" adalah ilusi yang rapuh.Pagi itu, ia sedang membaca laporan pemulihan keuangan perusahaan ketika sekretaris barunya mengetuk pintu."Pak, ada tamu bernama Panji. Katanya penting."Ghenadie mengerutkan kening. "Panji... suruh masuk."Seorang pria bertubuh sedang, wajahnya lelah tapi matanya masih tajam, masuk dan menjabat tangannya erat."Maaf datang tiba-tiba, Nad. Tapi aku tidak tahu harus ke siapa lagi.""Silakan duduk. Ada apa sebenarnya?"Panji menarik napas panjang. "Taman bermainku... kamu tahu yang di pinggir kota itu, seluas seratus hektar...""Yang kamu bangun dari nol itu? Apa kabar tempat itu?"Panji tersenyum pahit. "Itu dia masalahnya. Aku nggak sanggup lagi. Biaya operasional gila-gilaan. Investor mundur setelah dengar kasus Hendro. Padahal nggak ada hubungannya."Ghenadie menatapnya dalam. "Dan kamu datang ke sini karena...""Aku ingin menjualnya. Ke

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   101-Bersih

    Tiga minggu setelah Hendro ditangkap, Ghenadie menerima surat tak bertanda. Isinya hanya satu kalimat yang diketik rapi:“Mereka belum selesai denganmu.”Ia duduk diam di ruangannya, mengamati secarik kertas itu sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Surat ini tidak datang dari polisi. Tidak dari media. Tidak dari siapa pun yang bisa dia tebak.Seseorang memperingatkannya. Tapi siapa? Dan kenapa?Ketukan ringan di pintu membuyarkan pikirannya."Masuk."Dinda melangkah masuk, mengenakan blus putih dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir, wajahnya tegas, tapi ada keraguan di matanya."Pak, saya tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat... tapi saya mau bicara soal Didik."Ghenadie mengangguk. "Duduklah."Dinda menarik napas, lalu berkata, "Saya sudah memutuskan untuk tidak kembali padanya. Dia... bukan orang yang saya pikir."Ghenadie tak langsung menjawab. Ia hanya memandangnya, mencoba membaca sesuatu di balik sorot mata itu."Kenapa kamu yakin sekarang?"Dinda menunduk. "Karena sa

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   100-Serangan Mendadak

    Dua hari kemudian, Ghenadie duduk sendirian di sebuah restoran tenang di bilangan Menteng. Ia baru saja selesai rapat internal. Lehernya pegal, pikirannya kusut.Dia butuh ruang.Pesanannya datang—steak medium rare dan jus lemon. Baru saja ia menyendokkan suapan pertama—“Wah, wah, wah... bos besar makan sendirian nih!”Ghenadie menoleh.Empat pria kekar berdiri di hadapannya. Salah satunya memakai hoodie hitam dengan lambang tengkorak. Tatapan mereka menantang.“Maaf, saya tidak kenal kalian,” kata Ghenadie tenang.“Kenalin, kami temannya Didik. Pacarnya Dinda,” kata pria berambut cepak. “Dan kamu... ngapain deket-deket cewek orang?”Ghenadie mengangkat alis. “Saya bosnya. Kami bekerja bersama. Itu saja.”“Kerja? Atau modus?”Tawa kasar mereka menggema. Pelayan mulai gelisah, tapi belum berani campur tangan.“Sudah. Kalau tidak ada urusan, silakan pergi.”Sebuah tamparan mendarat di wajah Ghenadie.Brak!“Jangan sok suci, lo!”Seketika meja terjungkal. Piring pecah. Ghenadie didorong

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   99-Jejak di Balik Cangkang

    Langit sore berwarna merah saga saat kerumunan berkumpul di lapangan utama perusahaan. Seekor ayam raksasa—hasil dari proyek genetik para insinyur gila itu—berdiri menjulang setinggi rumah, mengeluarkan suara rendah yang menggetarkan dada.Dan lalu, dengan dentuman besar, telur raksasa jatuh ke tanah, membuat tanah bergetar seperti gempa kecil."Ya ampun...," bisik Dinda, karyawan muda yang berdiri di samping Ghenadie.Ghenadie hanya menggelengkan kepala, matanya gelap menatap kekacauan yang baru saja dimulai."Ini gila," gumamnya. "Siapa yang menyetujui eksperimen ini tanpa sepengetahuan direksi?"Dinda menunduk, wajahnya pucat. "Sepertinya... para kepala divisi riset, Pak. Mereka... mereka dibujuk pihak ketiga. Ada banyak uang terlibat."Ghenadie mendesah dalam, menahan gejolak amarah."Aku ingin semua data riset, laporan keuangan, dan nama-nama yang terlibat. Sekarang juga."Dinda mengangguk cepat. "Baik, Pak."Malam itu, di ruang rapat utama, berkas-berkas menumpuk di atas meja pa

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   98-Langkah Baru, Luka Lama

    Malam itu, Ghenadie duduk di ruangannya, lampu temaram menyinari meja yang penuh berkas. Di sudut ruangan, Dinda menunggu sambil memegang laptop, ekspresinya gelisah."Ada perkembangan baru," kata Dinda perlahan.Ghenadie mengangguk, matanya menatap kosong ke layar komputer."Surya mengadakan pertemuan rahasia malam ini," lanjut Dinda. "Lokasinya di Gudang 7."Ghenadie mengangkat kepala. "Gudang 7? Bukankah itu sudah tidak aktif?""Itu yang kita pikir," gumam Dinda. "Tapi belakangan, ada pergerakan barang yang aneh. Saya dapat rekamannya dari CCTV."Ia memutar video di laptop. Di layar, terlihat sekelompok pria berpakaian kasual masuk ke gudang kosong sambil membawa tas besar."Surya ada di sana?" tanya Ghenadie cepat.Dinda mengangguk."Kurasa ini lebih besar dari sekadar korupsi kecil," kata Ghenadie perlahan, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Mereka menyelundupkan sesuatu.""Kalau begitu, kita harus bertindak," ujar Dinda, matanya menyala semangat.Ghenadie berdiri, menarik jaketn

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   97-Bayang-Bayang Di Dalam

    Suasana sore di PT. Surya Timur Logistics begitu tenang. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di balik deretan gudang besar. Ghenadie berdiri di balkon kecil di lantai dua, memandangi halaman yang mulai sepi.Sejak reformasi yang ia lakukan tiga bulan lalu, perusahaan ini memang berubah drastis. Tapi ketenangan yang ia rasakan hari itu terasa... ganjil.Ada sesuatu yang tidak beres.Pikirannya terus kembali ke laporan kecil yang diterima pagi tadi, sebuah memo anonim, hanya satu kalimat:"Hati-hati pada orang yang kau pikir sekutu."Ghenadie menggenggam kertas itu di sakunya.Langkah kaki mendekat. Dinda muncul, membawa map berisi laporan keuangan terbaru."Pak Ghenadie," sapanya dengan suara lembut. "Laporan triwulan sudah dirangkum. Mau saya review sekarang?"Ghenadie berbalik, tersenyum tipis."Boleh. Tapi sebelum itu..." Ia menatap Dinda dalam-dalam. "Kamu percaya semua orang di manajemen ini bersih?"Dinda tampak terkejut, tapi cepat menguasai diri."Saya

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   96-Gerbang Kedua Hidup Ghenadie

    Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   95-Antara Tiga Luka

    Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   94-Mencoba Menata Hidup

    Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status