Tania hanya tersenyum. “Lanjutkan,” bisiknya sambil menguap. “Dia memang selalu melampiaskan hasratnya saat ini.”Juned tidak terkejut. Dengan gerakan percaya diri, ia menarik pinggul Cindy kembali ke posisi semula. “Tenang saja, Nyonya tidak akan marah,” desisnya di telinga Cindy yang merah. Cindy tertegun, tubuhnya masih bergetar antara rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan. “Tapi... tapi aku—” “Santai,” Tania menyela dengan lembut. “Kau sudah melakukan tugas dengan baik.” Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Juned dan Cindy saling mencapai puncak surgawi yang diidamkan setiap pasangan.Cindy masih terengah-engah, tubuhnya lemas di atas kasur yang kini semakin berantakan. Matanya beralih antara Juned yang masih menindihnya dan Tania yang kini duduk santai di samping mereka, mengamati dengan tatapan puas. “Kau baik sekali, Cindy,” bisik Tania tiba-tiba, tangannya yang halus menyentuh pundak pelayan muda itu. “Kami membutuhkan seseorang seperti kamu.”Juned menar
“Sial, aku harus bagaimana ini?” Gerutu Juned pada diri sendiri.Tanpa sadar, tangannya merayap ke bawah selimut, jari-jarinya menyentuh barangnya sendiri yang masih tegang. Nafasnya memburu, tubuhnya sedikit melengkung— Lalu tiba-tiba, dia mendengar suara gesekan kecil. Juned membuka mata sedikit, dan jantungnya nyaris berhenti. Cindy masih duduk di sudut kamar, tetapi sekarang matanya tertuju padanya—lebar, penuh keheranan, tapi tidak berusaha memalingkan pandangan. Bibirnya sedikit terbuka, wajahnya memerah. “Astaga aku lupa kalau dia masih di sini.” GumJuned membeku. Tapi entah mengapa, di bawah tatapan Cindy yang penuh rasa ingin tahu, tangannya justru tidak berhenti. Malah semakin yakin. Cindy tidak bergerak. Tidak protes. Hanya menatap, tetapi nafasnya kini semakin cepat. Juned memperhatikan bagaimana tangan gadis itu mencengkeram ujung rok seragamnya, jari-jarinya menekan lipatan kain dengan gemetar. Dengan gerakan lambat yang disengaja, Juned menyingkap selimu
“Juned? Kamu di sini?” Suara Tania—istri Juned—menggema di kamar.Juned membeku, tubuhnya masih menindih Devina yang seketika kembali ke posisi “tidur”-nya. Napas mereka tersengal, jantung berdegup kencang—sekarang bukan hanya karena gairah, tapi juga panik. Devina memejamkan mata lebih rapat, berpura-pura mengatur napas teratur, meski dadanya masih naik turun tak beraturan. Juned dengan cepat menarik diri, berusaha menutupi bagian bawahnya yang masih tegang. “A-Aku... aku hanya mengecek Devina. Dia... kepanasan,” Juned berbohong dengan suara gemetar. Tania berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan. Alisa masih tertidur pulas di sisi lain tempat tidur, Devina tertidur dengan tanktop-nya yang masih tersingkap hingga memperlihatkan bukit yang segar, dan Juned yang berdiri kaku dengan piyama yang tidak bisa menyembunyikan keadaan tubuhnya. “Kepanasan?” ulang Tania perlahan, satu alisnya terangkat. Devina menggigit bagian dalam pipinya, menahan frustasi karena Juned terp
Ruangan yang sebelumnya dipenuhi desahan dan bisikan panas, kini berangsur sunyi. Alisa terlelap dengan senyum puas terpahat di bibirnya, tubuhnya yang lemas terbaring tepat di antara dua orang yang paling rumit dalam hidup Juned. “Apa yang sudah kulakukan...?”Juned menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit kamar yang remang-remang. Tubuhnya masih lelah, tapi pikirannya mulai jernih kembali—dan rasa bersalah itu datang menghantam seperti gelombang. “Kau... kau memang setan berwajah malaikat,” bisiknya pelan. Dia memiringkan kepala, melihat Alisa yang sudah tertidur pulang di sebelahnya, lalu pandangannya terjebak pada sosok Devina di sisi seberang. Juned memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikiran yang bergejolak. Namun baru beberapa menit dalam kegelapan, dia merasakan sesuatu— Jari-jemari halus menyentuh kulitnya yang terbuka, menari dengan mahir di atas barangnya yang tanpa sehelai kain. Dia membuka mata dengan cepat. Alisa masih terlihat tertidur
Juned tak lagi bisa berpikir jernih. Tubuhnya bergerak mengikuti insting purba, mengejar kenikmatan yang ditawarkan Alisa dengan segala risiko. Di sudut kamar yang redup, di antara desahan dan erangan yang ditahan, dunia seolah hanya berisi mereka berdua. Alisa memeluk erat bahu Juned, kukunya meninggalkan bekas merah di kulitnya. "Lebih... dalam," pintanya dengan suara serak, sengaja menggigit bahu Juned untuk menahan teriakan. Tapi mereka lupa satu hal. Di balik selimut tebal, sepasang mata terbuka perlahan. Devina mengerjapkan mata, disorientasi oleh suara berdesah di kamarnya. Perlahan, tanpa membuat gerakan tiba-tiba, dia menggeser selimut cukup untuk melihat. Pemandangan yang tersaji membuat nafasnya tercekat. Juned—pria yang telah membebaskannya dari kehidupan sulit—kini terlihat jelas dalam cahaya temaram, tubuhnya melekat pada Alisa. Adik ipar Juned sendiri. Devina menutup mulutnya dengan tangan, jantung berdebar kencang. Tapi anehnya... dia tidak berge
Creeek—Pintu dapur terbuka tiba-tiba. “Maaf, Nona, saya hanya ingin—“ Suara itu terpotong mendadak. Mata pelayan muda itu membelalak. Piring berisi buah yang ia bawa hampir terjatuh. Di depannya, Juned berdiri dengan piyama tergelincir sampai lutut, sementara tangan Alisa masih menggenggam erat miliknya. “KELUAR!” Alisa mendesis, wajahnya berubah dingin dalam sekejap. Pelayan itu tersentak, wajahnya memucat. “S-Saya... maaf, saya—“ Juned berusaha menarik piyamanya naik dengan gemetar, rasa malu dan panik membakar wajahnya. “Ini bukan seperti yang kau pikir—“ Tapi gadis itu sudah berbalik, berlari keluar sambil menahan isak tangis. Suasana berubah tegang. Alisa memandang ke arah pintu yang terbuka lebar, lalu perlahan menoleh ke Juned. “Dia akan cerita ke semua orang,” bisiknya, tapi matanya bersinar aneh—seperti menemukan sesuatu yang menarik. Juned menatapnya dengan ngeri. “Kau... kau senang dengan ini?” Alisa menyeringai, menjilat bibirnya perlahan. “Aku hanya