Dinda bergegas mendekati Adit, matanya memeriksa luka-luka di wajah pemuda itu dengan perhatian yang sangat detail. Tangannya hampir menyentuh lebam di pipi Adit, tapi ia menahan diri di detik terakhir."Kamu sakit? Di mana sakitnya? Perlu ke rumah sakit tidak?" tanyanya bertubi-tubi dengan nada cemas.Perhatian berlebihan Dinda itu membuat Nyonya Inara, yang baru turun dari lantai dua, mengernyitkan dahi. Wanita berusia 45 tahun yang masih terlihat cantik dan elegan itu memperhatikan putrinya dengan tatapan sedikit heran."Dinda, kenapa kamu begitu..." Nyonya Inara tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi tatapannya penuh pertanyaan."Tidak apa-apa, Tante," kata Adit dengan senyum lemah. "Hanya sedikit berkelahi. Biasa." Adit segera menyahut. Ia pun sadar, Dinda terlalu berlebihan dan barusan itu, ibunya mempertanyakan perhatiannya."Berkelahi?" Dinda menatap Adit dengan mata yang makin khawatir. "Dengan siapa? Kenapa sampai seperti ini?"Pak Darmawan tertawa kecil meski ia heran. "Tenan
Dengan langkah agak tertatih, Adit kembali ke tempat duduknya di sebelah Pak Darmawan. Setiap langkah terasa berat, tulang rusuknya masih berdenyut sakit, dan rasa logam darah masih terasa di mulutnya. Tapi melihat ekspresi bangga di wajah bosnya, Adit berusaha menyembunyikan rasa sakitnya."Luar biasa! Luar biasa sekali!" seru Pak Darmawan sambil menepuk pundak Adit dengan antusias. Tepukan itu membuat Adit sedikit meringis, tapi ia berusaha tersenyum. "Dua kemenangan berturut-turut, dan yang kedua itu... astaga, itu pertarungan yang akan dibicarakan orang selama bertahun-tahun!"Lelaki tua itu tertawa dengan kepuasan yang nyata terpancar dari matanya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengecek saldo rekeningnya. Angka yang tertera di sana membuatnya tersenyum lebar - lebih dari 10 miliar rupiah keuntungan dalam satu malam. Taruhan dengan odds 1:7 untuk melawan Vikram, dan odds 1:5 untuk melawan Li Mei, semua berbuah manis."Kamu tahu, Adit," kata Pak Darmawan sambil memasukkan kembali p
Dalam kepanikan, Adit melancarkan serangan ceroboh; sebuah haymaker yang kuat tapi tidak diperhitungkan dengan baik. Li Mei dengan mudah menghindarinya dan melancarkan ayunan tinjunya dengan telak dan tepat ke dada Adit.BRAK!Adit terpental mundur, punggungnya menabrak dinding kawat arena. Ia terbatuk-batuk, darah segar keluar dari mulutnya. Kekuatan tenaga dalam Li Mei ternyata tidak kalah dari energi ghaibnya."Kau masih punya banyak yang harus dipelajari," kata Li Mei sambil berjalan pelan mendekati Adit. "Kekuatan tanpa kontrol hanya akan membuatmu kalah."Tapi Adit belum menyerah. Dengan kekuatan ghaib yang masih mengalir dalam tubuhnya, ia menggunakan dinding sebagai tumpuan dan meluncurkan dirinya ke arah Li Mei seperti peluru. Ia melancarkan sebuah spear tackle; gerakan menubruk, yang dilakukan dengan kecepatan penuh.Li Mei tidak sempat menghindar sepenuhnya. Adit berhasil menangkap pinggangnya dan membanting wanita itu ke lantai ring. Tapi bahkan dalam posisi terbanting, Li
Bel berbunyi untuk kedua kalinya malam itu, menandakan dimulainya pertarungan yang bahkan lebih menegangkan dari sebelumnya. Adit masih merasakan kelelahan dari pertarungan melawan Vikram, tapi matanya tidak lepas dari Li Mei yang berdiri di hadapannya dengan ketenangan yang menakutkan.Li Mei mengambil stance Wing Chun klasik, kedua tangannya terangkat dalam posisi siap menyerang dan bertahan secara bersamaan. Tubuhnya sedikit condong ke depan, kaki kirinya sedikit maju, dan matanya menatap tajam ke arah Adit tanpa kedip."Jangan meremehkanku karena aku perempuan," kata Li Mei pelan, suaranya terdengar seperti bisikan angin yang dingin. "Di tempatku, mereka menyebutku 'Iblis Putih' karena caraku menghabisi lawan."Adit tidak menjawab. Ia mengambil stance yang sama seperti sebelumnya, tapi kali ini ada keraguan dalam hatinya. Energi ghaib yang tadi mengalir deras dalam tubuhnya kini terasa lemah, seperti air yang hampir habis dari sumur.Tanpa aba-aba, Li Mei bergerak.Kecepatannya lu
Bel berbunyi nyaring, menandakan dimulainya pertarungan yang ditunggu-tunggu. Adit melangkah masuk ke dalam ring octagon dengan langkah mantap, meski jantungnya berdebar lumayan keras. Di seberang sana, Vikram Singh berdiri dengan postur menakutkan; seperti raksasa yang siap menghancurkan apapun yang menghalanginya.Para penonton berteriak-teriak, sebagian besar mendukung Vikram dan mengejek Adit. Suara mereka bercampur menjadi gemuruh yang memekakkan telinga. Namun Adit berusaha mengabaikan semua itu, fokus hanya pada lawannya yang kini mulai bergerak mendekatinya."Kamu yakin mau lanjut, bocah?" tanya Vikram dengan aksen India yang kental, sambil menggulung-gulung bahu besarnya. "Aku tidak mau disalahkan kalau kamu pulang dalam keadaan cacat."Adit tidak menjawab. Ia mengambil stance pertarungan, kedua tangannya terangkat dalam posisi bertahan. Dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak menggunakan kekuatan ghaib yang selama ini ia sembunyikan. Ia ingin menang dengan kemampuan normal, d
Malam berikutnya datang dengan intensitas yang sama. Seolah-olah ada magnet tak kasat mata yang menarik Adit dan Dinda ke dalam pusaran yang sama, mereka kembali terjerumus dalam kenikmatan terlarang yang seharusnya tidak pernah terjadi.Kali ini, tidak ada lagi kecanggungan seperti malam sebelumnya. Dinda datang ke kamar Adit dengan lebih percaya diri, dan Adit menyambutnya tanpa ragu-ragu yang berlebihan. Mereka sudah melewati fase pertama dari sebuah hubungan yang salah, dan kini bergerak menuju zona yang lebih berbahaya; zona di mana perasaan mungkin saja mulai terlibat.Dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi lampu tidur yang redup, mereka tenggelam dalam kenikmatan yang lebih dalam. Setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap detik kebersamaan mereka semakin mengikat mereka dalam jaring yang sulit dilepaskan.Namun, di tengah-tengah kepuasan fisik itu, Adit merasakan dilema yang semakin membesar dalam dadanya. Ia mulai menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bukan hanya sekedar p