LOGINBeberapa orang mulai bertanya. "Bang, apa yang terjadi?" "Perlu bantuan, Bang?" "Udah nelpon polisi?""Sudah," jawab Adit singkat. "Mereka perampok. Saya cuma bela diri. Kalian menjauh aja, bahaya."Orang-orang mundur, tapi tetap penasaran, tetap merekam dengan ponsel mereka.Delapan menit kemudian, lebih cepat dari perkiraan, sebuah Toyota Avanza hitam dengan kaca film gelap melaju masuk ke parkiran minimarket. Turun empat orang berbadan besar dengan pakaian rapi, kemeja dan celana panjang, tapi aura yang sama tegasnya dengan bodyguard di rumah sakit tadi. Mereka kiriman Pak Robert."Adit?" salah satunya bertanya, meski sudah jelas dari konteks."Iya. Ini orangnya. Empat. Bawa mereka," kata Adit sambil menunjuk empat pria yang kini sudah mulai sadar semua, meringkuk kesakitan, dua di antaranya dengan tangan atau kaki patah.Keempat bodyguard itu bergerak cepat dan efisien. Mereka mengangkat, atau lebih tepatnya menyeret empat penyerang itu ke dalam mobil. Dua di baris tengah, dua di
Salah satu dari mereka, yang paling depan, bertubuh paling besar, merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Tampak kilatan logam; pisau lipat dengan mata pisau sepanjang lima belas sentimeter.Adit tidak menunggu. Insting bertarung langsung mengambil alih. Ketika pria itu melangkah maju dengan pisau teracung, Adit bergerak lebih dulu; cepat, presisi, tanpa ragu.Satu langkah ke samping, menghindari tusukan pertama yang meleset tipis. Adit langsung menangkap pergelangan tangan pria itu dengan tangan kiri, memutar dengan keras; terdengar bunyi "krek" tulang yang terkilir. Pria itu meringis kesakitan. Pisau jatuh. Adit langsung menyambungnya dengan sikuan keras ke rahang; kepala pria itu terlempar ke belakang, tubuhnya limbung, lalu roboh ke lantai parkiran dengan bunyi gedebuk keras.Satu telah tumbang. Tiga orang lainnya langsung menyerang bersamaan, dengan formasi mengepung dari tiga arah berbeda. Sangat profesional dan hal itu menjadi tanda jika mereka terlatih.Orang di sebelah kanan dat
Mereka bertiga berada di kantin rumah sakit yang cukup ramai, dipenuhi keluarga pasien atau perawat yang sedang istirahat. Kantin itu terletak di lantai dua, dengan jendela besar menghadap taman dalam rumah sakit. Mereka memilih meja di pojok, agak tersembunyi dari pandangan umum, dekat dengan pilar besar yang bisa dijadikan perlindungan jika diperlukan.Adit duduk membelakangi dinding, posisi strategis agar bisa melihat pintu masuk dan seluruh ruangan. Ia mengedarkan tatapannya ke segala arah dengan gerakan halus namun waspada. Matanya memindai setiap wajah yang lewat; pria berkacamata yang membaca koran, dua orang berjas yang berbicara serius, seorang wanita muda yang menunduk main ponsel. Adit berusaha mencari sosok yang pernah ia lihat, atau siapapun yang berpotensi menjadi mata-mata. Bahasa tubuh yang terlalu kaku, tatapan yang terlalu sering melirik, atau kehadiran yang terasa janggal.Ia tak tahu, tak yakin, namun hanya merasa harus waspada saja. Instingnya kini bekerja sedemik
Tiga hari berlalu begitu saja. Waktu terasa bergerak dengan lambat dan monoton. Adit merasa cukup bosan bersembunyi di dalam apartemen yang mewah ituDia hanya keluar saat Vera mengajaknya berolahraga; satu-satunya napas segar dalam rutinitasnya yang membosankan. Mungkin dua hingga tiga jam di ruangan gym apartemen yang lengkap dengan peralatan canggih, treadmill menghadap jendela besar, dan aroma desinfektan yang khas.Setelah itu ia kembali lagi ke dalam unit tempat tinggal Vera, menghabiskan waktu dengan menonton televisi, membaca berita di ponsel, atau sekadar menatap langit-langit sambil memikirkan nasibnya.Tak ada yang ia lakukan selain menunggu. Makan pun mereka juga pesan.Tapi di tengah kebosanan dan ketidakpastian itu, Adit bersyukur. Vera tak seperti para perempuan lain yang pernah dekat dengannya; para perempuan yang selalu mengajaknya tidur. Di titik ini, Vera sungguh menjadi seorang teman baginya. Tak ada obrolan yang menjurus ke arah ranjang. Tak ada rayuan bermakna gan
Seharian Adit menghabiskan waktunya dengan menonton TV. Remote control berpindah-pindah di tangannya, dari saluran berita ke film lama, lalu ke variety show yang tidak terlalu ia perhatikan. Suara televisi mengisi kesunyian apartemen, menjadi teman satu-satunya siang itu.Ponselnya berdering keras sekitar jam dua siang. Nama Renata muncul di layar. Adit menarik napas panjang sebelum mengangkat."Halo—""ADIT! Kamu ini kemana aja?!" suara Renata meledak dari speaker. "Pergi nggak pamit! Aku khawatir tau nggak?!""Maaf, kak Ren. Kemarin aku—""Kemarin kamu kenapa? Kabur gitu aja! Mama tau nggak kamu hilang?""Aku nggak hilang…”Renata mendengus keras. "Kamu lagi di mana sekarang?""Tempat aman. Tenang aja.""Tempat aman di mana? Jawab yang jelas, Dit!""Aku nggak bisa bilang sekarang. Tapi aku baik-baik aja. Serius."Hening sejenak. Renata menghela napas panjang di seberang sana. "Kamu ini... ya udah deh. Tapi kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku, oke?""Oke. Makasih, Kak Ren."Sambu
Cahaya pagi menyusup melalui celah tirai, membentuk garis-garis terang di lantai kayu apartemen Vera. Adit terbangun dengan leher sedikit kaku. Ia melihat ponselnya. Sudah Jam sembilan lewat.Adit segera beranjak, mencari kamar mandi di dekat dapur. Setelah itu ia mengambil air di galon. Suara gerak di kamar sebelah memberitahu bahwa Vera baru bangun. Pintu kamar terbuka. Vera keluar dengan wajah kusut, masih menguap lebar. Rambutnya berantakan ke segala arah. Ia berjalan ke arah dapur di mana Adit masih ada di sana."Gila, kesiangan," gumamnya, suara serak khas orang baru bangun. "Kamu udah bangun lama?""Baru juga," jawab Adit, duduk dan meregangkan punggungnya yang pegal. Tulang-tulangnya berbunyi nyaring. "Maaf ya, merepotkan."Vera mengibas tangan acuh. "Udahlah. Mending kita pesan makan dulu. Aku laper banget." Ia mengambil ponselnya dari meja, jari-jarinya menari di layar. "Mau makan apa? Nasi goreng? Bubur ayam?""Terserah kamu aja. Aku ikut.""Oke, aku pesen nasi goreng aja d







