Share

Tumbal Bulan Suro
Tumbal Bulan Suro
Author: Wella Andriana

1. Jangan Sholat di Rumah!

"Haah! Akhirnya sampai juga," desisku begitu melihat gapura selamat datang menuju kampungku.

Segera kupercepat laju motor. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah setelah beberapa bulan tak pulang. Rindu pada rumah pun sudah menumpuk dalam dada.

Namun di tengah perjalanan fokusku teralih saat melihat ada keramaian di salah satu rumah warga. Dari bendera yang disematkan di depan rumah tersebut dapat ditebak bahwa ada yang meninggal dunia.

"Ada yang meninggal, Sat," ujar Fatih dari belakangku. Ternyata ia juga sama, sedang memperhatikan ke titik yang sama denganku.

"Iya. Tapi bukannya itu rumah Roni ya?" Tanyaku yang baru sadar jika itu adalah rumah Roni, teman sekelas kami semasa sekolah dasar.

"Iya, bener. Siapa yang meninggal ya? Apa jangan-jangan orang tua Roni?" Fatih balik bertanya.

"Ya mana aku tahu sih, Tih. Kan kita sama-sama baru dateng."

Fatih terdengar terkekeh di belakangku.

"Mau mampir dulu?" Tawar Fatih akhirnya.

Jujur aku sudah penat sekali setelah menempuh tiga jam perjalanan dengan motor, tubuh pun rasanya sudah tak sabar ingin direbahkan di atas kasur empukku.

Namun, ingin menolak takut dikira tak punya empati pada kemalangan orang. Maka dengan terpaksa aku pun menghentikan motor di jalan besar depan rumah Roni tersebut.

Bagitu motor milikku berhenti, barulah aku sadar kalau ada sesuatu yang janggal di antara kerumunan pelayat tersebut. Kenapa para pelayat itu memakai pakaian serba hitam? Tumben sekali. Mungkin kalau di kota-kota memakai pakaian hitam saat melayat sudah menjadi hal yang lumrah. Namun tidak di kampungku.

Biasa para pelayat memakai pakaian berwarna apa saja, tak pernah serentak seperti ini. Yang penting tak mencolok. Itu kebiasaan para warga di sini jika melayat.

"Tih, tumben banget warga kampung kita melayat dengan baju serba hitam. Apa mereka sudah terkontaminasi sama sinetron-sinetron di TV?" Cetusku saat Fatih sudah turun dari motor.

Fatih langsung menatapku aneh begitu mendengar perkataanku.

"Kamu udah rabun, Sat? Malah sama sekali tak ada yang pakai baju hitam di situ," balas Fatih membuat aku terhenyak sesaat.

Apa Fatih bercanda dan sengaja mengerjaiku? Padahal jelas-jelas para pelayat itu menggunakan pakaian serba hitam, tapi kenapa Fatih mengatakan tak ada yang mengenakan pakaian hitam di sana?

Aku hanya bisa bergeming menanggapi candaan Fatih tersebut, lalu memarkirkan motor dan beranjak hendak turun.

Namun belum sempat langkah kami masuk ke pekarangan rumah Roni tiba-tiba semilir angin meniup tengkuk kami dari belakang. Hawa dingin menyeruak seketika. Membuat bulu-bulu halus di sekitar tengkuk pun ikut meremang.

Kukira hanya aku saja yang merasakan keganjilan tersebut, tapi ternyata Fatih pun ikut menghentikan langkahnya.

"Kalian mau kemana?"

Kami refleks berjingkat saat mendengar suara berat dari belakang kami.

Dengan jantung yang mulai berdetak tak beraturan, perlahan kami menoleh ke belakang. Terlihat seorang pria tua renta dengan tubuh yang membungkuk sudah berdiri tak jauh di belakang kami.

"Eh, kami mau pergi melayat, Kek," sahutku sembari berusaha menelan semua kegugupan.

"Lebih baik kalian langsung pulang saja jika tak ingin terkena sial."

Aku dan Fatih langsung saling tatap, terkejut mendengar penuturan kakek tersebut.

Sejak kapan pergi melayat akan membuat sial? Justru itu adalah sesuatu yang disunnahkan dalam ajaran agama kami.

Kecuali jika memang mereka lebih mempercayai mitos-mitos, biasanya akan berucap seperti kakek ini, itu pun jika orang tersebut memiliki kematian yang tak wajar. Jika tidak, tentu orang juga akan banyak yang pergi melayat.

"Maksud Kakek apa ya?" Tanya Fatih setelah sejak tadi diam.

"Orang yang meninggal itu kematiannya tak wajar. Jadi tak perlu banyak tanya dan turuti saja saran dari saya jika kalian ingin selamat." Kakek itu berucap tegas bahkan penuh penekanan, membuat kami tiba-tiba terhipnotis dan sedikit mempercayai ucapannya.

Apalagi saat ia berbalik dan berjalan menjauh dari kami, tiba-tiba saja mendung gelap datang dan suasana berubah dingin seketika. Membuat kami langsung mengurungkan niat untuk masuk ke halaman rumah Roni.

"Kita pulang saja, Tih. Keburu hujan," tukasku langsung meraih motor yang baru beberapa saat lalu kuparkirkan.

"Bilang aja takut," ejek Fatih lagi-lagi.

"Takut apaan? Takut sama kata-kata Kakek itu? Ya enggaklah! Masa iya aku percaya sama kata-kata orang asing begitu. Bisa saja kan Kakek itu pikirannya terganggu," desisku pongah. 

Padahal memang sejujurnya aku sedikit terpengaruh oleh ucapan Kakek tersebut.

"Iya dah, iya. Tapi, ngomong-ngomong ... Sepertinya aku gak pernah lihat Kakek itu di kampung kita ini deh, Sat. Apa aku yang kudet ya?" Gumam Fatih setelah naik kembali ke atas motor.

Aku berpikir sejenak. Benar juga apa yang dikatakan Fatih. Kakek tersebut terlihat asing. Apa ia warga baru yang datang saat kami di perantauan? Tapi sungguh tak biasa-biasanya, orang yang sudah sepuh seperti itu mau berpindah-pindah rumah.

Ah, bisa saja memang ia orang baru yang pindah ke desa ini mengikuti anaknya.

Kami terus melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sedikit kupercepat laju kendaraan karena mendung di atas sana semakin pekat.

Beberapa saat kemudian, aku sudah berhenti di depan rumah besar bercat kuning dengan pagar tembok yang tinggi, rumah orang tua Fatih.

Namun, belum sempat lagi Fatih mengucapkan salam memanggil orang tuanya, terlihat Pak Wahyu sudah keluar rumah dengan sedikit panik.

"Kalian kok pulang?" Tanyanya dengan wajah penuh khawatir, membuat aku dan Fatih saling pandang kebingungan.

Kenapa Pak Wahyu malah seolah tak suka dengan kepulangan kami? Padahal Fatih adalah anak lelaki satu-satunya kesayangannya. Bahkan selama ini ia selalu menanti kepulangan anak lelakinya itu.

"Kok Bapak malah nanya gitu? Harusnya seneng dong, Pak, anak lelakinya sudah pulang ke rumah," sahut Fatih setengah menggerutu.

"Bukan begitu, Fatih. Masalahnya keadaannya sekarang berbeda."

"Berbeda gimana?" Tanyaku dan Fatih hampir bersamaan.

"Ah, sudahlah! Cepat masuk! Satria cepat sana pulang, jangan keluyuran kemana-mana lagi," usir Pak Wahyu sembari menarik tangan Fatih cepat-cepat masuk ke rumah.

Lagi-lagi aku hanya bisa tertegun melihat keanehan sikap Pak Wahyu yang tak biasa itu.

Kembali aku memacu motor menuju rumah saat merasakan rintik gerimis mulai turun.

Hanya butuh waktu sekejap saja aku sudah sampai di depan rumah. Karena memang jarak antara rumahku dan rumah Fatih tak terlalu jauh.

Saat aku turun dari motor, lagi-lagi aku dikejutkan oleh respon Ibu yang sama persis dengan Pak Wahyu tadi.

Ibu lari tergopoh-gopoh keluar dari warung sembako milik kami saat melihat kehadiranku.

"Kamu kok pulang, Nak?" Seru Ibu dengan wajah terlihat begitu panik.

"Lho kenapa memangnya, Bu? Kenapa pada aneh sih? Anaknya pulang ke rumah kok malah kayak gak suka begitu," gerutuku sembari menyalami tangan Ibu.

Terdengar Ibu menghela napas lalu tanpa berkata apapun ia membimbingku masuk ke dalam. Terlihat gurat kekhawatiran di wajahnya, membuat aku jadi bertanya-tanya.

"Bu ... Memangnya kenapa kami gak boleh pulang?" Tanyaku lirih karena sedikit khawatir.

"Ini bulan Suro, Nak."

Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Ibu. Hanya karena alasan itu mereka tak suka melihat kami pulang? Sungguh terlalu mengada-ada.

"Lalu kalau bulan Suro memangnya kenapa?" Balasku sembari meraih air mineral dingin dari dalam kulkas setelah sampai ke dapur.

"Kamu masih ingat kan? Di kampung ini selalu saja ada lima orang pemuda yang meninggal tiap bulan Suro?"

"Lalu?"

"Ya Ibu takut kamu kenapa-kenapa, Satria," ungkap Ibu penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas sejenak mendengar jawaban Ibu.

Kuraih kedua bahu wanita yang telah melahirkanku itu, lalu kutatap manik matanya lekat.

"Bu, itu semua hanya kebetulan. Maut, rezeki, jodoh itu semua sudah diatur Allah, Bu. Tak ada kaitannya dengan bulan Suro."

Ibu menepis tanganku dengan halus.

"Bicara dengan anak muda zaman sekarang memang susah. Kamu lihat Roni itu, dia meninggal karena abai dengan nasihat orang tuanya."

Aku terkesiap begitu mendengar penuturan Ibu. Jadi yang meninggal tadi Roni? Innalilahi ... Aku benar-benar tak menyangka.

"Jadi yang meninggal tadi Roni? Dia meninggal kenapa, Bu?"

"Karena dia ngeyel! Sudah dilarang bepergian jauh tetap saja pergi. Akhirnya berakhir kecelakaan kan," ketus Ibu dengan menatap tajam, lalu meninggalkanku yang masih syok mendengar kabar kematian Roni begitu saja.

Setelah kepergian Ibu yang kembali ke warung, dan keterkejutanku akan kematian Roni sudah hilang aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Hari sudah mulai petang dan hujan pun makin turun dengan deras, sedangkan waktu Maghrib sudah tiba. Aku yang biasanya sholat di masjid dekat rumah bersama Fatih, mau tak mau kali ini harus sholat Maghrib di rumah.

"Kamu mau ngapain?"

Aku langsung berjingkat kaget saat mendengar teguran Ibu di belakangku secara tiba-tiba.

"Ya mau sholat lah, Bu. Emangnya mau ngapain lagi?" Sungutku sembari menarik sajadah yang tergantung di rak secara kasar.

"Jangan sholat di rumah!" Tegas Ibu dengan mata menatapku tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status