Share

2. Arwah Gentayangan

Kenapa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Ibu melarang aku sholat di rumah? Padahal selama ini Ibu tak pernah berkomentar aku mau sholat di mana pun.

"Kamu itu laki-laki, sholat itu di mesjid, bukan di rumah! Masa sudah bertahun-tahun di pesantren gak ngerti juga!" Ujar Ibu begitu sinis.

Kuhela napas kasar begitu mendengar alasan Ibu. Kenapa aku merasa Ibu sekarang berubah? Padahal belum terlalu lama aku tinggal di kost. Tapi perubahan Ibu dan kampung ini sudah begitu kentara.

"Di luar kan hujan, Bu. Gimana aku mau pergi ke masjid?" Ujarku lembut namun penuh penekanan.

"Ibu gak mau tahu! Apapun alasannya dan bagaimanapun keadaannya, kamu harus tetap sholat di masjid!" Tegas Ibu lagi seraya mendorongku keluar dari rumah.

"Kalau kamu gak nuruti perintah Ibu, lebih baik kamu gak usah sholat sekalian!"

Aku tersentak demi mendengar perkataan Ibu itu. Sampai sebegitunya Ibu ingin aku sholat di Masjid.

Ya, memang bagus sih. Tapi kan lihat situasi dan kondisi juga.

Sesaat kupandangi rintik hujan yang turun begitu rapat itu. Sudah pasti kuyup jika aku nekat menerobosnya.

Terpaksa kukeluarkan jas hujan dari dalam jok motor dan cepat-cepat mengenakannya, sebelum waktu Maghrib habis.

Setelah seluruh tubuh dirasa aman, aku segera naik ke motor dan melaju menuju masjid yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah.

Entah kenapa perjalanan menuju masjid senja ini terkesan lain. Hawa dingin dari hujan mampu menembus ke dalam jas hujan yang kukenakan. Apalagi aku membawa motor dengan sedikit laju agar segera cepat sampai di masjid.

Rumah-rumah warga pun terlihat sunyi senyap dengan pintu tertutup rapat. Jalanan pun tak kalah begitu lengang.

Aku mencoba berpikir positif saja, mungkin sebab hujan jadi para warga tak ada satu pun yang berada di luar rumah.

Mencoba kembali fokus pada laju motor, pandanganku malah terpana saat melihat bangunan tinggi bertingkat tiga yang berada di sisi kiri depanku.

Bukankah itu rumah Lek Sutar? Luar biasa! Baru beberapa bulan aku tak pulang kampung, rumah Lek Sutar sudah berubah begitu megah.

Lek Sutar sama dengan ayahku. Memiliki usaha warung sembako. Di kampung ini, warung Ayah dan Lek Sutar lah yang begitu terkenal dan selalu ramai. Karena warung kami besar dan lengkap.

Walau begitu, Ayah dan Lek Sutar tak pernah menjadi saingan antar satu sama lain. Mereka tetap bergaul dengan akrab, karena Lek Sutar pun masih ada hubungan kekerabatan dengan kami.

Karena terlalu fokus mengagumi kemegahan rumah Lek Sutar, aku sampai tak sadar jika ada orang yang melintas tepat di hadapanku.

Braak!

Aku yang tak lagi sempat mengerem refleks membelokkan motor ke samping kiri hingga menabrak ke tempat duduk dari semen yang terletak di pinggir jalan depan rumah Lek Sutar.

Aku meringis merasakan kaki sebelah kiri yang ngilu karena tertimpa motor. Baju koko yang hendak kugunakan untuk sholat pun sebagian sudah basah karena jas hujan yang tersingkap. Apalagi aku terjatuh tepat di atas genangan air.

Dengan susah payah dan menahan sakit, aku berusaha bangkit berdiri.

Dalam hati terus menggerutu saat melihat orang yang tadi hampir tertabrak hanya berdiri mematung di tempat tanpa ada inisiatif sedikit pun untuk membantuku berdiri. Padahal aku jatuh juga karena dia yang tak hati-hati saat menyebrang.

Karena sudah terlanjur dongkol, aku tak ingin lagi berbasa-basi dengan lelaki itu. Apalagi waktu Maghrib sudah berlalu sejak tadi. Bisa-bisa aku terlambat berjamaah di mesjid.

"Lain kali kalau mau nyebrang itu liat-liat, Mas. Jangan asal aja! Liat nih, saya jadi jatuh karena Mas nya ceroboh," omelku sembari mengembalikan motor ke keadaan semula.

"Ma--af ...," balasnya begitu lirih, namun entah kenapa malah membuat aku merinding mendengarnya.

Tanpa memperdulikannya lagi, aku berusaha menghidupkan kembali motor. Namun sialnya mesin motor tak mau menyala.

Aku makin panik saat hujan turun makin lebat tapi motor tak kunjung menyala.

Lagi-lagi aku dibuat heran saat melihat ke arah lelaki tadi. Ia masih berdiri mematung di sana tanpa memperdulikan hujan yang turun begitu deras.

Ah, mungkin dia ini orang gila. Kalau orang waras sudah pasti akan kalang kabut terkena hujan lebat.

Aku kembali berusaha menghidupkan motor namun tetap saja motor tak mau menyala entah kenapa.

Sedang sibuk-sibuknya menghidupkan motor, tiba-tiba bau anyir darah menyeruak masuk ke indera penciumanku.

Mataku yang sedari tadi fokus pada motor langsung beralih melihat sekitar.

"Aaaa ...."

Hampir saja aku kembali terjungkal ke belakang saat melihat ke jalanan yang kini sudah berubah memerah tergenang air hujan yang sepertinya bercampur darah itu.

Dengan susah payah aku menelan ludah sembari terus mencari asal cairan merah tersebut.

Tubuhku mendadak kaku saat menyadari bahwa darah tersebut berasal dari lelaki yang sedang berdiri itu.

Apa mungkin ia terluka? Tapi aku ingat betul bahwa aku tak sampai menabraknya, karena berhasil mengalihkan motor hingga terjatuh tadi.

"Mas, apa Mas terluka? Kenapa banyak darah keluar dari tubuh Mas?" Tanyaku berusaha menelan rasa takut.

Biar bagaimanapun aku takut ia terluka sebab aku. Apalagi sejak tadi ia tak juga beranjak dari tempatnya berdiri.

"I--ya." Lagi-lagi ia menjawab dengan begitu lirih, namun terdengar begitu jelas di telingaku.

"Tapi bukan karena saya kan, Mas? Sebab seingat saya, motor saya tak sempat menabrak Mas." Aku kembali berujar.

"Memang benar bukan karena kamu," jawabnya lagi, kini dengan tubuh yang mulai bergerak.

Tubuhnya yang sejak tadi miring kini perlahan mulai menghadapku.

Mataku terbelalak karena begitu terkejut melihat pemandangan yang kini ada di hadapanku.

Badan gemetaran hebat antara menahan takut dan dingin yang bercampur baur.

Bagaimana tidak? Yang kini berdiri di hadapanku adalah sosok Roni yang Ibu bilang baru meninggal.

Mataku nanar menatap wajah Roni yang hancur separuh dengan luka yang terus mengucurkan darah segar.

Tanpa sadar motor yang tadi sudah kuberdirikan kini terjatuh kembali.

"Aaaa ... Setaaan!" Teriakku sembari lari tunggang langgang meninggalkan motor yang tergeletak begitu saja.

Jangan bilang aku ini anak pesantren gadungan. Karena bukannya berdo'a saat melihat setan malah memilih lari blingsatan. Karena memang kenyataannya begitu. Aku masuk pesantren karena mengikuti Fatih saja. Jadi harap maklum saja jika kelakuanku masih begini.

Aku terus berlari menuju musholla yang kini sudah terlihat di kejauhan. Tak lagi kuhiraukan jas hujan yang sudah compang-camping dan baju yang basah kuyup.

Badan terus gemetaran membayangkan setan Roni tadi. Aku benar-benar tak menyangka bahwa arwah penasaran itu nyata. Karena baru kali ini aku melihatnya.

Begitu memasuki area Masjid, aku langsung menjatuhkan diri di teras dengan napas yang masih ngos-ngosan.

Para jamaah yang baru saja selesai sholat terlihat heran melihat keadaanku.

"Kenapa denganmu, Nak? Kamu Satria kan?" Tanya Ustadz Arif yang biasa berlaku sebagai imam.

"Pak Ustadz ada setan, Pak!" Refleks aku meraih tangan lelaki itu.

"Setan?"

"Iya, Pak. Setan Roni gentayangan, Pak!" Ujarku masih dengan menggigil.

Ustadz Arif dan jama'ah lainnya langsung terkejut begitu mendengar perkataanku.

"Sudah-sudah! Kamu belum sholat kan? Lebih baik sholat dulu, supaya hatimu tenang. Baru setelah itu ceritakan apa yang terjadi," titah Ustadz Arif setelahnya.

Aku hanya bisa mengangguk lemah menuruti perkataan Ustadz Arif. Dengan tubuh yang masih tetap gemetaran aku bangkit dan berjalan menuju tempat wudhu yang berada persis di belakang Masjid.

Sialnya keran khusus wudhu yang berada di luar kamar mandi tak ada satu pun yang menyala. Dengan terpaksa aku pun masuk ke kamar mandi khusus pria.

Namun begitu hendak menyalakan keran yang berada di dalam kamar mandi, lagi-lagi hawa tak enak menyeruak datang.

Seolah terhipnotis badanku jadi membeku di tempat. Sudah dapat ditebak, pasti sosok Roni itu kembali datang. Apalagi setelah beberapa detik kemudian bau anyir darah memenuhi indera penciumanku.

"Satriaaa ... Tolong aku!" Suara yang entah datang dari mana itu masuk ke telingaku.

Bulu kudukku bangkit berdiri semua. Ingin lari tapi seolah kaki ini memaku pada bumi.

Karena tak bisa kabur, refleks aku menutup mata.

"Apa yang harus kutolong, hah?! Apaa?!" Aku bertanya sembari berteriak seperti orang gila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status