Namun tiba-tiba keadaan kembali seperti semula. Bau anyir darah perlahan menghilang, bersamaan dengan itu sebuah tepukan di pundak sukses mengagetkanku.
"Aaaaa ... Setaaan!" Pekikku masih dengan menutup mata."Hei, Satria! Apa-apaan kau ini? Ini aku Ibnu."Spontan aku membuka mata saat mendengar suara anak Ustadz Arif yang sepantaran denganku itu."I--ibnu? Kau benar Ibnu?" Tanyaku ragu-ragu sembari menyentuh lengannya. Sekadar mengecek ia benar manusia atau setan yang sedang menyamar."Kau ini kenapa sih?" Ibnu bertanya balik dengan wajah heran menatapku."Kok lama sekali, Nu?" Tiba-tiba salah seorang jamaah muncul dari luar membuat aku bisa bernapas lega karena yakin sosok Ibnu di hadapanku ini benar-benar manusia."Ta--tadi aku mau wudhu, tapi tiba-tiba ada--." Aku langsung terdiam tak melanjutkan perkataanku saat Ibnu memberi isyarat agar aku diam."Kalau sudah wudhu, cepat sholat, Sat. Sebelum waktu Maghrib habis," titah Ibnu seraya hendak melangkah keluar dari kamar mandi."Tunggu aku! Aku belum wudhu," teriakku menahan langkah Ibnu lalu cepat-cepat beralih mengambil wudhu.Tak lagi kuhiraukan harga diriku di hadapan mereka. Biarlah mereka menilaiku sebagai lelaki pengecut, karena kenyataannya aku memang ketakutan setengah mati akibat ulah hantu Roni.Usai berwudhu, aku lantas keluar dari kamar mandi. Namun yang membuat aku terkejut, keran di luar ternyata menyala dengan lancar saat Ibnu mencuci tangan.Sial! Sepertinya aku memang di permainkan oleh setan Roni.***"Jadi begitulah ceritanya, Pak Ustadz," ucapku menutup cerita kejadian menyeramkan tadi.Syukurnya hatiku sudah sedikit tenang setelah sholat. Jadi aku bisa bercerita dengan lancar."Jangan-jangan itu arwah Roni yang gentayangan, Pak Ustadz," ujar salah seorang jamaah sembari bergidik ketakutan."Huss! Gak ada yang namanya arwah gentayangan," balas Ustadz Arif tegas."Lalu yang dilihat Satria itu apa, Pak?""Wallahu a'lam. Bisa jadi itu jin qorin Roni. Makanya wujudnya sama persis dengan Roni.""Lalu untuk apa jin qorin Roni menganggu saya, Pak?" Tanyaku lagi karena masih terngiang-ngiang bagaimana sosok jin yang menyerupai Roni tadi mengatakan minta tolong padaku."Hanya Allah yang tahu, Nak. Tapi yang namanya jin kadang memang suka usil mengganggu manusia. Intinya kamu jangan takut, jika kamu takut ia akan makin senang mengganggu," terang Ustadz Arif lagi.Aku hanya bisa menghela napas mendengar nasihat Ustadz Arif tersebut. Kalau tak mengalaminya langsung memang mudah saja berkata 'jangan takut'. Tapi aku yang sudah dua kali diganggu jin Roni ini bagaimana bisa tak merasa takut? Apalagi jika ingat bagaimana rupa jin tersebut. Hiiih ....***Aku pulang ke rumah diantar dengan Ibnu. Syukurnya motorku masih utuh berada di jalanan depan rumah Lek Sutar tadi.Agak aneh sih, padahal motor kutinggalkan begitu saja dengan kunci yang masih menggantung. Tapi sama sekali tak ada maling yang tergiur untuk mengambilnya.Padahal sejak dulu kampung ini terkenal dengan pemudanya yang suka mencuri dan maling demi bisa mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Tapi kenapa mereka tak ada yang nampak kini? Apa mereka sudah termakan dengan mitos di bulan suro juga?Syukur motor yang tadi jatuh masih bisa hidup kembali. Padahal tadi sewaktu masih ada setan tersebut, motor sama sekali tak dapat menyala. Dapat dipastikan pasti itu ulah setan itu juga.Dengan masih ditemani oleh Ibnu, aku pulang ke rumah. Ibu yang menyambutku di depan rumah terlihat khawatir saat melihat kondisi motorku yang bagian depannya penyok.Setelah kepergian Ibnu, Ibu langsung mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan."Aku jatuh tadi, Bu," sahutku malas saat Ibu bertanya kenapa motorku bisa jadi begitu."Jatuh di mana? Kok bisa jatuh?"Aku mendengus kasar melihat sifat cerewet Ibu muncul. Dalam hati tak ingin menceritakan kejadian seram yang baru saja kualami. Aku tak ingin Ibu semakin khawatir."Jatuh di depan rumah Lek Sutar."Ibu refleks menatapku makin tajam. Membuat aku yang baru duduk jadi merasa tak enak."Kenapa bisa jatuh? Apa yang terjadi?" Mata Ibu makin melebar menuntut jawaban dariku. Bahkan kini kedua tangannya sudah mencengkeram kedua bahuku.Aku menatap Ibu dengan sedikit aneh. Baru kali ini Ibu berperilaku seperti ini. Sekhawatir-khawatirnya Ibu padaku tapi tak pernah seperti ini sebelumnya."Gak ada terjadi apa-apa, Bu. Aku hanya menghindari lubang lalu tertabrak tempat duduk semen di depan rumah Lek Sutar," jawabku sembari mengalihkan pandangan, takut ketahuan jika sedang berbohong.Terlihat raut wajah Ibu sedikit lega setelah itu."Ya sudah, kamu makan malam dulu, setelah itu istirahat," titah Ibu lalu kembali menuju warung depan rumah.Dari ruang makan dapat kudengar Ibu menyuruh Mas Seno--pekerja di warung Ibu, untuk segera menutup warung.Dan itu makin membuatku keheranan. Karena biasanya Ibu selalu tutup warung sekitar pukul sepuluh."Kok cepat amat tutup warungnya, Bu?" Tanyaku saat Ibu masuk kembali dan menemaniku makan."Ya buat apa juga buka sampai malam kalau keadaan sepi begini? Kamu pasti liat kan tadi suasana kampung gimana?"Aku hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan Ibu. Kupikir suasana kampung begitu sepi karena sebab hujan. Tapi sepertinya ada hal lain.***Tengah malam aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh. Cepat-cepat aku bangkit hendak menuju kamar mandi, namun saat aku akan membuka handle pintu kamar, terdengar perdebatan Ibu dan Ayah dari luar.Sepertinya Ayah baru pulang dari warung sembako kami yang ada di gang lain.Ya, kami memang memiliki dua warung sembako yang begitu ramai. Satu berada di depan rumahku dan satu lagi berada di gang lain. Biasa ayahlah yang mengelola warung sembako di sana.Aku makin mempertajam pendengaran saat mendengar mereka menyebut-nyebut namaku."Kenapa dia bisa pulang sih, Nin? Kan aku udah bilang, sebisa mungkin kamu larang Satria pulang!" Terdengar nada jengkel dari suara Ayah, membuat aku jadi merasa tak enak hati karena sepertinya kepulanganku tak diharapkan mereka."Aku sudah berusaha melarangnya, Mas. Tapi ternyata ia nekat pulang juga," balas Ibu seolah tak berdaya."Aku tak mau tau! Pokoknya besok suruh Satria kembali ke kost-kostannya dulu, sampai bulan suro ini berakhir!"Setelah berucap demikian tak lagi terdengar perdebatan mereka.Dengan perlahan aku membuka pintu kamar. Dan benar saja, sudah tak ada lagi Ayah dan Ibu di luar kamar.Gegas aku menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatku.Namun baru saja selesai dan hendak keluar kamar mandi, lagi-lagi aroma anyir darah datang menyeruak. Niat hati ingin langsung lari ke kamar, namun malah tubuhku lagi-lagi tak bisa digerakkan.Aku mematung tepat di depan pintu kamar mandi. Dari arah dapur yang remang-remang karena sebagian lampu dimatikan dapat kulihat siluet tubuh seseorang sedang berdiri tak jauh dari wastafel."Tolong aku, Satria ...." Sebuah suara masuk ke telingaku. Terdengar begitu jelas seolah yang sedang berbicara itu begitu jelas."Apa yang harus kutolong?" Tanyaku dalam hati, karena bibir ini sama sekali tak bisa berucap."Tolong bantu aku membalaskan dendamku, Satria ...," sahutnya seolah mendengar isi hatiku."Dendam apa? Dan kenapa harus aku?" Kali ini bibirku sudah sedikit bisa digerakkan. Hingga pertanyaan itu keluar dari mulutku dengan lirih."Karena hanya kau yang bisa melakukannya."Aku terkesiap mendengar jawaban makhluk itu. Kenapa hanya aku yang bisa?"Satria!" Panggilan Ayah yang tiba-tiba muncul sukses mengagetkanku. Hingga tubuh yang tadi seolah membatu kini bisa digerakkan.Saat kembali menoleh ke arah dapur, sosok tadi tak lagi nampak di sana."Sedang apa di situ?" Tanya Ayah sembari menatapku tajam seperti Ibu tadi."Eh, tadi--.""Jangan pedulikan gangguan yang ada. Mereka hanya usil, abaikan saja!"Refleks dahiku mengernyit menatap Ayah. Ayah tahu apa yang terjadi?"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh."Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.***Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost. Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang."Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya."Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih pon
Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku."Kamu mau kemana?""Aku mau ke rumah Mas Seno."Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku."Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan.""Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu."Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.***Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas
"Bapakmu tahu siapa orangnya?"Fatih menggeleng."Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu."Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya."Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya.""Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan."Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji ap
"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rum
Membuang rasa takut, aku bangkit dari tempat tidur untuk mencari dari mana asal bau kemenyan tersebut.Perlahan kuputar handle pintu dan membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar kamar.Tak ada siapapun, tapi kenapa bau kemenyan ini begitu menyengat, bahkan sangking terasanya di indera penciuman sampai membuatku sesak.Karena merasa keadaan di luar aman, aku pun memutuskan untuk mencari asal bau tersebut.Aku menuju ruang depan tapi tak menemukan apapun. Namun saat melewati kamar Ayah dan Ibu, bau kemenyan tersebut makin terasa.Sayangnya pintu kamar orang tuaku itu tertutup begitu rapat. Hingga aku tak memiliki akses untuk mengintip ke dalam.Tak hilang akal, aku langsung merebahkan diri di lantai depan pintu kamar untuk mengintip melalui celah bawah pintu.Benar saja. Sepertinya asal bau kemenyan tersebut berasal dari dalam kamar orang tuaku. Namun sialnya lagi-lagi aku tak dapat melihat dengan jelas melalu
"Nak Satria ...."Aku langsung tersadar dari lamunan saat mendengar panggilan dari Pak Muhsin.Pandangan langsung kuedarkan ke sekitar tapi sama sekali tak nampak jejak dari Kakek tadi."Tadi saya hampir menabrak seorang kakek-kakek, Pak. Tapi sepertinya orangnya sudah pergi," ujarku berusaha setenang mungkin, walau sesungguhnya hatiku kini dipenuhi rasa tak enak."Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu mari kita ke rumah Ustadz Arif sekarang."Aku langsung menyetujui ajakan Pak Muhsin.Kembali menyalakan motor mataku masih sesekali melihat sekeliling mencari keberadaan Kakek tadi, tapi ternyata benar-benar sudah tak nampak lagi, bahkan bayangannya sekalipun.Berusaha membuang segala kejanggalan barusan, aku kembali fokus pada tujuan awal mengunjungi Ustadz Arif.Semakin dekat menuju rumah Ustadz Arif, semakin terlihat jelas kerumunan warga yang ada di sana."Usir saja, usir! Kita tak butuh orang seperti mer
"Bu, itu benar Mas Danu yang meninggal?" Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsu
Tanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."