Share

3. Gelagat Aneh Ayah dan Ibu

Namun tiba-tiba keadaan kembali seperti semula. Bau anyir darah perlahan menghilang, bersamaan dengan itu sebuah tepukan di pundak sukses mengagetkanku.

"Aaaaa ... Setaaan!" Pekikku masih dengan menutup mata.

"Hei, Satria! Apa-apaan kau ini? Ini aku Ibnu."

Spontan aku membuka mata saat mendengar suara anak Ustadz Arif yang sepantaran denganku itu.

"I--ibnu? Kau benar Ibnu?" Tanyaku ragu-ragu sembari menyentuh lengannya. Sekadar mengecek ia benar manusia atau setan yang sedang menyamar.

"Kau ini kenapa sih?" Ibnu bertanya balik dengan wajah heran menatapku.

"Kok lama sekali, Nu?" Tiba-tiba salah seorang jamaah muncul dari luar membuat aku bisa bernapas lega karena yakin sosok Ibnu di hadapanku ini benar-benar manusia.

"Ta--tadi aku mau wudhu, tapi tiba-tiba ada--." Aku langsung terdiam tak melanjutkan perkataanku saat Ibnu memberi isyarat agar aku diam.

"Kalau sudah wudhu, cepat sholat, Sat. Sebelum waktu Maghrib habis," titah Ibnu seraya hendak melangkah keluar dari kamar mandi.

"Tunggu aku! Aku belum wudhu," teriakku menahan langkah Ibnu lalu cepat-cepat beralih mengambil wudhu.

Tak lagi kuhiraukan harga diriku di hadapan mereka. Biarlah mereka menilaiku sebagai lelaki pengecut, karena kenyataannya aku memang ketakutan setengah mati akibat ulah hantu Roni.

Usai berwudhu, aku lantas keluar dari kamar mandi. Namun yang membuat aku terkejut, keran di luar ternyata menyala dengan lancar saat Ibnu mencuci tangan.

Sial! Sepertinya aku memang di permainkan oleh setan Roni.

***

"Jadi begitulah ceritanya, Pak Ustadz," ucapku menutup cerita kejadian menyeramkan tadi.

Syukurnya hatiku sudah sedikit tenang setelah sholat. Jadi aku bisa bercerita dengan lancar.

"Jangan-jangan itu arwah Roni yang gentayangan, Pak Ustadz," ujar salah seorang jamaah sembari bergidik ketakutan.

"Huss! Gak ada yang namanya arwah gentayangan," balas Ustadz Arif tegas.

"Lalu yang dilihat Satria itu apa, Pak?"

"Wallahu a'lam. Bisa jadi itu jin qorin Roni. Makanya wujudnya sama persis dengan Roni."

"Lalu untuk apa jin qorin Roni menganggu saya, Pak?" Tanyaku lagi karena masih terngiang-ngiang bagaimana sosok jin yang menyerupai Roni tadi mengatakan minta tolong padaku.

"Hanya Allah yang tahu, Nak. Tapi yang namanya jin kadang memang suka usil mengganggu manusia. Intinya kamu jangan takut, jika kamu takut ia akan makin senang mengganggu," terang Ustadz Arif lagi.

Aku hanya bisa menghela napas mendengar nasihat Ustadz Arif tersebut. Kalau tak mengalaminya langsung memang mudah saja berkata 'jangan takut'. Tapi aku yang sudah dua kali diganggu jin Roni ini bagaimana bisa tak merasa takut? Apalagi jika ingat bagaimana rupa jin tersebut. Hiiih ....

***

Aku pulang ke rumah diantar dengan Ibnu. Syukurnya motorku masih utuh berada di jalanan depan rumah Lek Sutar tadi.

Agak aneh sih, padahal motor kutinggalkan begitu saja dengan kunci yang masih menggantung. Tapi sama sekali tak ada maling yang tergiur untuk mengambilnya.

Padahal sejak dulu kampung ini terkenal dengan pemudanya yang suka mencuri dan maling demi bisa mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Tapi kenapa mereka tak ada yang nampak kini? Apa mereka sudah termakan dengan mitos di bulan suro juga?

Syukur motor yang tadi jatuh masih bisa hidup kembali. Padahal tadi sewaktu masih ada setan tersebut, motor sama sekali tak dapat menyala. Dapat dipastikan pasti itu ulah setan itu juga.

Dengan masih ditemani oleh Ibnu, aku pulang ke rumah. Ibu yang menyambutku di depan rumah terlihat khawatir saat melihat kondisi motorku yang bagian depannya penyok.

Setelah kepergian Ibnu, Ibu langsung mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan.

"Aku jatuh tadi, Bu," sahutku malas saat Ibu bertanya kenapa motorku bisa jadi begitu.

"Jatuh di mana? Kok bisa jatuh?"

Aku mendengus kasar melihat sifat cerewet Ibu muncul. Dalam hati tak ingin menceritakan kejadian seram yang baru saja kualami. Aku tak ingin Ibu semakin khawatir.

"Jatuh di depan rumah Lek Sutar."

Ibu refleks menatapku makin tajam. Membuat aku yang baru duduk jadi merasa tak enak.

"Kenapa bisa jatuh? Apa yang terjadi?" Mata Ibu makin melebar menuntut jawaban dariku. Bahkan kini kedua tangannya sudah mencengkeram kedua bahuku.

Aku menatap Ibu dengan sedikit aneh. Baru kali ini Ibu berperilaku seperti ini. Sekhawatir-khawatirnya Ibu padaku tapi tak pernah seperti ini sebelumnya.

"Gak ada terjadi apa-apa, Bu. Aku hanya menghindari lubang lalu tertabrak tempat duduk semen di depan rumah Lek Sutar," jawabku sembari mengalihkan pandangan, takut ketahuan jika sedang berbohong.

Terlihat raut wajah Ibu sedikit lega setelah itu.

"Ya sudah, kamu makan malam dulu, setelah itu istirahat," titah Ibu lalu kembali menuju warung depan rumah.

Dari ruang makan dapat kudengar Ibu menyuruh Mas Seno--pekerja di warung Ibu, untuk segera menutup warung.

Dan itu makin membuatku keheranan. Karena biasanya Ibu selalu tutup warung sekitar pukul sepuluh.

"Kok cepat amat tutup warungnya, Bu?" Tanyaku saat Ibu masuk kembali dan menemaniku makan.

"Ya buat apa juga buka sampai malam kalau keadaan sepi begini? Kamu pasti liat kan tadi suasana kampung gimana?"

Aku hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan Ibu. Kupikir suasana kampung begitu sepi karena sebab hujan. Tapi sepertinya ada hal lain.

***

Tengah malam aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh. Cepat-cepat aku bangkit hendak menuju kamar mandi, namun saat aku akan membuka handle pintu kamar, terdengar perdebatan Ibu dan Ayah dari luar.

Sepertinya Ayah baru pulang dari warung sembako kami yang ada di gang lain.

Ya, kami memang memiliki dua warung sembako yang begitu ramai. Satu berada di depan rumahku dan satu lagi berada di gang lain. Biasa ayahlah yang mengelola warung sembako di sana.

Aku makin mempertajam pendengaran saat mendengar mereka menyebut-nyebut namaku.

"Kenapa dia bisa pulang sih, Nin? Kan aku udah bilang, sebisa mungkin kamu larang Satria pulang!" Terdengar nada jengkel dari suara Ayah, membuat aku jadi merasa tak enak hati karena sepertinya kepulanganku tak diharapkan mereka.

"Aku sudah berusaha melarangnya, Mas. Tapi ternyata ia nekat pulang juga," balas Ibu seolah tak berdaya.

"Aku tak mau tau! Pokoknya besok suruh Satria kembali ke kost-kostannya dulu, sampai bulan suro ini berakhir!"

Setelah berucap demikian tak lagi terdengar perdebatan mereka.

Dengan perlahan aku membuka pintu kamar. Dan benar saja, sudah tak ada lagi Ayah dan Ibu di luar kamar.

Gegas aku menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatku.

Namun baru saja selesai dan hendak keluar kamar mandi, lagi-lagi aroma anyir darah datang menyeruak. Niat hati ingin langsung lari ke kamar, namun malah tubuhku lagi-lagi tak bisa digerakkan.

Aku mematung tepat di depan pintu kamar mandi. Dari arah dapur yang remang-remang karena sebagian lampu dimatikan dapat kulihat siluet tubuh seseorang sedang berdiri tak jauh dari wastafel.

"Tolong aku, Satria ...." Sebuah suara masuk ke telingaku. Terdengar begitu jelas seolah yang sedang berbicara itu begitu jelas.

"Apa yang harus kutolong?" Tanyaku dalam hati, karena bibir ini sama sekali tak bisa berucap.

"Tolong bantu aku membalaskan dendamku, Satria ...," sahutnya seolah mendengar isi hatiku.

"Dendam apa? Dan kenapa harus aku?" Kali ini bibirku sudah sedikit bisa digerakkan. Hingga pertanyaan itu keluar dari mulutku dengan lirih.

"Karena hanya kau yang bisa melakukannya."

Aku terkesiap mendengar jawaban makhluk itu. Kenapa hanya aku yang bisa?

"Satria!" Panggilan Ayah yang tiba-tiba muncul sukses mengagetkanku. Hingga tubuh yang tadi seolah membatu kini bisa digerakkan.

Saat kembali menoleh ke arah dapur, sosok tadi tak lagi nampak di sana.

"Sedang apa di situ?" Tanya Ayah sembari menatapku tajam seperti Ibu tadi.

"Eh, tadi--."

"Jangan pedulikan gangguan yang ada. Mereka hanya usil, abaikan saja!"

Refleks dahiku mengernyit menatap Ayah. Ayah tahu apa yang terjadi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status