Home / Horor / Tumbal Bulan Suro / 4. Kecelakaan Maut

Share

4. Kecelakaan Maut

last update Last Updated: 2023-07-13 22:21:46

"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh.

"Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.

***

Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost.

Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang.

"Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.

Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya.

"Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.

Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih ponsel untuk mengirim pesan pada Fatih. Aku ingin mengajaknya ikut serta kembali ke kost, supaya aku tak sendiri di sana nantinya.

[Waduh, maaf, Sat. Ayahku bener-bener gak ngizinin aku pergi. Boro-boro pergi jauh, pergi dekat-dekat aja aku dilarang.] Balas Fatih membuat aku kecewa.

[Udah kayak anak perawan yang lagi dipingit aja kau, Fat.] Ejekku yang hanya dibalasnya dengan emot tertawa.

"Sudah siap? Cepatlah berangkat!"

Ponsel dalam genggamanku hampir saja terjatuh karena terkejut dengan kehadiran Ibu yang tiba-tiba.

Aku menatap Ibu dengan mata sendu. Kenapa orang tuaku jadi berubah drastis begini? Sikap mereka biasanya begitu hangat dan sangat menyayangiku. Tapi kini mereka seolah berubah dingin padaku.

Entahlah, aku tak habis pikir dengan pola pikir mereka. Orang tua lain malah menahan anak lelakinya di rumah, sedangkan Ayah dan Ibu malah memintaku pergi.

Tanpa semangat aku membawa tas ransel berisi barang bawaanku. Di depan rumah Ibu sudah menunggu.

Kali ini terpaksa aku pergi menggunakan motor Kak Airin--kakakku yang juga

sedang ngekost di luar kota. Karena motorku yang rusak akibat ulah setan Roni itu belum diperbaiki.

Di bawah tatapan tajam Ibu, aku pun pergi. Kepergian yang benar-benar berbeda, karena Ibu sama sekali tak ada mengucapkan kata-kata perpisahan.

Dengan pikiran setengah kosong aku berkendara. Hingga hampir tiba di perbatasan gapura, mataku menangkap sosok kakek yang waktu itu pernah bertemu denganku dan Fatih.

Kupelankan laju motor karena melihat lambaian tangannya yang seolah memintaku untuk berhenti.

Tanpa merasa curiga, aku pun menghentikan motor setelah dekat dengannya.

"Ada apa, Kek?" Tanyaku sembari turun dari motor.

"Kau mau kemana?" Tanyanya balik dengan suara berat.

"Mau ke luar kota, Kek."

"Mau keluar kota atau mau kabur?"

Deg!

Kenapa kakek ini bisa tahu tujuanku apa pergi dari desa ini?

"Kau tak akan bisa kemana-mana saat ini," lanjutnya lagi.

"Kenapa begitu, Kek?"

Sebenarnya aku malas menanggapi orang tua yang sedari awal kami datang selalu memberi kesan tak enak ini. Tapi di sudut hatiku yang lain, ada rasa penasaran dengan semua perkataan pria renta ini.

"Karena ini masih bulan suro."

Aku langsung berdecak kesal mendengar jawabannya. Lagi-lagi bulan suro.

"Kau akan bisa pergi kalau seluruh tumbal sudah terpenuhi. Itu pun kalau kau selamat," ujarnya sembari terkekeh, lalu pergi begitu saja masuk ke jalan setapak yang berada di sisi kiri jalan.

Sungguh aku dongkol dengan perkataannya itu. Sepertinya memang kakek itu sudah tak waras. Sampai mengoceh hal-hal yang aneh.

Tak mau ambil pusing, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Semuanya lancar tanpa ada kendala apapun hingga aku sudah keluar dari desa. Namun saat tiba di persimpangan jalan raya yang begitu ramai, tanpa sengaja motorku tersenggol oleh pemotor yang akan menyebrang juga.

Entah karena aku yang terlalu banyak pikiran dan tak fokus, hingga motor yang kukendarai oleng dan terjatuh begitu saja tepat di tengah-tengah jalan raya.

Jantung langsung berpacu dengan begitu cepat saat kulihat di depan sana sebuah truk melaju dengan kencang.

Tak mau menyerah dengan keadaan aku berusaha bangkit walau kaki sakit sebab terjatuh tadi.

Truk tersebut makin mendekat, sedangkan aku begitu kesusahan untuk berjalan.

Hingga saat aku sudah pasrah dengan semua keadaan, sebuah dorongan dari belakang berhasil menyentak tubuhku ke depan hingga aku berhasil terhindar dari truk tersebut.

Namun naasnya, di sisi lain jalan, seorang pemotor juga sedang lewat.

Braaak!

Tabrakan terjadi di kedua ruas jalan. Di ruas jalan sebelah kanan, ada seorang pria yang terlindas truk yang tadi hampir melindasku . Sedangkan di ruas jalan sebelah kiri, ada aku yang terkapar dengan mata nanar menatap pemandangan mengerikan di depan sana.

Sudah dipastikan pria tersebut tak lagi bernyawa, apalagi saat aku berusaha melihat dengan jelas terlihat beberapa organ tubuhnya berceceran keluar.

Detik berikutnya, pandanganku langsung menggelap karena tak sanggup melihat pemandangan mengerikan itu.

***

Aku tersadar di sebuah ruangan asing serba putih. Dapat ditebak bahwa kini aku berada di rumah sakit.

Melihatku membuka mata, Ibu yang entah sejak kapan ada bersamaku itu langsung mendekat.

"Syukurlah kamu selamat, Nak," ujar Ibu sembari terisak.

Aku yang masih merasa kesal karena sikap Ibu sebelum berangkat, memilih membuang muka ke arah jendela.

Semua ini karena Ayah dan Ibu juga. Kalau saja mereka tak memaksa aku pergi, semua ini tak akan terjadi.

Bicara soal Ayah, tiba-tiba aku teringat, sebelum aku pingsan di tempat kejadian kala itu, mataku sempat melihat ada sosok Ayah di antara kerumunan orang.

Tapi aku juga tak terlalu yakin karena pandanganku saat itu sudah remang-remang.

Yang membuat aku merasa janggal adalah raut wajah Ayah di sana menampakkan senyum puas saat melihat ke arah pria yang terlindas truk tersebut.

Kalau memang benar itu Ayah, kenapa ia tega tersenyum senang saat melihat orang lain tewas menggantikan aku? Kalau pun ia bersyukur aku selamat, harusnya ia juga berempati pada orang itu.

"Ayah mana?" Tanyaku tanpa mau melihat wajah Ibu.

"Ayah di rumah Mas Seno, sedang membantu mengurus jenazah Mas Evan."

Deg!

Mataku langsung membelalak,  jantungku pun langsung berdetak kencang saat mendengar jawaban Ibu. Apalagi saat aku mengingat pria yang tadi terlindas truk saat menolongku postur tubuhnya sama persis dengan Mas Evan--adik Mas Seno, yang juga bekerja pada Ayah di warung sembako kami yang lain.

Jangan-jangan ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tumbal Bulan Suro   51. Dendam Terbalaskan

    "Sudah-sudah! Dari pada bergunjing seperti itu, lebih baik kita bantu sekalian untuk menguburkan jasad Airin ini," ujar Ustadz Arif yang akhirnya bisa menenangkan para warga itu.Jadilah kini dua jasad diurus sekaligus dalam rumah Satria itu.Hanin yang tadinya begitu sedih, langsung berubah sikap dan raut wajahnya.Air matanya berhenti seketika. Matanya nanar melihat ke jasad anaknya tersebut. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar.Satria yang melihat perubahan pada sikap ibunya itu lantas langsung mengejarnya.Walau dalam hati ia sudah bisa menebak, bahwa ibunya turut andil dengan masalah Airin ini. Tapi setidaknya ibunya sudah mau berubah dan menyesali perbuatannya."Bu ...." Satria ikut masuk ke kamar ibunya dan mengunci pintunya rapat-rapat."A--aku jahat! Aku orang yang jahat!" Kembali ibunya terlihat kacau dan frustasi, ia melepas kerudung yang sejak tadi digunakannya dan mengacak rambutnya kasar."Bu, suda

  • Tumbal Bulan Suro   50. Mayat di Balik Lemari

    POV Author"Seorang mayat pria ditemukan mengambang di sebuah parit besar di desa Tandan Hilir ....""Sat! Satriaa! Sini!" Hanin yang baru saja mendengar berita yang dibawakan oleh seorang Reporter di TV itu langsung berteriak memanggil anaknya.Ia tak tahu, padahal sejak tadi Satria sudah memandanginya dengan gelisah di balik pintu kamar. Beberapa saat lalu, Satria baru saja menerima telepon dari Seno. Ia juga bertanya-tanya, bagaimana Seno bisa memiliki nomor teleponnya yang baru. Namun, setelah ia tanya lebih lanjut, ternyata nomor tersebut didapat Seno dari Aini--bibinya.Seno menghubunginya untuk memberi kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Aswin ditemukan mengambang tak bernyawa di sebuah parit besar. Ada dugaan Aswin bunuh diri karena begitu frustasi melihat warung keduanya terbakar. Remuk hati Satria mendengar kabar itu. Walaupun ayahnya sudah begitu jahat karena sudah menumbalkan kakaknya, namun tetap saja ia masi

  • Tumbal Bulan Suro   49. Akhir Tragis

    Mataku nanar melihat lembaran uang dalam genggaman. "Iya, Pak. Kan sudah beberapa hari ini Bapak gak belanja ke pasar, jadi pemasukan benar-benar berkurang, Pak," ujar Seno sembari tertunduk dalam. Mungkin ia takut aku menuduhnya macam-macam. Apalagi aku juga baru saja ditipu oleh karyawanku yang lain."Tapi kan, No--."Ucapanku terhenti saat sadar siapa yang sedang aku ajak bicara. Mana Seno tahu menahu soal uang pesugihan yang selalu lancar kuterima setiap hari."Kenapa, Pak?""Em, tak. Tak apa. Ya sudahlah kalau gitu kamu tutup saja warungnya. Besok saya belanja," ujarku gusar lalu berlalu hendak masuk ke rumah.Lagi-lagi keganjilan muncul. Kenapa uang hasil pesugihan tak datang kepadaku? Sebenarnya apa yang terjadi? Mbah Sedan pun ikut menghilang.Saat langkah ini baru akan melangkah keluar warung, terdengar suara pembeli datang.Sontak aku menghentikan langkah karena merasa asing dengan suara yang tak kuke

  • Tumbal Bulan Suro   48. Hilangnya Mbah Sedan

    Belum sempat aku membalas pesan yang dikirim bodyguard tersebut. Pesan dari nomor misterius yang menerorku kembali muncul.[Bukannya aku sudah bilang jangan macam-macam denganku? Sekarang kau tanggung akibatnya!]Sial! Seolah tahu aku tengah galau soal kematian bodyguard tersebut, wanita itu malah kembali mengancamku.Tak kusangka, ternyata wanita tersebut bukanlah orang sembarangan. Aku telah menganggapnya terlalu remeh.Setelah memberi instruksi pada bodyguard yang kukirim terakhir, aku memilih menutup warung lebih awal. Sungguh, suasana hatiku kacau balau kini.Aku tak mau percaya karma, bagiku karma itu bisa dilawan jika kita berusaha. Tapi kenapa sekarang aku malah tertimpa masalah bertubi-tubi.Langit sudah mulai meremang. Matahari perlahan pun mulai kembali ke peraduannya. Gegas kulajukan kuda besi hendak pulang ke rumah. Namun, entah karena masalah yang sedang menimpaku, aku memilih membelokkan motor ke jalan setapak di samping kebun tebu yang biasanya menjadi akses aku untuk

  • Tumbal Bulan Suro   47. Bertemu Sang Peneror

    Tok! Tok!"Pak! Bapak di dalam?" Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara Seno dari luar.Dengan penuh semangat aku bangkit setelah sedari tadi lunglai di atas lantai."Iya, No. Saya di sini. Tolong bukakan pintu ini, No," teriakku menyahuti."Tapi pintu ini tergembok, Pak. Kuncinya tak ada. Coba biar saya dobrak ya, Pak?""Iya, No. Terserah kamu saja. Yang terpenting pintu bisa terbuka. Saya harus ke bank pagi ini," ujarku kalut.Bukan tanpa alasan perasaanku kalut. Karena baru saja aku kembali menerima sebuah pesan dari orang misterius yang memerasku itu. Lebih terkejut lagi kala yang ia kirim kali ini adalah videoku tadi malam menyiksa Aini. Kali ini ia mengancam, jika aku tak menemuinya hari ini dan tak memberikan uang, maka video aku menyiksa Aini akan sampai ke tangan polisi dan aku akan terkena pasal berlapis, karena sudah mengurung dan menyiksanya.Benar-benar aku dibuat penasaran, bagaimana bisa orang tersebut merekam kejadian malam tadi. Atau bisa jadi oran

  • Tumbal Bulan Suro   46. Masalah Kembali Menerpa

    Masih POV AswinHatiku makin gusar menatapi layar ponsel. Hariku sudah kacau karena Satria dan Hanin kabur, ditambah lagi karyawanku sendiri menusuk dari belakang. Dan sekarang ... Masuk pesan ancaman entah dari siapa.Jemariku lekas menekan nomor tak tak dikenal tersebut, bermaksud untuk menghubungi. Namun sial, sepertinya orang tersebut memang sengaja ingin bermain-main denganku, panggilanku ditolaknya.Tlung!Dering pesan masuk kembali bergema dari ponsel. Begitu dibuka ternyata ada pesan masuk lagi dari orang tersebut.[Jangan coba-coba menghubungi atau mencari tau soal aku. Kalau tak, bukti-bukti ini akan kusebarkan.][Lalu apa maumu?] Balasku tak senang.[Sudah pasti yang kuinginkan pertama kali adalah uang.] Jawabnya cepat.Aku mendengus kesal begitu mengetahui keinginannya tak jauh-jauh dari materi semata.***Aku mengacak rambut frustasi saat melihat keadaan warung di Desa sebelah yang porak-poranda. Pelanggan yang biasa berbelanja di warungku manyampaikan simpatinya dengan m

  • Tumbal Bulan Suro   45. Pesan Ancaman

    POV Aswin (Ayah Satria)Aku tergeragap saat mendengar suara gedoran pintu dari luar. Makin terkejut saat melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka lima lewat tiga puluh menit.Gawat! Bagaimana aku bisa sampai kesiangan. Seharusnya jam segini aku sudah pulang belanja keperluan warung dan sudah mulai membuka warung.Cepat aku bangkit hendak membuka pintu saat mendengar Seno yang terus-menerus memanggil sembari menggedor pintu."Bapak kesiangan?" Tanya Seno begitu aku membuka pintu."Iya, No. Entah kenapa saya kok bisa tertidur sampai tak sadar apapun."Firasat tak enak mulai melintas di kepalaku. Apalagi aku belum pernah tidur senyenyak itu."Jadi sekarang bagaimana, Pak? Di luar sudah ramai orang mau belanja," tanya Seno saat melihat aku hanya tercenung."Kamu buka saja dulu warungnya. Tak apa kita tak belanja hari ini. Yang penting warung tetap buka."Seno mengangguk patuh, lalu berbalik hendak menuju warung. Tapi aku kembali menahannya."Sekalian telponkan Iwan, suruh ambil kunci kem

  • Tumbal Bulan Suro   44. Rintangan Kembali Datang

    Walau tak paham apa rencana makhluk itu, aku tetap menurutinya.Berusaha terlihat sesantai mungkin, aku keluar dari kamar.Melihat pintu kamarku terbuka, Ayah yang sedang duduk di sofa ruang tamu menoleh. Namun, aku berusaha mengacuhkannya dan menuju ke arah belakang.Sampai di dapur, terlihat asisten tadi tengah membuat kopi untuk Ayah. Terlihat pula sosok Kak Airin sudah berdiri di dekat wastafel yang sedikit berjarak dari wanita itu.Dengan bahasa isyarat, sosok Kak Airin tersebut menyuruhku masuk ke kamar mandi. Aku pun lantas menurutinya.Penasaran aku mengintip keluar, namun sudah tak ada sosok Kak Airin. Kini hanya tinggal Asisten tersebut, ia tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Sembari berjalan menjauhi meja dapur, menuju pintu belakang."Cepaat masukkan obatnya!" Aku kembali terkejut saat sosok Kak Airin sudah ada di dalam kamar mandi bersamaku.Dengan mengendap-endap aku berjalan mendekati cangk

  • Tumbal Bulan Suro   43. Menjalankan Misi

    "Aku tak meminta yang macam-macam. Aku hanya ingin, jika semua ini berakhir, tolong kuburkan jasadku dengan layak."Aku terenyuh mendengar permintaan jin qorin Kak Airin itu. Rasa geram seketika menyeruak pada Ayah. Tak hanya tega membunuh, ia pun sampai hati melihat jasad anaknya digunakan oleh jin jahat.Aku pun menyetujui persyaratan darinya. Kami segera mengatur siasat bagaimana supaya bisa kabur dari rumah Ayah dan membawa Ibu kepada Kyai teman Ustadz Arif.Dari hasil pembicaraanku tadi malam bersama Bi Aini, ia ingin membawaku kabur dari tembok belakang. Ia punya pintu rahasia yang selama ini selalu menjadi aksesnya keluar masuk. Tadi malam ia hendak membawa kami kabur dari sana, tapi akhirnya harus gagal karena kemunculan Nyai Surti.Setelah mengatur siasat, sosok jin qorin Kak Airin itu pun bercerita bahwa sebenarnya Ibu berhalusinasi seperti itu bukan karena gangguan darinya atau korban-korban tumbal yang lain. Memang benar setelah meninggal jin-jin qorin korban tumbal Ayah b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status