Share

4. Kecelakaan Maut

"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh.

"Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.

***

Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost.

Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang.

"Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.

Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya.

"Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.

Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih ponsel untuk mengirim pesan pada Fatih. Aku ingin mengajaknya ikut serta kembali ke kost, supaya aku tak sendiri di sana nantinya.

[Waduh, maaf, Sat. Ayahku bener-bener gak ngizinin aku pergi. Boro-boro pergi jauh, pergi dekat-dekat aja aku dilarang.] Balas Fatih membuat aku kecewa.

[Udah kayak anak perawan yang lagi dipingit aja kau, Fat.] Ejekku yang hanya dibalasnya dengan emot tertawa.

"Sudah siap? Cepatlah berangkat!"

Ponsel dalam genggamanku hampir saja terjatuh karena terkejut dengan kehadiran Ibu yang tiba-tiba.

Aku menatap Ibu dengan mata sendu. Kenapa orang tuaku jadi berubah drastis begini? Sikap mereka biasanya begitu hangat dan sangat menyayangiku. Tapi kini mereka seolah berubah dingin padaku.

Entahlah, aku tak habis pikir dengan pola pikir mereka. Orang tua lain malah menahan anak lelakinya di rumah, sedangkan Ayah dan Ibu malah memintaku pergi.

Tanpa semangat aku membawa tas ransel berisi barang bawaanku. Di depan rumah Ibu sudah menunggu.

Kali ini terpaksa aku pergi menggunakan motor Kak Airin--kakakku yang juga

sedang ngekost di luar kota. Karena motorku yang rusak akibat ulah setan Roni itu belum diperbaiki.

Di bawah tatapan tajam Ibu, aku pun pergi. Kepergian yang benar-benar berbeda, karena Ibu sama sekali tak ada mengucapkan kata-kata perpisahan.

Dengan pikiran setengah kosong aku berkendara. Hingga hampir tiba di perbatasan gapura, mataku menangkap sosok kakek yang waktu itu pernah bertemu denganku dan Fatih.

Kupelankan laju motor karena melihat lambaian tangannya yang seolah memintaku untuk berhenti.

Tanpa merasa curiga, aku pun menghentikan motor setelah dekat dengannya.

"Ada apa, Kek?" Tanyaku sembari turun dari motor.

"Kau mau kemana?" Tanyanya balik dengan suara berat.

"Mau ke luar kota, Kek."

"Mau keluar kota atau mau kabur?"

Deg!

Kenapa kakek ini bisa tahu tujuanku apa pergi dari desa ini?

"Kau tak akan bisa kemana-mana saat ini," lanjutnya lagi.

"Kenapa begitu, Kek?"

Sebenarnya aku malas menanggapi orang tua yang sedari awal kami datang selalu memberi kesan tak enak ini. Tapi di sudut hatiku yang lain, ada rasa penasaran dengan semua perkataan pria renta ini.

"Karena ini masih bulan suro."

Aku langsung berdecak kesal mendengar jawabannya. Lagi-lagi bulan suro.

"Kau akan bisa pergi kalau seluruh tumbal sudah terpenuhi. Itu pun kalau kau selamat," ujarnya sembari terkekeh, lalu pergi begitu saja masuk ke jalan setapak yang berada di sisi kiri jalan.

Sungguh aku dongkol dengan perkataannya itu. Sepertinya memang kakek itu sudah tak waras. Sampai mengoceh hal-hal yang aneh.

Tak mau ambil pusing, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Semuanya lancar tanpa ada kendala apapun hingga aku sudah keluar dari desa. Namun saat tiba di persimpangan jalan raya yang begitu ramai, tanpa sengaja motorku tersenggol oleh pemotor yang akan menyebrang juga.

Entah karena aku yang terlalu banyak pikiran dan tak fokus, hingga motor yang kukendarai oleng dan terjatuh begitu saja tepat di tengah-tengah jalan raya.

Jantung langsung berpacu dengan begitu cepat saat kulihat di depan sana sebuah truk melaju dengan kencang.

Tak mau menyerah dengan keadaan aku berusaha bangkit walau kaki sakit sebab terjatuh tadi.

Truk tersebut makin mendekat, sedangkan aku begitu kesusahan untuk berjalan.

Hingga saat aku sudah pasrah dengan semua keadaan, sebuah dorongan dari belakang berhasil menyentak tubuhku ke depan hingga aku berhasil terhindar dari truk tersebut.

Namun naasnya, di sisi lain jalan, seorang pemotor juga sedang lewat.

Braaak!

Tabrakan terjadi di kedua ruas jalan. Di ruas jalan sebelah kanan, ada seorang pria yang terlindas truk yang tadi hampir melindasku . Sedangkan di ruas jalan sebelah kiri, ada aku yang terkapar dengan mata nanar menatap pemandangan mengerikan di depan sana.

Sudah dipastikan pria tersebut tak lagi bernyawa, apalagi saat aku berusaha melihat dengan jelas terlihat beberapa organ tubuhnya berceceran keluar.

Detik berikutnya, pandanganku langsung menggelap karena tak sanggup melihat pemandangan mengerikan itu.

***

Aku tersadar di sebuah ruangan asing serba putih. Dapat ditebak bahwa kini aku berada di rumah sakit.

Melihatku membuka mata, Ibu yang entah sejak kapan ada bersamaku itu langsung mendekat.

"Syukurlah kamu selamat, Nak," ujar Ibu sembari terisak.

Aku yang masih merasa kesal karena sikap Ibu sebelum berangkat, memilih membuang muka ke arah jendela.

Semua ini karena Ayah dan Ibu juga. Kalau saja mereka tak memaksa aku pergi, semua ini tak akan terjadi.

Bicara soal Ayah, tiba-tiba aku teringat, sebelum aku pingsan di tempat kejadian kala itu, mataku sempat melihat ada sosok Ayah di antara kerumunan orang.

Tapi aku juga tak terlalu yakin karena pandanganku saat itu sudah remang-remang.

Yang membuat aku merasa janggal adalah raut wajah Ayah di sana menampakkan senyum puas saat melihat ke arah pria yang terlindas truk tersebut.

Kalau memang benar itu Ayah, kenapa ia tega tersenyum senang saat melihat orang lain tewas menggantikan aku? Kalau pun ia bersyukur aku selamat, harusnya ia juga berempati pada orang itu.

"Ayah mana?" Tanyaku tanpa mau melihat wajah Ibu.

"Ayah di rumah Mas Seno, sedang membantu mengurus jenazah Mas Evan."

Deg!

Mataku langsung membelalak,  jantungku pun langsung berdetak kencang saat mendengar jawaban Ibu. Apalagi saat aku mengingat pria yang tadi terlindas truk saat menolongku postur tubuhnya sama persis dengan Mas Evan--adik Mas Seno, yang juga bekerja pada Ayah di warung sembako kami yang lain.

Jangan-jangan ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status