"Maksud Ayah apa?" Tanyaku pura-pura bodoh.
"Tak ada. Cepatlah masuk kamar, dan besok pagi cepat-cepatlah kembali ke kost-anmu," tukas Ayah begitu tegas, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan aku untuk membantahnya.***Kupikir perintah Ayah tadi malam hanya sekedar candaan saja. Tapi ternyata aku salah, pagi-pagi sekali Ibu sudah sibuk terus mendesakku untuk berkemas dan kembali ke kost.Benar-benar aneh. Akibat terlalu percaya mitos di bulan Suro ini mereka sampai tega mengusirku yang baru saja datang."Bu, bukannya Ibu pernah bilang tak boleh bepergian jauh saat bulan suro? Kenapa sekarang malah memintaku pergi? Apa Ibu tak takut aku bernasib sama dengan Roni?" Tanyaku sedikit bergidik saat menyebutkan nama Roni.Ibu yang sedang sibuk mengemas bekal untukku langsung menghentikan gerakannya."Sudahlah! Kali ini patuhi saja semua permintaan Ayah dan Ibu. Ini semua juga demi kebaikanmu," tegas Ibu.Aku yang tak lagi dapat membantah, lantas kembali masuk ke kamar. Kuraih ponsel untuk mengirim pesan pada Fatih. Aku ingin mengajaknya ikut serta kembali ke kost, supaya aku tak sendiri di sana nantinya.[Waduh, maaf, Sat. Ayahku bener-bener gak ngizinin aku pergi. Boro-boro pergi jauh, pergi dekat-dekat aja aku dilarang.] Balas Fatih membuat aku kecewa.[Udah kayak anak perawan yang lagi dipingit aja kau, Fat.] Ejekku yang hanya dibalasnya dengan emot tertawa."Sudah siap? Cepatlah berangkat!"Ponsel dalam genggamanku hampir saja terjatuh karena terkejut dengan kehadiran Ibu yang tiba-tiba.Aku menatap Ibu dengan mata sendu. Kenapa orang tuaku jadi berubah drastis begini? Sikap mereka biasanya begitu hangat dan sangat menyayangiku. Tapi kini mereka seolah berubah dingin padaku.Entahlah, aku tak habis pikir dengan pola pikir mereka. Orang tua lain malah menahan anak lelakinya di rumah, sedangkan Ayah dan Ibu malah memintaku pergi.Tanpa semangat aku membawa tas ransel berisi barang bawaanku. Di depan rumah Ibu sudah menunggu.Kali ini terpaksa aku pergi menggunakan motor Kak Airin--kakakku yang jugasedang ngekost di luar kota. Karena motorku yang rusak akibat ulah setan Roni itu belum diperbaiki.Di bawah tatapan tajam Ibu, aku pun pergi. Kepergian yang benar-benar berbeda, karena Ibu sama sekali tak ada mengucapkan kata-kata perpisahan.Dengan pikiran setengah kosong aku berkendara. Hingga hampir tiba di perbatasan gapura, mataku menangkap sosok kakek yang waktu itu pernah bertemu denganku dan Fatih.Kupelankan laju motor karena melihat lambaian tangannya yang seolah memintaku untuk berhenti.Tanpa merasa curiga, aku pun menghentikan motor setelah dekat dengannya."Ada apa, Kek?" Tanyaku sembari turun dari motor."Kau mau kemana?" Tanyanya balik dengan suara berat."Mau ke luar kota, Kek.""Mau keluar kota atau mau kabur?"Deg!Kenapa kakek ini bisa tahu tujuanku apa pergi dari desa ini?"Kau tak akan bisa kemana-mana saat ini," lanjutnya lagi."Kenapa begitu, Kek?"Sebenarnya aku malas menanggapi orang tua yang sedari awal kami datang selalu memberi kesan tak enak ini. Tapi di sudut hatiku yang lain, ada rasa penasaran dengan semua perkataan pria renta ini."Karena ini masih bulan suro."Aku langsung berdecak kesal mendengar jawabannya. Lagi-lagi bulan suro."Kau akan bisa pergi kalau seluruh tumbal sudah terpenuhi. Itu pun kalau kau selamat," ujarnya sembari terkekeh, lalu pergi begitu saja masuk ke jalan setapak yang berada di sisi kiri jalan.Sungguh aku dongkol dengan perkataannya itu. Sepertinya memang kakek itu sudah tak waras. Sampai mengoceh hal-hal yang aneh.Tak mau ambil pusing, aku kembali melanjutkan perjalanan.Semuanya lancar tanpa ada kendala apapun hingga aku sudah keluar dari desa. Namun saat tiba di persimpangan jalan raya yang begitu ramai, tanpa sengaja motorku tersenggol oleh pemotor yang akan menyebrang juga.Entah karena aku yang terlalu banyak pikiran dan tak fokus, hingga motor yang kukendarai oleng dan terjatuh begitu saja tepat di tengah-tengah jalan raya.Jantung langsung berpacu dengan begitu cepat saat kulihat di depan sana sebuah truk melaju dengan kencang.Tak mau menyerah dengan keadaan aku berusaha bangkit walau kaki sakit sebab terjatuh tadi.Truk tersebut makin mendekat, sedangkan aku begitu kesusahan untuk berjalan.Hingga saat aku sudah pasrah dengan semua keadaan, sebuah dorongan dari belakang berhasil menyentak tubuhku ke depan hingga aku berhasil terhindar dari truk tersebut.Namun naasnya, di sisi lain jalan, seorang pemotor juga sedang lewat.Braaak!Tabrakan terjadi di kedua ruas jalan. Di ruas jalan sebelah kanan, ada seorang pria yang terlindas truk yang tadi hampir melindasku . Sedangkan di ruas jalan sebelah kiri, ada aku yang terkapar dengan mata nanar menatap pemandangan mengerikan di depan sana.Sudah dipastikan pria tersebut tak lagi bernyawa, apalagi saat aku berusaha melihat dengan jelas terlihat beberapa organ tubuhnya berceceran keluar.Detik berikutnya, pandanganku langsung menggelap karena tak sanggup melihat pemandangan mengerikan itu.***Aku tersadar di sebuah ruangan asing serba putih. Dapat ditebak bahwa kini aku berada di rumah sakit.Melihatku membuka mata, Ibu yang entah sejak kapan ada bersamaku itu langsung mendekat."Syukurlah kamu selamat, Nak," ujar Ibu sembari terisak.Aku yang masih merasa kesal karena sikap Ibu sebelum berangkat, memilih membuang muka ke arah jendela.Semua ini karena Ayah dan Ibu juga. Kalau saja mereka tak memaksa aku pergi, semua ini tak akan terjadi.Bicara soal Ayah, tiba-tiba aku teringat, sebelum aku pingsan di tempat kejadian kala itu, mataku sempat melihat ada sosok Ayah di antara kerumunan orang.Tapi aku juga tak terlalu yakin karena pandanganku saat itu sudah remang-remang.Yang membuat aku merasa janggal adalah raut wajah Ayah di sana menampakkan senyum puas saat melihat ke arah pria yang terlindas truk tersebut.Kalau memang benar itu Ayah, kenapa ia tega tersenyum senang saat melihat orang lain tewas menggantikan aku? Kalau pun ia bersyukur aku selamat, harusnya ia juga berempati pada orang itu."Ayah mana?" Tanyaku tanpa mau melihat wajah Ibu."Ayah di rumah Mas Seno, sedang membantu mengurus jenazah Mas Evan."Deg!Mataku langsung membelalak, jantungku pun langsung berdetak kencang saat mendengar jawaban Ibu. Apalagi saat aku mengingat pria yang tadi terlindas truk saat menolongku postur tubuhnya sama persis dengan Mas Evan--adik Mas Seno, yang juga bekerja pada Ayah di warung sembako kami yang lain.Jangan-jangan ....Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku."Kamu mau kemana?""Aku mau ke rumah Mas Seno."Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku."Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan.""Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu."Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.***Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas
"Bapakmu tahu siapa orangnya?"Fatih menggeleng."Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu."Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya."Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya.""Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan."Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji ap
"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rum
Membuang rasa takut, aku bangkit dari tempat tidur untuk mencari dari mana asal bau kemenyan tersebut.Perlahan kuputar handle pintu dan membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar kamar.Tak ada siapapun, tapi kenapa bau kemenyan ini begitu menyengat, bahkan sangking terasanya di indera penciuman sampai membuatku sesak.Karena merasa keadaan di luar aman, aku pun memutuskan untuk mencari asal bau tersebut.Aku menuju ruang depan tapi tak menemukan apapun. Namun saat melewati kamar Ayah dan Ibu, bau kemenyan tersebut makin terasa.Sayangnya pintu kamar orang tuaku itu tertutup begitu rapat. Hingga aku tak memiliki akses untuk mengintip ke dalam.Tak hilang akal, aku langsung merebahkan diri di lantai depan pintu kamar untuk mengintip melalui celah bawah pintu.Benar saja. Sepertinya asal bau kemenyan tersebut berasal dari dalam kamar orang tuaku. Namun sialnya lagi-lagi aku tak dapat melihat dengan jelas melalu
"Nak Satria ...."Aku langsung tersadar dari lamunan saat mendengar panggilan dari Pak Muhsin.Pandangan langsung kuedarkan ke sekitar tapi sama sekali tak nampak jejak dari Kakek tadi."Tadi saya hampir menabrak seorang kakek-kakek, Pak. Tapi sepertinya orangnya sudah pergi," ujarku berusaha setenang mungkin, walau sesungguhnya hatiku kini dipenuhi rasa tak enak."Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu mari kita ke rumah Ustadz Arif sekarang."Aku langsung menyetujui ajakan Pak Muhsin.Kembali menyalakan motor mataku masih sesekali melihat sekeliling mencari keberadaan Kakek tadi, tapi ternyata benar-benar sudah tak nampak lagi, bahkan bayangannya sekalipun.Berusaha membuang segala kejanggalan barusan, aku kembali fokus pada tujuan awal mengunjungi Ustadz Arif.Semakin dekat menuju rumah Ustadz Arif, semakin terlihat jelas kerumunan warga yang ada di sana."Usir saja, usir! Kita tak butuh orang seperti mer
"Bu, itu benar Mas Danu yang meninggal?" Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsu
Tanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."
Dengan hati tak menentu, aku berlari keluar dari rumah Mbah Darsih untuk mencari pertolongan. Rasa takut menjalari seluruh hatiku saat tadi tak merasakan denyut nadi pada Mbah Darsih. Firasatku benar-benar tak enak. Bagaimana jika wanita malang itu benar-benar meninggal?Berlari sejauh lima belas meter, akhirnya aku menemukan rumah tetangga Mbah Darsih."Pakde Kromo, tolong saya, Pakde ...." Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, aku meminta tolong pada seorang lelaki paruh baya yang sepertinya akan berangkat ke sawah itu."Satria? Ada apa?" Tanyanya dengan terheran-heran."Pakde, Mbah Darsih, Pakde ....""Mbah Darsih kenapa?" Tanyanya cepat sembari langsung meletakkan sabit yang tadi ia bawa.Aku pun menceritakan tentang kondisi Mbah Darsih, dan kekhawatiranku yang menyangsikan ia masih hidup.Tanpa membuang waktu, kami berdua pun langsung berlari menuju rumah Mbah Darsih.Namun begitu sampai di halaman, aku dibuat terheran-heran saat melihat pintu depan rumah Mbah Darsih sudah ter