Lydia melangkah memasuki galeri seni. Dress selutut berwarna putih tulang yang membalut tubuhnya mengayun anggun seiring dengan langkahnya.
High heels yang dia kenakan mengetuk lantai marmer hingga menimbulkan bunyi. Meskipun tampak tenang di luar, sebenarnya di dalam hati, Lydia begitu berjegolak dikuasai emosi. Bagaimana tidak? Pagi tadi, lagi-lagi dia melihat sang suami bersama wanita j*langnya.
Lydia berjalan menghampiri salah satu lukisan yang dipajang, lukisan itu adalah karyanya. Memiliki judul Metamorfosis Sunyi.
“Cakep banget lukisannya,” puji seorang wanita, tanpa tahu kalau sang pelukis ada di sebelahnya.
“Iya, indah loh. Ada bunga-bunga, itu maknanya apa, ya?” sahut wanita lain di sebelahnya.
Lydia melirik sekilas. Mereka terlihat seperti masih mahasiswa, mungkin mengunjungi galeri seni untuk melihat-lihat saja, tanpa terlalu paham soal lukisan.
Lydia turut menatap ke depan, ke lukisannya yang dipajang. Di kanvas berukuran besar itu menampilkan seorang wanita dengan mata tertutup, tubuhnya dikelilingi bunga-bunga yang perlahan berubah menjadi duri.
Terdapat sapuan warna ungu dan emas yang lembut dengan perpaduan percikan warna merah tua di beberapa sisi, menggambarkan transisi antara kelembutan dan penderitaan.
Lukisan tersebut memang indah, tapi tidak dengan maknanya. Lukisan yang Lydia buat untuk menggambarkan perjalanan hidupnya, seorang putri pengusaha kaya yang dulunya hidup enak, tapi berubah setelah keluarganya nyaris bangkrut dan dia terjebak dengan Marcell.
Lukisan itu dihargai sekitar tujuh ratus juta rupiah, harga yang lumayan, sebanding dengan kualitas dan reputasi Lydia sebagai seorang pelukis.
Fokus Lydia yang awalnya pada lukisan, harganya, dan mengenai sudah ada kolektor yang mengajukan penawaran atau belum, tapi kini tiba-tiba fokusnya teralihkan ketika dia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.
Kedua bola mata Lydia menangkap pandang sosok pria asing yang sedang berdiri di depan sebuah lukisan abstrak.
Tanpa sadar, langkah kaki Lydia menuntunnya untuk menuju ke sana.
Dengan jarak aman, Lydia turut mengamati lukisan yang sedang ditatap oleh pria itu. Sebuah lukisan bertema keserakahan.
Lukisan itu memiliki komposisi warna hitam pekat yang membentuk bayangan manusia dengan tangan yang menjulur, seolah meraih tumpukan emas yang hampir tenggelam dalam lautan merah.
Dalam lukisan tersebut, terdapat wajah-wajah samar dengan ekspresi rakus tersembunyi dalam latar belakang, memberikan kesan bahwa keserakahan tidak pernah mengenal batas.
Setelah mengamati lukisan itu, Lydia kembali menatap pria yang kini berada di sebelahnya dalam jarak sekitar dua meter.
Pria yang begitu tinggi, badannya juga besar dan posturnya tegap. Mungkin tingginya mencapai 190 cm?
“Tinggi banget,” gumam Lydia tanpa sadar.
Tubuhnya juga berotot, tercetak jelas dari balik jas hitam yang dikenakan. Sungguh pria matang yang hot.
Wajahnya terlihat tampan dari samping. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna light brown—perpaduan warna cokelat tua, cokelat muda, pirang. Yang paling menarik perhatian Lydia adalah iris mara biru yang indah.
Dari tampangnya seperti orang luar negeri, atau mungkin blasteran?
Fokus Lydia kembali tertuju ke mata pria itu. Sepasang mata biru jernih yang tampak tajam di bawah pencahayaan lembut galeri.
Lydia menahan napas.
“Indah …” ucap Lydia tanpa sadar, tak lagi bergumam.
Sontak, Lydia terbelalak menyadari dia baru saja bicara. Pria itu pasti mendengarnya!
Dan benar saja, pria bermata biru itu menoleh ke arah Lydia, mendengar suara pelan Lydia di antara keheningan di galeri seni.
Mata birunya langsung bertemu dengan mata cokelat milik Lydia, dan seketika itu juga Lydia merasakan detak jantungnya berdebar tak keruan.
Oh, sial!
Lydia tersentak, dia panik.
Baru saja dia terang-terangan mengagumi seorang pria asing, dan sekarang dia tertangkap basah!
Bibir Lydia terbuka, ingin bicara sesuatu, atau haruskah dia berbasa-basi tentang lukisan?
Namun, tiba-tiba saja pria itu berjalan mendekatinya.
Langkah pria itu tampak tenang. Dekat dan semakin dekat hingga Lydia bisa melihat dengan lebih jelas betapa indahnya pria itu, ekspresinya dingin tapi menarik. Wajahnya seperti pahatan yang sempurna, begitu juga tubuhnya.
Di mata Lydia, pria itu seperti pahatan patung Dewa Yunani yang hidup. Seperti sebuah karya seni yang luar biasa indah.
Ketika pria itu tepat di hadapannya, Lydia bisa merasakan aura dingin yang menguar. Sejenak, mereka hanya saling tatap dalam keheningan sebelum akhirnya pria itu buka suara.
“Apa yang menurutmu indah?”
Suara baritonnya terdengar begitu dalam, sedikit serak. Nada bicara yang membuat bulu kuduk Lydia berdiri, disertai dengan aksen bahasa Indonesia yang agak kaku.
Lydia berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap tenang, meskipun jantungnya berdebar makin aneh dan kegugupan melandanya. Dia menelan ludah, mencoba mencari alasan.
“Lukisan itu,” jawab Lydia, menunjuk lukisan yang tadi dilihat pria itu. “Saya sedang mengagumi lukisannya, kelihatannya indah.”
Pria itu mengangkat alis tebalnya seolah tidak sepenuhnya percaya dengan perkataan Lydia, tapi dia kembali menatap lukisan yang sejak tadi dipandanginya.
Setelah beberapa detik menatap lukisan, pria itu kembali menatap Lydia dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Menarik,” gumam pria itu tanpa melepas tatapannya dari Lydia.
Untuk sesaat, Lydia seperti bisa melihat seringaian tipis di sudut bibir pria itu. Ataukah dia salah lihat?
“Memang indah, tapi maknanya nggak mencerminkan keindahan. Dan saya penasaran …”
Pria itu menggantung ucapannya, semakin mendekati Lydia.
Lydia refleks berjalan mundur.
Dengan suara rendah, pria itu berujar,
“Apa yang tadi kamu maksud indah benar-benar lukisan itu, atau sesuatu yang lain?”
Dalam hitungan detik, pipi Lydia terasa panas, mungkin mulai memerah. Sialan! Dia tidak mau terlihat salah tingkah. Dan sepertinya pria tampan di hadapannya ini tidak bodoh, tidak bisa dibohongi.
‘Tubuhmu. Tubuhmu yang indah,’ jawab Lydia di dalam hati. ‘Betapa senangnya aku kalau dia bisa menjadi muse untuk lukisan telanjang. Dia sempurna. Pria seperti dia yang aku cari selama ini.’
“Kalian berdua, aku mohon berhentilah!” teriak Lydia.Namun, Damian dan Marcell tampaknya tak peduli, mereka masih saling hajar hingga wajah mereka terluka.Mereka baru berhenti saat Lydia berteriak kepada para bodyguard untuk memisahkan dua orang itu.Dan, Marcell yang paling banyak terluka tampak tak berdaya ketika melihat Damian membawa kabur Lydia darinya.Beberapa saat setelahnya, Lydia sudah dibawa ke apartemen Damian, dia berada di sana dan sedang mengobati luka di wajah Damian akibat pukulan Marcell.“Jangan terluka lagi, aku khawatir,” ujar Lydia.Damian tersenyum, menyentuh tangan Lydia di wajahnya. “Aku senang kalau kau khawatir padaku.”“Aku serius!” seru Lydia, menabok lengan Damian.“Sshhh …” ringis Damian.Lydia panik. “A-apa sakit? Di situ juga terluka?”Damian pura-pura kesakitan, dia langsung tersenyum setelahnya.“Enggak, aku hanya bercanda,” ujarnya.Lydia memberengut, tapi tak lama karena setelah itu dia bermanja-manja dengan memeluk Damian dan bersandar di pundak
“Hal penting apa yang mau kamu bicarakan sampai mengumpulkan kita semua?” tanya papa Damian kepada Alex.“Kalau bukan sesuatu yang penting, kamu akan tahu sendiri akibatnya,” ancam sang kakek.“Aku tahu, Kek,” ujar Alex.Alex melirik istrinya, mengangguk untuk memberi kode. Melanie pun maju, menunjukkan di layar laptop tentang foto pernikahan Lydia dan Marcell yang didapatkan oleh Alex setelah bertemu Marcell.“I-itu kan …” Mama Damian sontak melotot.“Ya, ini Lydia yang menjadi tunangan Damian. Sebetulnya dia adalah istri orang, lebih tepatnya istri Marcell,” jelas Melanie.“Apa?! Bagaimana bisa?!” pekik sang Papa.“Saya sempat merasa mengenal tunangan Damian, dan ternyata saya tahu karena tunangan Damian adalah seorang pelukis. Dan sepertinya mereka sudah berselingkuh cukup lama.”“Apa kau yakin berselingkuh? Bukan karena Lydia sudah bercerai dari Marcell?” tanya sang kakek yang masih tenang.“Aku yakin, Kek. Sekarang status Lydia masih istri Marcell. Damian menjadi orang ketiga dal
Meskipun tadi Marcell bilang tak peduli, tapi pada kenyataannya dia risau.Mengenai Lydia yang punya bukti perselingkuhannya, dia tak ingin itu tersebar sampai di keluarganya dan keluarga Lydia. Maka, sebelum itu terjadi, dia yang akan menyebarkan perselingkuhan Lydia lebih dulu!“Kamu akan menyesal karena sudah mengkhianatiku, Lydia,” geram Marcell. Dia tak berkaca pada dirinya sendiri, bahwa dialah yang mengkhianati Lydia lebih dulu.Sebelum berangkat kerja, pagi ini Marcell mengamati pintu kamar Lydia. Bagus, Lydia tak bisa keluar. Tak akan dia biarkan Lydia pergi, apalagi menemui Damian.“Jangan sampai istriku keluar, atau kalian semua akan dipecat!” ancam Marcell kepada para bodyguardnya.“Baik, Pak!” angguk mereka.Marcell pun melangkah pergi. Di dalam mobil saat menuju ke perusahaan, dia menghubungi orang tuanya dan orang tua Lydia, mengajak bertemu untuk makan malam di luar dengan alasan ada hal penting yang hendak dia bicarakan.*Malam harinya, di sinilah Marcell berada, di
Marcell mengepalkan tangannya, emosinya naik ke ubun-ubun. Dia sampai uring-uringan saat kembali ke kantor dan tak fokus dalam bekerja.Dia sampai pulang lebih cepat ke rumah, menunggu Lydia kembali untuk membicarakan ini.Sungguh, dia masih tak menyangka kalau Lydia yang dia pikir bisa menjadi istri patuh, ternyata berselingkuh darinya. Berani sekali wanita itu!“Awas kau nanti, Lydia. Aku nggak akan mengizinkanmu bertemu dengan Damian!” seru Marcell.Marcell berjalan mondar-mandir di ruang tamu, masih menanti Lydia. Dan, ketika mendengar suara mobil terparkir, dia langsung berdiri di depan pintu masuk, menghadang Lydia.Pintu terbuka, sosok Lydia muncul dengan raut heran menatap Marcell yang tampak emosi dan seperti sedang menunggunya.“Apa?” tanya Lydia.“Kau … kau berselingkuh dariku!” seru Marcell.Sontak, Lydia terbelalak. “A-aku—”“Nggak usah menyangkal! Aku sudah tahu semuanya! Pria yang menjadi muse lukisan telanjangmu, dia adalah selingkuhanmu, Damian!”Lydia semakin melebar
“Siapa orangnya! Cepat katakan!” seru Marcell dengan tampang tak sabar.“Saya akan memberi tahu, tapi dengan syarat anda harus mau bekerja sama dengan saya untuk menyingkirkan Damian dari posisinya di perusahaan.”Marcell langsung mengernyit. “Apa hubungannya perselingkuhan istri saya dengan Damian?”“Nanti anda akan tahu. Jadi, bagaimana? Apa anda setuju?”“Itu cukup sulit, anda tahu kan kalau kita juga bersaing? Saya, dan anda termasuk Pak Damian.”“Ya, itu benar. Tapi, saya berjanji akan membuat kesepakatan yang menguntungkan anda juga.”“Akan saya pertimbangkan, tapi beri tahu dulu soal selingkuhan istri saya.”Alex duduk bersandar dengan tampang santai, dia menyeringai sejenak.“Tadi anda sudah menyebut sendiri nama orangnya.”Marcell diam, mengingat-ingat sosok yang sempat dia sebut, kemudian langsung terbelalak.“Pak Damian?”“Ya. Dia adalah selingkuhan istri anda,” jawab Alex dengan raut serius.Marcell sempat terlihat kaget, tapi hanya sejenak sebelum dia tertawa. Tapi jelas
“Marcell pengusaha yang itu kan? Yang Damian pernah menobatkannya menjadi saingan bisnis baru?" tanya Alex.Melanie mengangguk. “Benar, yang itu. Kamu juga kenal orangnya, tapi kita nggak akrab, hanya pernah bertegur sapa beberapa kali.”Melanie mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto Marcell yang dia maksud kepada sang suami.“Yang ini,” tunjuknya.Alex mengangguk paham. “Hm … menarik kalau memang benar. Haha! Damian, kau sungguh gila!” serunya.Alex kembali tertawa, dia merasa bahagia mendadak, senang karena membayangkan bisa menjatuhkan Damian dengan cara ini, kemudian merebut posisi Damian.“Aku belum pernah bertemu dengan istri Marcell, jadi nggak tahu wajahnya. Tapi kamu tahu dari mana, Sayang?” tanya Alex.“Aku ingat sekitar dua tahun yang lalu, saat ke galeri seni, tiba-tiba heboh karena ada pengusaha muda yang katanya tampan datang mengunjungi istrinya yang seorang pelukis, dan karya istrinya sedang dipamerkan di sana.”“Ah, jadi si istri itu Lydia?”“Ya,” angguk Melanie