"Cukup kali ini saja, Kak. Aku mohon terima. Barang kali setelah mencoba kue buatanku ini suasana hatimu bisa membaik." Nayla terus memohon dan kembali mendorong tas yang hendak dikembalikan Elvan padanya.Elvan mendorong sebelah bahu Nayla agar menjauh dari hadapannya. "Jangan pernah berpikir kamu bisa mengerti suasana hatiku! Kamu tidak tahu apa-apa!"Nayla merasa sakit hati dengan balasan Elvan, tapi ia belum menyerah. Ia mendekat kembali, walau akhirnya lagi-lagi Elvan mendorongnya menjauh hingga keluar gerbang. Nayla melihat tatapan Elvan yang semakin marah, membuat hatinya juga ikut kesal."Kenapa, sih, Kak? Kenapa kamu sangat membenciku?" teriak Nayla. Tanganya yang sebelah mengepal kuat sambil menatap mata Elvan dengan berani."Cih! Kamu pikir saja sendiri! Aku muak berbicara panjang lebar dengan gadis naif sepertimu!" tegas Elvan. Nayla menghela napas panjang. Ia menahan diri untuk tidak menangis. "Setidaknya jangan membenci makanan ini, Kak. Tolong terimalah, setelah itu ak
Esok harinya, Laras datang ke rumah Nayla dan mengajaknya masuk ke mobil untuk bicara. Laras hendak meminta maaf karena telah membatalkan perjodohan antara Nayla dan Elvan. Laras berkata dengan lembut, "Nayla, aku minta maaf atas semua yang terjadi. Aku tahu ini semua pasti sangat sulit bagimu. Tapi aku ingin kamu tetap semangat dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Kamu harus menemukan orang yang tepat dan menjalin hubungan dengan orang yang kamu cintai."Laras menambahkan bahwa ini pertemuannya yang terakhir dengan Nayla karena ia akan pergi ke luar negeri. Ia berharap Nayla dapat hidup dalam kebahagiaan.Nayla terkejut dengan semua yang dikatakan mama Elvan, tetapi ia tidak bisa berkata banyak. Ia hanya bisa membalas pelukan mama Elvan saat dia tiba-tiba memeluknya. Nayla hanya bisa berkata, "Iya, saya akan terus bahagia, Tante."Meskipun dalam hati, Nayla tidak yakin kapan ia bisa merasakan kebahagiaan itu. Ia bahkan bingung dan tidak tahu di mana ia bisa menemukan kebahagiaan terse
“Minggu depan kamu harus bertunangan dengan Nayla.”Ucapan itu terlontar dari mulut David, ayah Elvan dengan tegas dan nada dingin seolah tidak bisa dibantah. Namun, Elvan yang duduk di hadapan pria itu langsung berdecak kesal.“Jangan bercanda, Pa. Sekarang udah zaman modern, aku bebas milih sendiri siapa pasanganku nanti."“Pihak keluarga Nayla sudah setuju. Ini perjanjian yang kami buat tujuh tahun lalu sebagai bentuk kerja sama untuk menyatukan perusahaan. Papa tidak mau mendengar penolakan dari kamu." David menatap putra semata wayangnya dengan serius. Elvan seketika tertawa kecut. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh papanya itu. Kata-kata yang paling tidak ia sangka keluar dari mulut orang tuanya selama dua puluh tahun hidup sebagai anak tunggal. “Papa udah melupakan hak aku sebagai seorang anak yang bebas memilih, ya? Kenapa, sih, papa selalu maksa?” dengkus Elvan berani.“Elvan Ganendra!” tegur Laras seketika dengan mata penuh emosi, ibu Elvan itu tengah
“Permisi." Elvan mulai mengetuk pintu waktu tiba di depan rumah Nayla yang rupanya cukup mewah.Tidak lama seseorang sudah membukanya dari dalam dan orang itu ia tebak adalah si gadis yang bernama Nayla. Elvan sempat terkejut beberapa detik saat melihat penampilan Nayla yang hanya mengenakan tank top di atas perut berwarna hitam dengan celana jins. Jangan lupakan bahwa perut gadis itu juga terlihat ramping dan mulus. “Eh, k–kamu bukannya kakak tingkat yang famous di kampus, ya? Kak ... Elvan Ganendra, kan?" Nayla membelalak mata sambil menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan.Elvan memejamkan mata, baru awal saja sudah seperti ini. Ia lalu mencoba untuk bersabar, dan kembali membuka matanya seraya menatap gadis di hadapannya itu dengan datar.“Hem.”Nayla mengernyit sebentar, sebelum matanya berbinar kembali setelah memorinya teringat sesuatu yang tadi malam telah dibahas papa dan mama tirinya. Nayla sungguh senang saat ini."Ya ampun? Jadi jodoh aku beneran Kak Elvan yang
“Karena perasaanmu bakal sakit, aku tidak mau tanggung jawab,” jawab Elvan sejujur-jujurnya. Membuat Nayla seketika terdiam, lagi dan lagi terkejut dengan respon lelaki itu.“Kamu bisa menyukai laki-laki lain, dan sebaliknya. Setelah kita tunangan nanti, kamu jangan caper ke aku kalau di kampus. Singkatnya kamu harus pura-pura tidak mengenaliku,” lanjut Elvan, tanpa memikirkan perasaan Nayla sama sekali.Elvan bahkan berusaha tidak peduli dengan perkataannya yang mungkin saja atau memang sudah menyakiti hati Nayla. Sebab Elvan hanya ingin gadis itu membencinya.Elvan juga sudah berencana untuk bersikap romantis hanya di depan kedua orang tua mereka. Jika di luar, tentu saja ia akan menganggap Nayla sebagai orang asing.Itulah rencananya, namun bukankah hidup selalu penuh rahasia?Dan Elvan berharap semua berjalan sesuai ekspektasinya.Nayla terkekeh pahit setelah terdiam lama dan hanya mendengarkan. Ia lalu menoleh, menatap wajah Elvan yang menawan itu. “Kalau sekarang aku udah terlan
"Tidak akan, itu mustahil aku alami."Nayla mengangkat bahu. “Takdir tidak ada yang tahu, loh, Kak. Bisa aja benci jadi cinta, kan? Tuhan juga maha membolak-balikkan hati. Tidak ada yang tahu kalau suatu saat kamu bakalan jatuh cinta sama aku.”Elvan mencebik, hendak berbalik untuk masuk ke mobil karena sudah malas berbasa-basi lagi. Namun tiba-tiba Nayla menahan lengannya, membuat Elvan menoleh kembali dengan alis menaut. “Apa lagi, sih? Urusan kita hari ini sudah selesai." Elvan langsung melepas tangan Nayla. Ia tidak ingin gadis itu menyentuhnya.“Jangan dulu, ih. Aku sendirian di rumah, aku juga masih mau ngomong sama kamu. Memangnya kamu tidak mau tahu tentang aku, Kak? Kamu tidak penasaran aku itu kayak gimana?” gerutu Nayla.“Tidak sama sekali. Aku sudah membencimu, jadi aku tidak akan penasaran sama kehidupanmu apalagi sifatmu. Intinya aku sudah tahu kalau kamu itu perempuan cerewet, baperan, dan merepotkan. Dan perempuan kayak gitu bukan tipe aku,” jelas Elvan terdengar keja
“Temenin aku di sini ya, Kak? Aku tidak bisa di rumah sendirian tahu." Nayla kembali memegang lengan Elvan.“Aku tidak peduli, aku ada urusan. Kamu anak orang kaya, kalau butuh sesuatu tinggal panggil asisten kamu bisa, kan. Jangan manja jadi cewek." Elvan mendecih kecil sambil melepaskan tangan Nayla.Nayla buru-buru menggeleng. “Asisten aku pulang kampung sejak tiga hari yang lalu, Kak."Elvan mendengkus kasar. “Memangnya orang tua kamu ke mana, sih?” “Mereka gila kerja, aku hampir setiap hari di rumah sendirian, Kak. Lagian sebentar lagi kamu bakalan jadi tunangan aku, harusnya kamu sering-sering perhatiin aku, dong, Kak."Elvan mengusap wajahnya kasar. “Bisa tidak, sih, jadi cewek mandiri? Aku banyak urusan, dan kamu bukan salah satu urusan aku yang penting. Tidak peduli meskipun kamu calon tunangan aku atau bukan.”“Pokoknya temenin aku, Kak Elvannn,” rengek Nayla tidak menyerah. Elvan bergidik ngeri, lalu mendecih malas. “Sialan ya, kamu. Aku jadi semakin membencimu."Meskipun
Nayla menyentuh pipinya yang terasa nyeri. Ditatapnya sang papa dengan alis menaut kesal. “P–papa? Aku tidak bolos, kok, Pa. Tadi ada insiden di jalan yang bikin kaki aku keseleo sampai harus ke klinik, tapi aku udah izin ke guru.”“Halah, bohong! Tadi papa ke kampus dan kata dosen kamu hari ini kamu tidak masuk tanpa ada keterangan! Apa kamu pikir bisa membodohi saya, hah?”“Apa? Tapi aku beneran serius, Pa. Aku udah minta temen aku buat izinin ke wali kelas kalau—““Papa benar-benar capek menghadapi sikap kamu, Nayla!"“Pa—““Kapan, sih, kamu bisa membanggakan papa? Sampai papa mati baru kamu mau serius kuliah? Tolonglah, jangan bikin papa malu lagi, Nayla,” sahut Anton tegas. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum berjalan melewati Nayla begitu saja.Nayla mengepalkan jemari tangannya saat menyadari sesuatu. Ia menunduk, menahan segala emosi di dalam hatinya.“Kamu tidak izinin aku ke dosen hari ini, ya, Kak? Kok kamu egois banget, sih,” gumam Nayla.Gadis itu memutuskan ke dapur untuk