Share

Lebih Dari Sahabat?

Nayla menyentuh pipinya yang terasa nyeri. Ditatapnya sang papa dengan alis menaut kesal. “P–papa? Aku tidak bolos, kok, Pa. Tadi ada insiden di jalan yang bikin kaki aku keseleo sampai harus ke klinik, tapi aku udah izin ke guru.”

“Halah, bohong! Tadi papa ke kampus dan kata dosen kamu hari ini kamu tidak masuk tanpa ada keterangan! Apa kamu pikir bisa membodohi saya, hah?”

“Apa? Tapi aku beneran serius, Pa. Aku udah minta temen aku buat izinin ke wali kelas kalau—“

“Papa benar-benar capek menghadapi sikap kamu, Nayla!"

“Pa—“

“Kapan, sih, kamu bisa membanggakan papa? Sampai papa mati baru kamu mau serius kuliah? Tolonglah, jangan bikin papa malu lagi, Nayla,” sahut Anton tegas. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum berjalan melewati Nayla begitu saja.

Nayla mengepalkan jemari tangannya saat menyadari sesuatu. Ia menunduk, menahan segala emosi di dalam hatinya.

“Kamu tidak izinin aku ke dosen hari ini, ya, Kak? Kok kamu egois banget, sih,” gumam Nayla.

Gadis itu memutuskan ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Diteguknya hingga tandas sampai kepalanya benar-benar dingin.

Nayla meletakkan gelas kosongnya ke meja hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Beruntungnya gelas itu terbuat dari plastik.

“Kak Elvan sialan!" batin Nayla. Tak sadar gelas di genggamannya sudah hampir penyok.

“Aku harus bikin kamu minta maaf karena gara-gara kamu aku ditampar sama papa. Lihat aja besok, Kak. Kamu pasti tidak akan bisa nolak.”

Nayla memejamkan matanya sebentar, rahangnya mengeras beberapa detik, sebelum akhirnya ia menangis karena rasa panas di bekas tamparan papanya tadi.

“Kenapa aku harus punya orang tua yang sekasar ini, ya?” lirih Nayla. Terkekeh pahit.

***

Sementara itu di sisi lain Elvan melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata karena ia harus ke suatu tempat. Akibat izin tidak masuk sekolah, ia harus berutang penjelasan terhadap ketiga sahabatnya yang sejak tadi menelepon.

Sampailah akhirnya Elvan di sebuah rumah simpel dan minimalis yang memang menjadi basecamp untuk tempatnya berkumpul bersama ketiga sahabatnya.

Rumah itu milik Elvan yang memang paling kaya di antara mereka berempat. Elvan pun segera memarkirkan motornya dan masuk.

Di ruang tamu kosong, bisa dipastikan sahabatnya ada di ruang TV. Elvan tidak banyak bicara begitu sampai di sana. Ia langsung duduk di sofa begitu saja dengan raut muka lelah.

Hal itu mengundang banyak pertanyaan di benak seorang perempuan di sebelahnya. Ia reflek menoleh dengan alis terangkat.

"Kamu habis dari mana?”

Emma, satu-satunya yang perempuan di antara mereka akhirnya tidak tahan untuk menyeletuk lebih dulu. Sementara Zaki dan Alex sedang sibuk bertanding game online di ponsel mereka.

“Rumah,” kata Elvan cuek. Ia menutup matanya untuk istirahat sejenak.

“Maksud aku hari ini kamu bolos ke mana?”

“Oh, aku ketiduran,” jawab Elvan bohong.

Emma berdecak. “Kamu tidak bisa bohongi aku, Elvan."

“Yaudah kalau kamu tidak percaya.”

Emma mencibir. “Aku tadi tadi ke rumah kamu.”

Kali ini mata Elvan terbuka. Menoleh dengan kernyitan di dahinya. “Kenapa?”

“Kamu, sih, tiba-tiba bolos tapi tidak mengajakku."

“Hem, sebenarnya aku tadi di apartemen,” ujar Elvan berbohong lagi.

Emma mendengkus tak percaya. Sebelum dering telepon membuatnya makin bertambah kesal setelah melihat nomor papanya. Dengan ogah-ogahan Emma berdiri, sebelum menjauh dari ruang TV untuk mengangkatnya.

Elvan menghela napas berat, baru kali ini ia membohongi sahabatnya sendiri. Sedari dulu ia paling anti berbohong, tapi sekarang ia terpaksa melakukan hal itu karena Nayla.

Sungguh memalukan jika ia memberitahu sahabatnya bahwa ia akan bertunangan dengan adik kelasnya sendiri. Elvan lebih baik merahasiakannya rapat-rapat.

"Hah, sialan," umpat Elvan di dalam hati.

***

"Ini foto siapa? Kamu punya simpenan di belakang aku, ya, ternyata?!”

“Apa maksudmu? Foto mana? Aku tidak pernah punya foto perempuan kecuali kamu!”

“Lalu ini apa, Pa? Jelasin kenapa bisa ada foto perempuan di kantong celana kamu?!”

“Aku juga tidak tahu kenapa bisa ada di sana!”

“Bohong!”

Prang! Suara pecahan benda yang terbuat dari kaca otomatis menusuk telinga Elvan yang baru berjalan beberapa langkah menaiki anak tangga. Pertengkaran kedua orang tuanya lagi-lagi harus ia dengar padahal kemarin mereka masih baik-baik saja.

"Berantem lagi, ya? Nyesel banget aku pulang,” gumam Elvan seraya memejamkan mata dan mengepalkan jemari tangan.

Niatnya yang mau ke kamar terpaksa harus urung karena ia muak mendengar suara menyebalkan itu. Letak kamar kedua orang tuanya berjarak dua ruangan dari kamarnya, tapi tetap saja cukup mengganggunya.

Elvan akhirnya berbalik, kembali menuruni anak tangga. Pukul sembilan malam Elvan baru pulang dari basecamp, tapi ternyata bukan pilihan baik jika ia tidur di rumah. Tempat yang harusnya ternyaman nyatanya tidak bagi .

Keluarga hanyalah sebuah status yang menyimpan banyak kebohongan.

Alvian memutar kunci, memakai helm dan jaketnya kembali sebelum melajukan motornya meninggalkan area rumah. Satu tempat yang akan ia tuju saat ini. Klub malam.

Ia sadar pelampiasannya jatuh di tempat yang salah, tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menenangkan pikirannya yang berantakan.

Klub itu selalu ramai. Banyak kalangan anak muda yang bermain hingga bekerja di sana. Bahkan saat tahu ada salah satu teman sekelasnya yang bersama pria dewasa, Alvian tidak peduli dengan hal itu.

Ia hanya bergegas masuk dan mencari sofa yang nyaman di sana. Bukan VIP, tapi klub itu memang untuk kalangan orang kaya.

Elvan mengambil satu batang rokok di dalam saku, membakar ujungnya dan menyesap bagian bawah. Matanya terpejam sesaat merasakan sensasi rasa manis yang menjelajahi mulutnya. Sampai suara familiar menyapa indra pendengarannya.

“Tidak mau minum, El?”

Elvan baru membuka matanya saat merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Begitu menoleh yang ia lihat ternyata Emma yang sudah meneguk sebotol whisky.

“Biasanya gimana?”

Emma menyisakan setengah botol. Ia berdecak dengan balasan Elvan. “Basa-basi dikit gitu, El.”

“Terserah aku.” Elvan menyesap rokoknya lagi. “Kenapa ke sini?”

"Apalagi? Nemenin kamu, lah.”

“Pulang sana. Kamu mengangguku."

Bukannya berdiri, Emma malah meletakkan kepalanya ke atas bahu Elvan. "Lebih nyaman di sini. Sama kamu."

Elvan tidak memrotes, membiarkan Luna melakukan semaunya asal tidak melewati batas. Baginya Elvan sudah ia anggap seperti adik sendiri walau mereka seumuran.

Ia dan Emma sudah bersahabat sejak SD. Tepatnya saat Elvan baru pindah rumah dan bertemu dengan Emma. Sampai sekarang persahabatan mereka masih terjalin baik.

Namun, beranjak dewasa ada yang Elvan takutkan dari hubungan persahabatannya. Cinta. Elvan khawatir Emma menganggapnya lebih dari sekedar sahabat.

“Balapan, yuk?"

Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Nantang, nih?”

Emma terkekeh kecil, lalu menegakkan tubuhnya. “Biar kamu tidak stres. Aku tahu kamu sedang muak di rumah.”

Elvan mendecih, kemudian berdiri. “Oke, kalau aku menang kamu wajib mentraktirku."

Emma tersenyum manis. "Deal!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status