"Ya ampun, El. Kamu keren banget, ya. Dari dulu sampai sekarang aku selalu gagal ngalahin kamu. Makin jago, sih,” puji Emma sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang.
Elvan telah menghentikan laju motornya di garis finis yang disepakati oleh Elvan. Gadis itu baru sampai di sebelahnya selang dua menit kemudian. Elvan membuka helm, begitu juga dengan Emma yang sudah tertawa sambil menepuk sebelah pundaknya.Elvan mengalihkan pandangan, tidak tersanjung dengan pujian itu. “Mau makan di mana? Kamu jangan kabur.”Emma terkekeh geli. “Ya kali aku jadi pengecut. Aku traktir kamu di tempat biasanya, kok."Elvan mengangguk setuju. “Duluan sana, biar aku yang di belakang.”“Wih, kamu takut aku kenapa-napa, ya, El?” goda Emma.Elvan tidak membalas dan mulai memakai helmnya kembali. Kunci motornya ia putar, mesin pun menyala. Meski begitu sebenarnya ucapan Emma memang benar adanya.Emma pun mendengkus kecil, Elvan memang suka sekali mengabaikannya. Ia akhirnya tidak lagi berbicara dan langsung menancap gas motornya ke sebuah tempat makan favorit mereka.Sampai di sana Emma memesan meja di pojok belakang dekat jendela. Elvan duduk di hadapannya dan langsung membuka ponsel.Entah apa yang ia lakukan, tapi Emma cukup kesal melihatnya. Sampai seorang pelayan datang dan ia memesankan makanan untuknya dan untuk Elvan.Tidak perlu bertanya lagi karena Emma sudah tahu jika Elvan akan menurut. Dengan iseng Emma merebut ponsel Elvan secara tiba-tiba dan memasukannya ke saku celana. Membuat cowok itu reflek terkejut.“Apaan, sih? Sini balikin,” suruh Elvan dengan tegas.“Kalau aku tidak mau gimana?" Emma tertawa geli."Jangan mancing aku, Emma.”“Apa? Aku tidak takut, tuh.” Emma menjulurkan lidahnya.“Oke, aku pergi,” balas Elvan yang kemudian berdiri.Emma reflek melototkan mata dan menahan lengan Elvan. “Heh, mau ke mana? Masa gitu, doang, kamu ngambek, sih. Dasar."“Makanya balikin HP aku,” dengkus Elvan sambil melepaskan tangan Emma dari lengannya.Emma menautkan alis. Kesal, tapi tak urung mengalah dengan menyerahkan ponsel Elvan kembali. “Memangnya ada apanya, sih, sampai kamu jadi sekesel ini? Jangan bilang kamu udah punya pacar?”Elvan mendecih dan kembali duduk sambil memasukan ponselnya ke dalam saku celana. "Kalau iya, kenapa?”Emma tertawa, tapi diam-diam kepikiran. “Cowok cuek kayak kamu mana ada yang mau.”“Kamu yang tidak tahu. Kamu lupa aku ini siapa?” Sebelah sudut bibir Elvan terangkat tipis.“Haha. Aku tidak percaya, tuh. Kamu, kan, suka bohong."Elvan hendak membalas sebelum pesanan mereka datang. Ia mengurungkan niatnya dan memilih makan. Emma pun sama, tidak lagi berbicara dan makan dengan tenang. Meja itu akhirnya hening.Elvan menikmatinya. Diam-diam ia tersenyum melihat perubahan raut Emma yang berubah masam. Elvan paling tidak bisa makan jika seseorang yang makan bersamanya banyak bicara.Moodnya akan langsung hancur dan lebih baik tidak jadi makan meski sekali pun makanannya mahal. Dan hanya Emma dan kedua sahabatnya yang mengerti akan hal itu.Sampai akhirnya mereka selesai makan, Elvan menyeletuk lagi. “Kalau pun ada yang suka, akunya yang tidak."“Idih, berharap banget ada yang suka sama cowok sedingin es batu kayak kamu," cibir Emma setelah minum. Walau ia juga tahu bahwa Elvan menjadi idaman para mahasiswi di kampusnya.“Lagi pula aku tidak percaya sama yang namanya cinta.”“Iya terus kenapa bilang ke aku?” kata Emma cuek.Elvan mengulum bibir. “Supaya kamu tidak salah paham kalau misalnya diam-diam suka sama aku.”“Hih! Siapa juga yang suka sama kamu?!” desis Emma mendelik kesal.“Cuma misalnya, Emma," kekeh Elvan sambil mengacak-acak rambut Emma.Emma berdecak sebal, mengerucutkan bibir, namun sesuatu dalam hatinya tiba-tiba terasa perih. Emma kesal karena Elvan seolah tahu apa yang disembunyikan di hatinya.***Laras menyiapkan sarapan seperti biasa, namun seperti ada yang aneh dari raut wajahnya. Dalam diam, Elvan memperhatikan wanita itu yang sedang meletakkan makanan ke meja.Sampai Laras selesai dengan aktivitasnya, ia menyadari tatapan Elvan yang sedari tadi seolah meminta penjelasan.“Jangan lupa jemput Nayla setelah sarapan, ya,” ucap Laras yang nyatanya tidak mau berbagi cerita.Elvan merasakan tepukan pelan dari ibunya sebelum ia pergi begitu saja. Helaan napas panjang terdengar, Elvan tersenyum tipis, selalu saja seperti ini setelah ibunya bertengkar dengan ayahnya.Suasana di antara mereka lebih berjarak dan dingin. Ayahnya juga pasti sudah berangkat bekerja pagi-pagi buta. Alhasil Elvan lebih sering sarapan seorang diri. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang menemani hari-hari.Walau begitu ia sebenarnya tidak peduli, toh, mereka sendiri juga tidak memedulikannya. Usai sarapan, Elvan mengambil kunci motornya dan bergegas keluar.Hari ini Elvan bisa saja kabur dengan bolos agar tidak bertemu dengan gadis cerewet itu. Namun mengingat ancaman ibunya, juga karena ia sudah mendekati semester akhir, Elvan terpaksa melajukan motornya ke rumah Nayla.Sementara di rumah Nayla, gadis itu sendiri sedang bertengkar dengan sang ayah. Seharusnya sarapan pagi ini bisa membuat perutnya kenyang untuk menggantikan kelaparannya tadi malam. Tapi sayangnya tidak.Nayla memejamkan mata untuk menahan emosi ketika bentakan demi bentakan menusuk hati. Menggenggam sendoknya erat-erat sampai menyakiti telapak tangan. Ia menunduk, memilih mendengarkan meski sebenarnya ingin melawan.Ini masih pagi. Nayla harus bisa mengontrol diri. Bukankah emosi tidak akan kalah jika dilawan dengan emosi pula?“Kalau hari ini kamu bikin masalah lagi, papa akan pindahin kamu ke kampus yang lebih ketat! Jadi anak perempuan, kok, tidak punya adab!"Perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut ayahnya sendiri. Sangat menyesakkan dada. Seakan merobek-robek jantung Nayla hingga tidak mampu membuatnya bernapas dengan baik.Anton menggebrak meja makan. “Jadi anak jangan selalu menyusahkan orang tua!”Menyekik pangkal tenggorokan Nayla secara tidak langsung.Tatapan mata pria itu menajam. “Tiru kakak tiri kamu! Dia selalu juara olimpiade tingkat internasional, kamu bisa apa, hah?”Memukul seluruh tulangnya tanpa menyentuh.Anton mengepalkan jemari tangannya. “Cuma beban!”Mematikan mentalnya tanpa perasaan.Prang! Vas bunga di pojok ruangan menjadi korban kemarahan. Nayla semakin menunduk, air matanya sudah jatuh sedari tadi. Ia biarkan saja sampai ayahnya berlalu pergi menaiki anak tangga.Tak masalah ia tampak lemah di hadapan sang papa. Setidaknya itu lebih baik dari pada menjadi anak durhaka.“Iya, Pa. Aku memang anak tidak berguna dan selalu salah di mata papa,” lirih Nayla. Ia tertawa pelan, tapi dadanya sangat sesak.Sementara di luar rumah, Elvan yang baru sampai lantas mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu saat suara pecahan kaca terdengar dari dalam.Elvan kemudian tersentak ketika Nayla tiba-tiba keluar dengan rambut acak-acakan dan mata memerah. Nayla pun seketika membelalakkan mata dan segera menutup pintunya kembali.“K–kak Elvan?”“Kenapa kamu?” tanya Elvan tanpa sadar. Sebelum akhirnya menyesali ucapannya.Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus denga
"Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y
"Elvan, aku suka sama kamu."Elvan terdiam, tampak terkejut dan tidak tahu harus berkata apa dengan ungkapan yang baru saja Emma katakan. Gadis itu menatap lurus ke dalam matanya, membuat Elvan mengepalkan tangan."Kenapa harus sekarang? Di saat aku berada di posisi yang tidak memungkinkan," ucap Elvan di dalam hati.Sementara Emma masih menunggu, hatinya berdebar-debar, tapi Elvan masih belum juga memberi jawaban. Emma tahu dirinya sudah gila, tapi ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Elvan?" panggil Emma ragu. Sejujurnya ia cemas dengan raut wajah Elvan saat ini. Bukan marah, tetapi terlihat dingin."Emma, aku ...." Elvan mencari kata-kata yang tepat. Ia bingung, tidak bisa menatap Emma langsung.Elvan kemudian mengalihkan pandangan, menghela napas panjang, dan menatap ke arah lain. Ia berpikir keras, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Namun nyatanya ia tidak bisa mengatakan apa-apa pada Emma.Emma melihat Elvan seperti itu menundukkan kepala. "Maaf, El."Elvan
"Jadi, Emma? Kenapa kamu menyatakan perasaan padaku?" Elvan menatap Emma dengan serius. Mungkin perkataannya barusan memang cukup menyakitkan, tapi ia memang ingin meluruskan. "Aku tahu aku gila, El. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahannya. Aku sudah lama menganggapnyamu sebagai orang yang paling aku butuhkan dalam hidupku." Emma menundukkan kepala. Menatap wadah es krim di meja."Aku menyukaimu sebagai Elvan, sebagai seorang lelaki, bukan sahabat. Aku mencintaimu, Elvan. Aku takut suatu saat akan terlambat dan kamu meninggalkanku," lanjutnya dengan nada lebih pelan."Aku tidak ingin kehilanganmu, El. Kamu ... juga merasakan hal yang sama, kan? Selama ini, apa kamu pernah sekali saja berpikir untuk melihatku sebagai perempuan dan mencintaiku sebagai Emma?" Meskipun ragu, Emma perlahan mengangkat wajahnya. Elvan menarik napas dalam-dalam, menatap Emma dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah menyangka Emma mengakui perasaan padanya. Ia mengusap rambutnya dengan ja
".... Aku akan melakukan apapun untuk papa."Pada akhirnya Nayla hanya bisa mengangguk, tersenyum manis dan menunjukkan bahwa ia anak yang berbakti pada orang tua. Karena ia tahu diri ia cukup tidak berguna bagi mereka. Dan perjodohan inilah satu-satunya cara untuk membuat Nayla terlihat ada di mata orang tuanya."Terima kasih, Sayang," kata Anton kemudian mengusap kepala Nayla dengan senyuman hangat. Bukan tersentuh, Nayla justru mengepalkan tangan ketika mendapat perlakuan palsu dari papanya seperti itu. Kalau bukan karena urusan bisnis yang menguntungkan, papanya itu pasti tidak akan sudi melakukan perbuatan lembut padanya.Anton dan David saling pandang, lalu tersenyum senang. Kedua istri mereka juga saling melempar senyum dengan perasaan bahagia. Setelah itu percakapan pun berlanjut, dengan membahas rincian kerja sama bisnis yang diharapkan.Elvan dan Nayla mencoba untuk tetap tenang dan menjaga sikap yang sopan, meskipun mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak mereka i
"Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan mencintaiku. Dan jangan berharap aku akan membalas perasaanmu."Itu kalimat Elvan yang Nayla dengar beberapa saat kemudian sebelum ia terdiam. Nayla memutuskan percakapan dan memilih menahan nyeri di hatinya yang terdalam.Udara dingin malam ini seolah ikut mendukung Nayla untuk menyerah pada perasaannya. Tapi di lain sisi ia juga ingin berteriak bahwa ia mencintainya. Nayla ingin sekali menegaskan bahwa ia ingin Elvan menjadi satu-satunya miliknya."Aku bosan di sini denganmu. Lebih baik kita kembali," celetuk Elvan yang tiba-tiba berdiri dan berjalan lebih dulu.Nayla tersentak dari lamunannya, mendengar itu membuat bibirnya tersenyum tipis, lalu buru-buru mengikuti langkah lebar Elvan sambil menggerutu. "Ish! Kak Elvan, tunggu!" teriak Nayla yang sama sekali tidak direspon oleh Elvan.Sampai di tempat orang tuanya, Elvan menahan umpatan saat dengan terpaksa menuruti perintah ayahnya untuk mengantar Nayla pulang. Meskipun hatinya kesal, ia ber
"Apa dia tidak akan datang lagi?" gumam Nayla sambil sesekali menatap jam di pergelangan tangannya.Berdiri sejak beberapa menit yang lalu di depan gerbang rumah, Nayla berharap Elvan akan menjemputnya. Namun setelah menunggu nyaris setengah jam, Elvan tak kunjung datang. Ah, rupanya lelaki itu tidak merasa bersalah perihal tadi malam."Memang salah aku berharap padanya. Kenapa, sih, aku tidak kapok juga?" kekeh Nayla yang akhirnya memutuskan memesan taksi.Lagi-lagi Nayla dibuat kecewa dengan harapannya sendiri. Padahal ia tahu prioritas Elvan adalah Emma. Tapi tetap saja Nayla berharap Elvan bisa berubah pikiran suatu hari nanti.Perasaan kecewanya pagi ini membuat Nayla kehilangan selera makan saat makan siang. Selama di kelas tadi pun ia sulit memahami materi yang diberikan dosen. Sudah sejak awal Nayla tidak cocok dengan jurusan yang diminta papanya, ditambah dengan masalah perasaannya yang semakin membuat penat.Duduk sendirian di kantin, Nayla menunggu Clara yang memesan makana