Share

Mulutku Memang Toxic

“Temenin aku di sini ya, Kak? Aku tidak bisa di rumah sendirian tahu." Nayla kembali memegang lengan Elvan.

“Aku tidak peduli, aku ada urusan. Kamu anak orang kaya, kalau butuh sesuatu tinggal panggil asisten kamu bisa, kan. Jangan manja jadi cewek." Elvan mendecih kecil sambil melepaskan tangan Nayla.

Nayla buru-buru menggeleng. “Asisten aku pulang kampung sejak tiga hari yang lalu, Kak."

Elvan mendengkus kasar. “Memangnya orang tua kamu ke mana, sih?”

“Mereka gila kerja, aku hampir setiap hari di rumah sendirian, Kak. Lagian sebentar lagi kamu bakalan jadi tunangan aku, harusnya kamu sering-sering perhatiin aku, dong, Kak."

Elvan mengusap wajahnya kasar. “Bisa tidak, sih, jadi cewek mandiri? Aku banyak urusan, dan kamu bukan salah satu urusan aku yang penting. Tidak peduli meskipun kamu calon tunangan aku atau bukan.”

“Pokoknya temenin aku, Kak Elvannn,” rengek Nayla tidak menyerah.

Elvan bergidik ngeri, lalu mendecih malas. “Sialan ya, kamu. Aku jadi semakin membencimu."

Meskipun hatinya tersentil mendengar umpatan Elvan, Nayla tetap mengulas senyum saat melihat cowok itu kembali duduk di sofa yang berada di sebelah ranjangnya.

“Takutnya kalau aku sudah tidak bernapas, kamu tidak bisa liat aku untuk yang terakhir kalinya, Kak," kekeh Nayla, Elvan tidak menggubris dan memilih membuka ponsel.

Nayla tersenyum tipis melihat reaksinya. “Toh, tidak ada yang peduli juga.”

"Memang."

Nayla tertawa geli dengan respon Elvan. “Ambilin camilan di kulkas, dong, Kak."

“Aku sibuk," ketus Elvan.

“Ihh, sibuk main game maksud kamu? Jangan bohong, deh.”

“Kalau sakit itu tidur, jangan makan yang aneh-aneh. Aku malas kamu repotin lagi kalau sampai kambuh."

Bukannya kesal, Nayla senyam-senyum. “Kamu khawatir sama aku, ya, Kak?"

Elvan yang semula melihat ke HP spontan mendongak dan menatap tajam. “Kalau kamu mengangguku lagi, aku bakal pulang sekarang."

Nayla melebarkan mata, lalu buru-buru menggeleng. “Eh, jangan. Iya-iya maaf, aku tidak ganggu kamu lagi.”

Nayla menghela napas panjang saat Elvan hanya mendecih. “Aku tidak bisa tidur. Baterai ponselku juga habis. Ajakin aku ngobrol, dong, Kak. Jangan main HP mulu.”

Elvan tidak menggubris. Ia kembali melanjutkan aktivitas bermain game-nya yang sudah berada di babak akhir. Tentu saja ia akan memilih game online tersebut dari pada Nayla yang semakin merengek-rengek.

“Kak? Kak Elvan?" panggil Nayla. Elvan sengaja menulikan pendengarannya.

“Kak?"

“Kak Elvan?”

“Kak El?"

“Kak Elvannnn. Oi? Kak Elvan?” Nayla semakin cemberut sekaligus kesal karena Elvan mencuekinya.

Elvan tetap tidak peduli walau sebenarnya ia emosi setengah mati. Nayla benar-benar menguji kesabarannya yang sudah menipis. Gadis itu masih saja memanggil namanya dengan nada dan suara yang menyebalkan. Sengaja dilembut-lembutkan.

“Kak. Elvan. Kak Elvan ....”

“Kiw, kiw, kakak ganteng. Psssttt, Kak Elvan Sayang!"

“Kak—"

“Sialan! Mulut kamu bisa diam tidak, sih? Aku paling benci sama cewek yang banyak omong!" bentak Elvan kasar dengan tiba-tiba. Matanya memancarkan amarah menatap Nayla.

Telah meluap sudah perkataan kasar Elvan yang tertahan sedari tadi. Dan seketika itu membuat jantung Nayla berdegup kencang. Bibirnya reflek terbungkam dengan dada yang terasa sesak. Ia memang paling lemah jika dibentak.

Elvan memejamkan mata, mengepalkan jemari tangannya dan menghela napas kasar. Nayla yang menunduk membuat Elvan merasa bersalah meski seharusnya ia senang melihat gadis itu terluka. Elvan akhirnya mengumpat di dalam hati sebanyak-banyaknya.

“Sorry, aku kelepasan. Mulut aku memang gampang toxic,” celetuk Elvan dengan nada rendah.

Nayla masih diam. Elvan menghela napas panjang lagi. “Jangan nangis, aku udah minta maaf.”

Bukannya mengangguk atau berkata iya, Elvan justru mendengar suara isakan kecil. Sudah bisa dipastikan jika Nayla menangis. Elvan berdecak mendengarnya. Nasib buruk untuknya hari ini karena telah membuat seorang gadis menangis. Dan ia membenci hal itu. Gadis yang lemah.

“Cengeng banget kayak anak kecil,” hardik Elvan.

Dengan dongkol ia memasukkan ponsel ke dalam saku. Telinganya masih mendengar tangisan Nayla, malah isakannya semakin keras. Elvan lantas berdiri, berjalan mendekat ke samping ranjang gadis itu.

“Mau apa, sih? Aku ambilin." Elvan langsung to the point dengan nada bicara yang berusaha ia lembutkan. Meski di dalam hati ia mengumpat kesal karena harus melakukan hal ini.

“A–apa a–aja." Nayla sesenggukan. Elvan mengeraskan rahang.

“Batu sama kayu?"

"B–bukan itu j–juga, dong.”

Elvan memutar bola matanya jengah. “Bisa tenang dulu tidak? Aku bukan penerjemah orang nangis."

Nayla memajukan bibir, namun tetap menuruti perkataan Elvan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berulang kali sampai napasnya kembali normal dan tidak sesenggukan lagi.

“Udah?”

Nayla mengangguk-angguk. “Cepat ambilin.”

“Batu sama kayu?”

Nayla melotot. "Camilannya, Kak. Terserah apa saja."

Elvan berdecak. Inilah yang paling ia benci dari perempuan. “Camilan yang mana, sih? Namanya apa? Yang jelas, kek."

“Apapun yang penting camilan, Kak."

Elvan mengepalkan jemari tangannya sekuat mungkin di sisi celana. Menahan untuk mengumpati Nayla. “Aku bawain satu kulkas awas saja kalau tidak kamu makan.”

Nayla terkikik geli. “Memang Kak Elvan bisa?”

“Aku bisa segalanya."

Nayla mencibir. “Jangan sombong, Kak."

Elvan mendengkus keras. "Kamu juga jangan kepedean karena aku mau melakukan ini. Aku cuma kasihan sama kamu. Tidak ada perasaan lebih."

“Iya, aku tahu, kok." Nayla tersenyum tipis.

Elvan lantas berbalik dan keluar dari kamar Nayla. Aktifitas bermain game-nya harus tertunda hanya untuk menuruti permintaan gadis itu. Elvan menuruni anak tangga dengan gerutuan kesal. Ia merutuki dirinya sendiri karena harus kalah dengan rasa ibanya.

Seharusnya ia tidak perlu repot-repot menolong Nayla sampai membawanya ke rumah sakit. Kalau saja tadi pagi ia memutuskan untuk putar balik ke jalan lain, mungkin ia tidak akan terjebak di rumah gadis merepotkan dan manja itu.

“Kenapa takdirku kayak gini, sih? Aku benci sama dia. Aku tidak menyukai gadis itu!" batin Elvan ketika langkah kakinya sampai di dapur.

***

Elvan kembali ke kamar Nayla dengan beberapa kantong kresek yang berisi camilan. Ia meletakkannya ke atas nakas dan melirik Nayla yang sudah tertidur. Tanpa berkata apapun Elvan berbalik dan keluar dari kamar Nayla.

Bunyi pintu yang tertutup, membuat Nayla yang sebenarnya pura-pura tidur lantas membuka mata. Ia mendudukkan diri dan menatap camilan yang Elvan letakkan tadi.

Nayla tersenyum tipis setelahnya. “Kamu beneran ninggalin aku, ya, Kak?"

“Kamu benar-benar pulang, Kak El?” gumam Nayla yang akhirnya memutuskan untuk beranjak dan bergegas turun.

"Wah, ternyata aku sendirian lagi, nih?” kekeh Nayla menahan sesak. Juga menertawai dirinya sendiri yang terlalu berharap lebih.

Tepat saat Nayla berbalik hendak kembali ke kamarnya, seseorang tiba-tiba membuka pintu. Nayla hampir saja senang karena ia pikir itu Elvan, tapi begitu menoleh ia justru mendapatkan tamparan keras pada sebelah pipinya.

“Sudah berani bolos lagi, ya, kamu?!” bentak seorang pria yang tidak lain adalah papa tirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status